Poligami Dalam Hukum Islam dan Hukum Indonesia

Poligami Dalam Hukum Islam dan Hukum Indonesia

Fenomena poligami bukan sesuatu yang baru dalam kacamata Islam. Masyarakat yang mayoritas penduduknya muslim menjadikan poligami sebagai wacana yang terus diperbincangkan. Ada suatu hal yang menarik, bahwa poligami sudah ada jauh sebelum adanya Islam . Bahkan boleh dikatakan, poligami bukan semata-mata produk Shari’at al-Islam. Jauh sebelum Islam lahir, peradaban manusia di penjuru dunia sudah mengenal poligami, menjalankannya, dan menjadikannya sebagai bagian yang utuh dari bentuk kehidupan yang wajar. Dapat dibilang, tidak ada peradaban pada waktu itu yang tidak mengenal poligami. Di sini akan kami ulas mengenai Poligami Dalam Hukum Islam dan Hukum Indonesia. agar lebih jelasnya simak pengertian monogami dan poligami terlebih dahulu.

Poligami Menurut Hukum Islam dan Hukum Indonesia

Pengertian Monogami dan Poligami

Monogami merupakan sistem perkawinan salah satu pihak mengawini satu orang lawan jenis. Sedangkan, Poligami merupakan sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam jangka waktu tertentu. Dalam antropologi sosial terdapat tiga bentuk poligami, yaitu:

  1. Poligini adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang laki-laki memiliki atau mengawini beberapa perempuan sebagai istrinya dalam waktu yang bersamaan (seorang lelaki memiliki beberapa istri sekaligus), menurut ahli sejarah model perkawinan ini sudah berlangsung sejak lama dan diakui oleh banyak peradaban bangsa-bangsa dunia.
  2. Poliandri adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang perempuan mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu bersamaan (seorang perempuan memiliki beberapa suami sekaligus). Praktek perkawinan poliandri sering dijumpai di bagian selatan dan utara India dan beberapa wilayah di Rusia. Dalam perkawinan poliandri, seorang laki-laki menikahi seorang istri, dan sang istri secara alami dan otomatis menjadi istri dari seluruh saudara laki-lakinya atau kerabat yang berhubungan dekat. Akan tetapi secara umum praktek poliandri ini tidak diakui oleh agama manapun dan dianggap sebagai penyimpangan sosial.
  3. Perkawinan kelompok merupakan kombinasi poligami dan poliandri. Perkawinan jenis ini terjadi dalam masyarakat primitif seperti di daerah pegunungan Tibet, Himalaya India, dan Australia.[1]

Dari ketiga bentuk poligami ini, poligini-lah yang paling umum dilakukan karena diakui oleh banyak negara dan beberapa agama termasuk Islam. Adapun praktek poliandri dan perkawinan, kelompok Islam secara jelas melarangnya karena tidak sesuai dengan fitrah manusia dan bisa mengaburkan nasab anak yang dilahirkan. Dan yang akan dibahas di sini adalah praktek poligini yang selanjutnya disebut sebagai poligami untuk mempermudah dalam penyebutan.

Hukum poligami dalam Islam

Dalil yang menjadi dasar dilakukannya poligami adalah sama dengan dalil nikah yaitu, QS An-Nisa’ ayat 3:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا

Dan jika kamu sekalian khawatir tidak bisa adil di dalam (hak-hak) anak-anak yatim maka nikahilah wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.[2]

Islam adalah satu-satunya agama yang membatasi jumlah isteri yang diperbolehkan sampai dengan empat orang. Pembatasan poligami tersebut disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai solusi bagi dilema sosial seperti meningkatnya jumlah janda dan anak yatim setelah peperangan. Poligami juga memainkan peranan yang sangat besar dalam memenuhi kebutuhan alami manusia, khususnya pada masyarakat dimana jumlah wanita melebihi jumlah pria.

Ketika peraturan tentang poligami ini pertama kali diberlakukan, pada kenyataannya adalah merupakan pembatasan poligami tak terbatas yang biasa dilakukan bangsa Arab sebelum Islam. Meskipun peraturan ini memberikan laki-laki hak, untuk alasan kebaikan, untuk melakukan poligami, tetapi mereka harus berpegang kepada persyaratan dan tanggung jawab dibaliknya. Poligami dibatasi dalam Islam dan tidak membatasi secara penuh tabiat laki-laki berpoligami, disaat yang sama membatasi dan menghukum laki-laki yang mencari hubungan ekstramarital. Islam, dengan membatasi poligami dan menetapkan persyaratan dalam pelaksanaannya, mengambil posisi pertengahan antara poligami tak terbatas dalam Perjanjian Lama dan praktek orang-orang Romawi, Persia dan Bangsa Arab pada masa jahiliyah, dan kehidupan salibas (pembujangan) yang ditempuh oleh sebagian pastur atau saint Kristen di masa kini.

Oleh karena itu, untuk mengatasi persoalan rumah tangga tanpa bapak (yakni sebagai kepala rumah tangga), Al-Qur’an mendorong laki-laki yang mampu memikul tanggung jawab dan berlaku adil untuk memelihara keluarga yang miskin dengan menikahi janda yang memenuhi syarat dan anak yatim perempuan yang merupakan korban dari tragedi. Satu pertimbangan dibaliknya adalah untuk menyelamatkan masyarakat secara umum dari memperturutkan praktek-praktek amoral apakah hal tersebut karena kemiskinan atau kebutuhan biologis di sisi wanita yang tidak menikah.[3]

Batasan Istri ber-poligami dalam Islam

Mengenai jumlah batasan wanita yang boleh dinikah sudah jelas yaitu 4 orang, maka selebihnya adalah haram. Rosulullah SAW bersabda kepada Ghailan (seorang lelaki dari Bani Tsaqif yang masuk Islam dengan keadaan mempunyai istri 10 orang).

(أمسك أربعا وفارق سائرهنّ (رواه إبن حبّان وغيره

Pilihlah  empat orang dan ceraikan sisanya” (H.R. Ibnu Hibban dan perawi lainnya).

Selain itu, poligami yang dilarang adalah praktek poliandri. Hal ini sesuai ijma’ para ulama’ bahwa wanita tidak bisa memiliki suami lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan. Hal ini bertentangan dengan fitrah wanita, tujuan nikah, dan bisa mengkaburkan nasab. Praktek poligami juga ada yang dilarang jika yang dikumpulkan adalah seorang wanita dengan ibunya, saudara perempuannya, bibi dr pihak ayahnya, atau bibi dari pihak ibunya.[4]

Syarat Poligami dalam Islam

Adil merupakan satu-satunya syarat poligami. Dan jika adil tidak bisa dipenuhi maka monogami adalah satu-satunya hal yang boleh dilakukan. Keadilan yang dituntut dari seorang suami maksudnya adalah adil secara finansial dan beberapa hal seperti jadwal menginap, bukan adil dalam hal perasaan ataupun urusan jima’. Allah SWT berfirman dalam QS An-Nisa: 129.

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung,dan jika kalian berbuat baik dan bertaqwa maka sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Pengampun dan Maha Pengasih”.

Allah SWT telah menjelaskan di dalam ayat ini bahwa mustahil seorang suami bisa berbuat adil dan berlaku sama di antara isteri-isteri, sampai tidak ada kecenderungan sama sekali (kepada salah satunya), dan tidak lebih serta tidak kurang dari apa yang telah diwajibkan atas suami untuk mereka. Karena itu, Allah mengangkat dari kalian kewajiban untuk mewujudkan  keadilan yang sempurna dan yang paling tinggi. Keadilan yang dibebankan kepada suami tidak lain adalah keadilan yang mampu suami wujudkan, dengan syarat suami telah mengerahkan  segala kemampuan  dan potensi yang ada pada dirinya. Sebab, pemberian taklif (beban) di luar kemampuan adalah termasuk kezaliman. Dan Allah tidak akan berbuat dzalim kepada siapa pun.

Selanjutnya adil diterangkan dalam fiqh pada “Bab al-Qism” atau bab yang menerangkan pembagian jatah nafkah baik lahir maupun batin kepada istri. Diantaranya yaitu membuatkan rumah bagi masing-masing istri, memberikan nafkah sesuai kebutuhan masing-masing istri, bertempat pada rumah istri tidak lebih dari tujuh hari jika istri perawan dan tidak lebih dari tiga hari jika istri  janda hari, hukum bepergian dan lain sebagainya.

Monogami dan Poligami Menurut Perundang-undangan dan Hukum Islam.

Poligami atau yang disebut dalam Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan Pemerintah sebagai “beristri lebih satu orang” diatur di dalamnya pada KHI BAB IX dari pasal 55 sampai pasal 59 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1974 BAB VIII dari pasal 40 sampai pasal 44. Adapun mengenai Kewajiban Seorang Yang Beristri Lebih Satu Orang diatur dalam KHI Bab XII bagian kelima pasal 82. Hukum di Indonesia lebih rumit dan lebih mempersulit bagi mereka yang hendak berpoligami serta ditemukan aturan-aturan yang sebenarnya tidak ditemui dalam fiqh Islam karena Hukum di Indonesia masih menganut asas monogami. Hal-hal itu seperti adanya izin istri untuk berpoligami dan juga izin dari pengadilan agama, pengadilan agama hanya memberi izin jika istri yang dimiliki memiliki kekurangan seperti istri tidak taat, cacat, atau tidak berketurunan.[5] Padahal di dalam hukum Islam, tidak ada tetek bengek yang mempersulit seseorang yang berpoligami selagi orang tersebut dapat berlaku adil. Namun, di luar itu semua sebenarnya dalam KHI maupun Permen No. 09 tahun 1974 masih terdapat celah dan keluwesan pada aturan-aturannya. Peraturan yang ketat tersebut tidak terlepas dari alasan agar poligami tidak disalahgunakan oleh oknum tertentu dan keinginan untuk melindungi setiap perempuan Indonesia dari keterlantaran.

Dampak positif dan negatif poligami.

Dampak positif dari poligami, antara lain:

  1. Keuntungan tujuan sosio-politis.
  2. Menghubungkan antar suku, golongan, dan klan.
  3. Melindungi fitrah manusia dari praktek ekstramarital (hubungan di luar nikah).
  4. Mengayomi mereka yang membutuhkan bantuan seperti janda dan anak yatim.
  5. Melestarikan keturunan.
  6. Menutupi jumlah perempuan yang lebih banyak daripada wanita.
  7. Pemenuhan kebutuhan psikologis dan seksual.

Dampak negatif dari poligami, antara lain:

  1. Istri dan anak-anak terlantar.
  2. Pandangan miring masyarakat yang menganggap poligami adalah tabu.
  3. Perasaan inferior istri yang menganggap tindakan poligami suami disebabkan atas ketidak mampuan dirinya untuk memenuhi kebutuhan suami.
  4. Kelemahan hukum jika terjadi nikah siri.
  5. Sulitnya menjaga keharmonisan hubungan antar istri agar tidak saling dengki, iri, dan bermusuhan.

PENUTUP

Kesimpulan

Monogami merupakan sistem perkawinan salah satu pihak mengawini satu orang lawan jenis. Sedangkan, Poligami merupakan sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam jangka waktu tertentu. Selanjutnya poligami dibagi menjadi 3, yaitu: Poligini, Poliandri dan Perkawinan Campuran.

Hukum poligami sama dengan hukum nikah dengan kesamaan dalil. Namun di dalamnya disyaratkan harus adil.

Poligami atau yang disebut dalam Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan Pemerintah sebagai “beristri lebih satu orang” diatur di dalamnya pada KHI BAB IX dari pasal 55 sampai pasal 59 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1974 BAB VIII dari pasal 40 sampai pasal 44. Adapun mengenai Kewajiban Seorang Yang Beristri Lebih Satu Orang diatur dalam KHI Bab XII bagian kelima pasal 82.

Akibat positif dari poligami, antara lain: Keuntungan tujuan sosio-politis, menghubungkan antar suku, golongan, dan klan, Melindungi fitrah manusia dari praktek ekstramarital (hubungan di luar nikah), mengayomi mereka yang membutuhkan bantuan seperti janda dan anak yatim, Melestarikan keturunan, menutupi jumlah perempuan yang lebih banyak daripada lelaki, dan pemenuhan kebutuhan psikologis dan seksual.

Akibat negatif dari poligami, antara lain: Istri dan anak-anak terlantar, pandangan miring masyarakat yang menganggap poligami adalah tabu, perasaan inferior istri yang menganggap tindakan poligami suami disebabkan atas ketidak mampuan dirinya untuk memenuhi kebutuhan suami, kelemahan hukum jika terjadi nikah siri, dan sulitnya menjaga keharmonisan hubungan antar istri agar tidak saling dengki, iri, dan bermusuhan.

Daftar Pustaka

Abdullah H. al-Kahtany, Hak-Hak Wanita; Sebuah Tinjauan Sejarah (penerj. Ummu Abdillah al-Buthoniyah dari buku berjudul asli “Women’s Right; A Historical Perspective”), (t.tp: Maktabah Roudloh al-Muhibbin, 2008), hlm. 52-53.

Asy-Syarqawy. t.th. Asy-Syarqawy ala at-Tahriry Juz II. t.tp: al-Haramain.

Departemen Agama RI. t.th. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Kudus: Menara Kudus.

Irawan, Chandra Sabtia. 2007. Perkawinan Dalam Islam: Monogami atau Poligami?. Yogyakarta: An-Naba’. cet. 1.

Kompilasi Hukum Islam

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1974.


[1] Chandra Sabtia Irawan, Perkawinan Dalam Islam: Monogami atau Poligami?, (Yogyakarta: An-Naba’, 2007), cet. 1, hlm. 20-21

[2] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Kudus: Menara Kudus, tth), hlm. 78.

[3] Abdullah H. al-Kahtany, Hak-Hak Wanita; Sebuah Tinjauan Sejarah (penerj. Ummu Abdillah al-Buthoniyah dari buku berjudul asli “Women’s Right; A Historical Perspective”), (t.tp: Maktabah Roudloh al-Muhibbin, 2008), hlm. 52-53.

[4] Asy-Syarqawy, Asy-Syarqawy ala at-Tahriry Juz II, (t.tp: al-Haramain, t.th.), hlm. 215-217.

[5] Lihat Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1974.

Tinggalkan Komentar