Betapa Buruknya Ulama’ yang Menjilat Penguasa

Betapa Buruknya Ulama’ yang Menjilat Penguasa

Bagaimana perasaan Anda melihat ulama-ulama yang seharusnya menjadi benteng terakhir kebenaran, justru menjadi antek-antek kekuasaan?

Dari sejak zaman dulu, sudah menjadi sebuah pola yang kentara bahwa penguasa dzalim akan selalu didampingi ‘ulama yang siap memberikan fatwa dan legitimasi atas tindak dan kebijakan dzalim mereka. Ulama’ su’ (ulama’ yang jelek) tersebut bahkan tidak segan-segan meng-endorse kampanye-kampanye politik untuk mendulang suara, tak peduli pada gelar keilmuan maupun kesufian yang menempel padanya karena sesungguhnya ia sedang melayani uang dan jabatan dengan penyalahgunaan otoritas agama.

Padahal, al-‘ulama’u waratsatul anbiya’, ulama adalah pewaris-pewaris para nabi. Apa yang mereka warisi? Ilmu dan ‘amal.

Hingga ada sebuah atsar yang menceritakan bahwa Abu Hurairah pernah mengumumkan kepada orang-orang yang sibuk berbisnis di pasar, “Kalian di sini, tahukah kalian bahwa warisan Nabi sedang dibagikan di Masjid Nabawi?”.

Mendengar penjelasan Abu Hurairah, lantas orang-orang berduyun-duyun menuju masjid untuk mendapat bagian mereka. Dalam pikiran mereka, warisan Rasulullah pasti berupa harta yang banyak, mengingat banyaknya peperangan yang telah dimenangkan oleh Rasulullah di masa lalu. Setelah sampai di sana, mereka dengan rasa kecewa kembali menemui Abu Hurairah. “Tak ada pembagian warisan di masjid,” sanggah mereka.

Jawab Abu Hurairah, “Apa kalian tidak melihat di sana ada orang-orang yang sedang shalat, membaca Alquran, dan belajar tentang hukum-hukum Allah? Itulah warisan Nabi.”

Cerita di atas menunjukkan bahwa kita semua berkesempatan untuk mewarisi warisan Rasulullah saw. Tinggal kitanya saja yang mau atau tidak. Sebagian dari kita ada yang mendapatkan warisan rasul yang begitu banyak, mereka adalah para ulama’ (para ulama’ khair, ulama’ akhirat dan ulama’ tulen). Sedangkan yang mendapatkan warisan (ilmu dan amal Rasulullah) dalam jumlah sedikit seperti kita-kita ini, diharapkan menjadi hamba yang shalih dan senantiasa mengikuti ‘ulama.

Sebagai ahli waris nabi, para ulama memikul beban dan tanggung jawab dakwah, yaitu kewajiban menyeru dan mengajak manusia ke jalan Allah, ud’uu ila sabiil-i rabbik (QS an-Nahl [16]: 125) melalui tabligh , amar makruf, dan nahi munkar, serta beramal saleh dan keluhuran budi pekerti (QS Fushshilat [41]: 33).

Dikotomi umara’ (pemerintah) dan ‘ulama

Dikotomi ulama’ dan umara’ tidak kita temukan dalam masa awal-awal Islam. Kepemimpinan agama dan kepemimpinan politik diemban secara bersamaan oleh Rasulullah saw dan para Khulafa ar-Rasyidin. Khulafau ar-Rasyidin bisa mencetuskan fatwa berdasarkan kitab dan sunnah secara mandiri dengan kapasitas mereka yang mumpuni, kecuali pada hal-hal tertentu yang sangat sedikit jumlahnya, mereka melibatkan sahabat lain untuk digali pandangannya mengenai sebuah hukum. Para Khulafa ar-Rasyidin ini adalah umara’ sekaligus ‘ulama.

Setelah khulafaur ar-Rasyidin, kepemimpinan Islam mengalami pasang surut. Hal ini bisa dipahami dari tidak adanya ketentuan pasti dari syariat Islam dalam mengelola sebuah negara. Bentuk negara bisalah apa saja, yang pasti keadilan adalah sebuah keharusan dan harga mati. Konsep keadilan tergambar jelas dalam al-Kitab dan as-Sunnah meskipun hal-hal teknis dan praktis mengenai kepemimpinan dan model bentuk negara tidak diatur oleh syariat.

Degradasi kualitas mulai terasa setelah masa khulafau ar-Rasyidin hingga terjadinya dikotomi antara umara’ dan ‘ulama. Dari beberapa khalifah dari masa daulah Islamiyyah, terdapat  mereka yang dzolim seperti al-Hajjaj adapula yang shalih seperti Umar ibn Abdul Aziz dan kebanyakan dari mereka hanya politikus biasa (seimbang antara kedzoliman dan kesalehannya).

Dikotomi ‘ulama dan umara’ adalah sunnatullah dan niscaya untuk terjadi di akhir zaman karena yang memiliki  kecakapan politik  belum tentu menguasai ilmu agama sedangkan yang menguasai ilmu agama belum tentu memiliki sumber daya politik. Maka keduanya harus menjalankan tugas masing-masing sesuai perintah Allah.

Secara sederhana, umara’ harus amanah dan adil dalam memimpin dan ulama’ harus ikhlas dan tulus dalam berdakwah dan ber-amar ma’ruf nahy munkar. Mereka bisa bersatu dan saling melengkapi dengan cara menjalankan tugas masing-masing.

Hal itu tidak akan bisa terjadi jika mereka bermesraan dalam kepentingan pribadi dan bersenggama dalam mencintai dunia. Sedangkan bentuk amr ma’ruf nahy munkar salah satunya adalah mengingatkan umara’ yang dzalim.

Silahkan Anda lihat sendiri

Berpolitik adalah hak setiap individu sehingga siapapun memiliki hak berpolitik bahkan ulama’ sekalipun. Namun, penggunaan otoritas agama, pengarahan jamaah hingga ormas untuk kepentingan politik elektoral adalah penyalahgunaan yang nyata.

Penyelewengan itu adalah bentuk penistaan terhadap agama yang sesungguhnya. Entah sadar atau tidak, ulama’ dunia sudah tertipu oleh syaitan dan menipu umat tanpa upaya edukasi dan membuka peluang berpikir kritis. Misi agama yang berorientasi pada akhirat dan menemukan arti kekayaan hati (QS. Al An’am [6]: 48 – 50) dibelokkan oleh mereka menuju orientasi duniawi dan kekayaan harta.

Ayat, fatwa, simbol dan legitimasi keagamaan sudah diperjualbelikan oleh ulama’ dunia ini untuk mendapatkan harta, jabatan hingga konsesi tambang. Sedangkan korban sesungguhnya adalah umat  yang memiliki keterbatasan ilmu yang kemudian kita sebut mereka sebagai grass root.

Alih-alih ulama’ menjadi wali-wali Allah justru mereka menjelma menjadi wali-walinya Syaithan.

Pada awalnya, ‘ulama semacam itu berpikir bahwa dengan dekat kepada penguasa, mereka bisa mengingatkan dan menegur penguasa di saat mereka berlaku dzalim. Namun, justru di saat kedzaliman itu terjadi, para ulama’ yang hidup di ketiak penguasa itu merasa sungkan dan ewuh pakewuh bahkan untuk sekedar menasehati. Mereka sudah terlanjur ikut menikmati amplop penguasa dan takut jabatan dan harta mereka hilang. Itulah tipuan setan yang memperdaya para ulama’ su’. Mereka dibuai dengan kepentingan pribadi mengatasnamakan kepentingan orang banyak.

Silahkan Anda lihat sendiri, ketika ada banyak nyawa melayang yang belum mendapat keadilan, baik di tanah-tanah adat hingga stadion bola, apakah mereka bersuara? Ketika properti rakyat dirampas secara paksa oleh penguasa, apakah mereka lantang mencerca? Ketika konstitusi negara diinjak-injak oleh segelintir elite, apakah mereka melawan pengkhianatan negara itu?

Ternyata, materi-materi ceramah mereka  tentang nasionalisme, cinta tanah air dan NKRI harga mati, semua hanyalah palsu. Yang ada hanyalah materialisme, cinta saldo rekening dan konsesi tambang harga mati.

Coba sekarang kita bayangkan,  jika ulama-ulama dahulu dimintai pertanggungjawaban di akhirat, mungkin mereka akan menjawab, “Kami memang sudah mengajarkan kitab-kitab kepada santri setiap pagi dan sore, kami sudah menulis beberapa kitab untuk membimbing umat, dan bahkan kami membuat  resolusi jihad ketika dibutuhkan hingga dua kali. Namun, kami merasa amal kami masih kurang jika dibandingkan dengan salaf ash-shalih”. Kemudian para malaikat mempersilahkan mereka untuk menikmati kenikmatan akhirat bersama orang-orang shalih.

Kemudian di akhirat, para ulama’ penjilat penguasa berkata, “Jika kau tanyakan apa saja prestasi kami selama di dunia maka dengan bangga kami sampaikan. Kami sudah memenangkan Pilpres dengan perolehan suara tertinggi, kami sudah memenangkan Pilgub dan Pilbup entah berapa jumlahnya kami lupa. Betapa hebatnya kami memanfaatkan kepatuhan umat. Kata-kataku berat layaknya ayat dan kata-kataku manis bagaikan hadits. Umat dengan sami’na wa atho’na mengamini perkataanku dan bergerak layaknya mesin. Oh iya, hampir lupa kami juga berhasil menguasai beberapa tambang”. Kira-kira apa yang akan dilakukan para malaikat setelah mendengar sekumpulan pencapaian yang pantasnya dicapai oleh Qarun itu? Wallahu a’lam.

Melalui tulisan ini, Penulis berharap kewarasan kita tetap terjaga meskipun para syaitan jin dan syaitan manusia bersekutu dalam membuat propaganda, kampanye manis namun menipu dan sesat dari syariat. Logika dan iman kita diuji melalui adanya kedzaliman berbalut keindahan yang digaungkan artis, influencer, media, hingga pseudo ulama’.

Tinggalkan Komentar