HIJRAH RASULULLAH KE NEGERI HABASYAH DAN THA’IF
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah
Pembelajaran SKI MI/SD
Dosen Pengampu: Dra. Siti Johariyah, M.Pd.
Disusun Oleh:
Nur Khabibah (15480036)
Aditya Darmawan (15480068)
Zuhrotus Syarifah (15480098)
Nur Halimah (15480115)
PGMI/A
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2015/2016
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kami panjatkan atas kehadirat Allah Yang Maha Esa yang telah melimpahkan segenap karunia-Nya sehingga kami mampu menyelesaikan penyusunan makalah mata kuliah pembelajaran SKI MI/SD yang berjudul “Hijrah Rasulullah ke Negeri Habasyah dan Tha’if”. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. beserta ahlul bait, para sahabatnya dan semoga kita termasuk umat beliau yang mendapat syafaat kelak dihari kiamat, amin.
Kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Dra Siti Johariyah, M.Pd.. selaku dosen pembimbing mata kuliah pembelajaran SKI MI/SD, yang telah membimbing dan menuntun kami, sehingga bertambah luaslah pengetahuan kami tentang pembelajaran SKI MI/SD dan tentunya kepada segenap pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini.
Makalah yang kami susun ini, berisi mengenai sebab-sebab Rasulullah hijrah ke Habasyah pertama dan kedua serta hijrah Tha’if, masalah dan kendala yang dihadapi Beliau serta kaumnya serta pelajaran yang dapat diambil dari pembahasa ini . Kami berharap semoga pembaca lebih memahami dengan mudah.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, intuk itu kami sangat menerima kritik dan masukan dari para pembaca. Selamat membaca, semoga bermanfaat.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
- Latar Belakang ……………………………………………………………………………. 1
- Rumusan Masalah ……………………………………………………………………….. 1
- Tujuan ……………………………………………………………………………………….. 2
BAB II PEMBAHASAN
- Hijrah ke Habasyah (Ethiopia)
- Sebab-Sebab Hijrah ke Habasyah yang Pertama ………………………….. 3
- Peristiwa Hijrah ke Habasyah yang Pertama ……………………………….. 4
- Peristiwa Hijrah ke Habasyah yang Kedua …………………………………. 6
- Hijrah ke Thaif ……………………………………………………………………………. 8
- Keteladanan terkait dengan kesabaran Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa hijrah ke Thaif dan Habasyah ………………………………………………………………………………………………….. 13
BAB III PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sudah beberapa kali Rasulullah melakukan hijrah guna untuk menyerukan ajaran agama Islam. Beliau melakukan dakwah karena wahyu dari Allah SWT. Dakwah yang dilakukan beliau secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Awal mula Rasulullah menerima wahyu, Rasulullah hanya melakukan dakwah secara sembunyi karena belum memiliki keberanian untuk segera menyerukan agama Allah SWT. Kasar dan kerasnya watak masyarakat Arab merupakan salah satu contoh sebab Rasulullah melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi.
Setelah memperoleh beberapa wahyu, Rasulullah mulai berani melakukan dakwah secara terang-terangan. Dari negeri ke negeri. Rasulullah berjuang menyebarkan agama Islam, ajaran yang lurus. Dakwah yang dilakukan Rasulullah dilakukan dengan cara yang bermacam-macam. Namun, kami hanya akan membahas dua dari sekian banyak dakwah yang dilakukan Rasulullah. Hijrah ke Habasyah dan Thaif merupakan salah satu contoh Rasulullah melakukan dakwahnya. Habasyah dan Thaif merupakan negara yang diperebutkan kaum Quraisy agar dapat dikuasainya. Habasyah dan Thaif juga termasuk negeri yang begitu subur, karenanya Rasulullah melakukan dakwah di dua negeri tersebut Selain itu, ada beberapa hal menarik yang dapat diambil hikmahnya dalam mempelajari hijrah Rasulullah Saw ke Habasyah dan Thaif.
Rumusan Masalah
- Apa yang meyebabkan Rasulullah SAW memerintahkan kepada para sahabat untuk melakukan hijrah ke Habasyah?
- Apa yang terjadi ketika hijrah ke Habasyah?
- Apakah penduduk Habasyah menerima kedatangan umat muslim?
- Mengapa Rasulullah berhijrah ke Thaif?
- Apakah penduduk Thaif menerima kedatangan Rasulullah SAW?
- Contoh keteladanan apa saja yang dapat diambil dari peristiwa hijrah ke Habasyah dan Thaif?
Tujuan
- Untuk mengetahui penyebab Rasulullah SAW. memerintahkan para sahabat untuk berhijrah ke Habasyah.
- Untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang terjadi ketika sebagian umat muslim pada saat itu berhijrah ke Habasyah.
- Untuk mengetahui sikap penduduk Habasyah terhadap kaum muslim.
- Untuk mengetahui sebab Rasul melakukan hijrah ke Thaif.
- Untuk mengetahui sikap penduduk Thaif terhadap Rasulullah.
- Untuk mengetahui pelajaran yang dapat diambil terutama keteladanan akhlak Rasulullah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. HIJRAH KE HABASYAH (ETHIOPIA)
1. Sebab-Sebab Hijrah ke Habasyah yang Pertama
Orang-orang musyrikin semakin brutal dan kejam dalam menyakiti dan menyiksa kaum muslimin. Intimidasi dan siksaan yang mereka lakukan tak terbendung lagi. Mereka menyakiti kaum muslimin dengan pukulan, pemboikotan pangan, siksaan di bawah terik matahari bahkan pembakaran dengan api untuk satu tujuan yaitu agar agar orang muslimin keluar dari agama islam. Di antara mereka ada yang tak kuasa terhadap siksaan fisik, namun hati mereka tetap kokoh pada keimanan. Ada pula di antara mereka yang kuat agamanya dan Allah memberikan pemeliharaan kepada mereka.
Pada suatu hari, sang musuh Allah yaitu Abu Jahal lewat dan mendapati Samiyah ibunda Ammar bin Yasir, suami dan puteranya tengah disiksa. Abu Jahal menghampiri wanita malang itu lalu menikam kemaluannya dengan menggunakan tombak hingga tewas seketika.
Ketika melewati beberapa budak yang sedang disiksa dengan sangat biadab, Abu Bakar merasa sangat kasihan. Kemudian Ia memerdekakan beberapa di antara mereka. Beberapa budak tersebut ialah sahabat Bilal bin Rabbah, Amir bin Fuhairah, Ummu Ubais, Zanirah, Nahdiyah beserta puterinya dan seorang budak perempuan milik Bani Adiy yang disiksa oleh Umar (sebelum masuk islam).
Menyaksikan semua penindasan ini, sementara Rasulullah tidak kuasa untuk menghalaunya, beliau bersabda kepada para sahabat, “Sekiranya kalian pergi berhijrah ke Habasyah, sesungguhnya disana terdapat seorang raja yang tidak akan menzalimi orang yang meminta perlindungan kepadanya. Itulah negeri yang baik. (Berhijrahlah) sampai Allah menjadikan bagi kalian jalan keluar dari apa yang kalian rasakan saat ini.”
Maka untuk menghindari penindasan dan intimidasi karena semakin banyaknya kaum muslimin, maka berangkatlah kaum muslimin yang terdiri dari 12 orang laki-laki dan 4 orang perempuan, yang dipimpin oleh Usman bin Affan. Maka peristiwa ini merupakan hijrah yang pertama dalam islam.[1]
2. Peristiwa Hijrah ke Habasyah yang Pertama
Para sahabat Rasulullah meninggalkan Makkah pada bulan Rajab tahun ke-5 kenabian. Mereka berangkat dengan cara sembunyi-sembunyi. Ketika tiba di pantai, ada dua kapal dagang yang mengangkut mereka ke negeri Habasyah. Mengetahui hal itu orang kafir Quraisy berusaha mengejar mereka hingga tepi laut. Akan tetapi mereka terlambat sehingga tidak mendapati apa-apa.
Maka tatkala kaum muslimin tiba di Habasyah, raja Najasyi menyambut baik dan hangat kedatangan mereka. Menempatkan mereka ditempat yang pantas, sehingga kaum muslimin merasakan ketenangan dan keamanan. Mereka dapat beribadah kepada Allah dengan tenang tanpa ada yang menyakiti.
Tiga bulan setelah dimulainya hijrah, kaum muslimin hidup dengan berbagai perubahan yang terjadi di makkah. Lahirlah di tengah-tengah kaum muslimin suatu keinginan kuat untuk menyebarkan dakwah di Makkah, dimana pada saat itu Hamzah bin Abdul Mutholib (paman Rasulullah) dan Umar bin Khattab menyataka keislamannya. Pada saat itu Hamzah merupakan kaum muda Quraisy yang sangat disegani sedangkan Umar orang yang sangat tegas dan ditakuti. Karenanya, saat Hamzah dan Umar masuk islam kaum Quraisy segera menyadari bahwa Rasulullah semakin mendapat dukungan dan perlindungan. Maka mereka berangsur menghentikan beberapa kekerasan yang sebelumnya biasa mereka lakukan. Mereka mulai dapat sholat langsung di depan Ka’bah
Tentu semua berita baik itu sampai kepada mereka yang sedang di tanah rantau dan mereka sangat gembira akan perubahan kampung halaman. Karenanya tidak heran jika kerinduan akan kampung halaman kian terasa, jiwa mereka merindukan tanah Makkah tempat sanak saudara mereka berkumpul. Maka mereka pun kembali ke Makkah dalam suasana dan kondisi yang baru dan lebih memiliki keberanian. Mereka percaya dengan adanya kekuatan baru dari Hamzah dan Umar akan membawa kemuliaan dan kekuatan kaum muslimin. Jiwa mereka tertarik kuat untuk selalu berada di bawah naungan Ka’bah.
Akan tetapi kaum Quraisy berusaha memberikan perlawanan baru atas keislaman Hamzah dan Umar. Dari satu sisi mereka mengerahkan jurus makar-makar terbaru dan dari sisi lain mereka kembali melakukan kekerasan. Mereka menambah amunisi untuk melawan Rasulullah dan para sahabatnya. Amunisi baru yang dimaksud adalah pemberlakuan boikot ekonomi atas kaum muslimin, yang berisi sebagai berikut:
- Muhammad dan kaum keluarganya serta kaum pengikutnya tidak diperkenankan menikah dengan orang –orang Quraisy yang lain, baik yang laki-laki maupun yang perempuan.
- Kaum Quraisy tidak diperkenankan berjual beli barang apa saja dengan Muhammad dan keluarganya serta pengikutnya.
- Kaum Quraisy tidak diperkenankan memjalin persahabatan atau pergaulan dengan Muhammad dan keluarganya serta pengikutnya.
- Kaum Quraisy tidak diperkenankan mengasihi dan menyayangi Muhmmad dan kaum keluarganya serta pengikutnya.
- Undang-undang yang telah ditetapkan ini, sesudah ditulis dan digantungkan di dalam Ka’bah, ditetapkan sebagai undang-undang suci kaum Quraisy dan keluarga Muhammad serta pengikutnya.
- Undang-undang ini berlaku selama keluarga Bani Hasyim dan Bani Muthalib belum menyerahkan Muhammad kepada kaum Quraisy untuk dibunuh. Bilamana Muhammad sudah diserahkan kepada mereka, undang-undang ini tidak berlaku lagi.[2]
3. Peristiwa Hijrah ke Habasyah yang Kedua
Dengan diberlakukannya undang-undang pemboikotan tersebut, Rasulullah memerintahkan kepada kaum Muslimin supaya hijrah ke negeri Habasyah untuk yang kedua kalinya. Adapun mereka yang pergi berhijrah berjumlah 101 orang yang terdiri atas 83 orang laki-laki dan 18 orang perempuan. Yang menjadi kepala rombongan sekaligus sebagai penanggungjawab atas segala sesuatu yang berkenaan dengan kaum muhajirin ini ialah sahabat Ja’far bin Abi Tholib.
Keadaan kaum imigran islam yang berada dalam suaka raja Najasyi benar-benar aman. Mengetahui hal itu, orang-orang kafir Quraisy menyuruh Abdullah bin Rabi’ah dan Amr bin Ash untuk mengejar mereka. Keduanya menemui raja Najasyi dengan membawa banyak hadiah dan meminta kepada raja Najasyi supaya bersedia mengusir kaum imigran muslim. Permintaan delegasi kaum Quraisy tidak langsung dikabulkan oleh raja Najasyi. Raja yang beragama nasrani ini lantas memanggil Ja’far dan rombongannya ke istana.
Di tempat inilah dan di hadapan raja beserta para penasehat agamanya, Ja’far menjelaskan maksud kedatangannya ke Habasyah. Putra Abu Thalib ini dengan tegas mengatakan bahwa dia dan rombongannya, bukanlah budak yang lari dari tuannya atau pembunuh yang lari dari tebusan darah. Mereka lari dari Mekah hanya untuk menyelamatkan diri dari penyiksaan dan tekanan yang dilakukan para pemuka Quraisy terhadap mereka. Mereka dianggap layak mendapat perlakuan buruk karena telah menyembah Tuhan yang Esa dan menolak sujud kepada berhala.
Penjelasan Ja’far bin Abi Thalib berhasil mematahkan makar utusan Quraisy. Raja Najasyi memerintahkan untuk mengembalikan semua hadiah yang dikirim Quraisy kepadanya. Utusan Mekah-pun meninggalkan negeri Habasyah. Untuk kaum muhajirin, raja Najasyi memberikan izin tinggal di negerinya dengan aman dan damai sampai kapanpun juga.
Keadaan Nabi Muhammad SAW. Selama Diboikot
Selama pemboikotan yang berlangsung kurang lebih tiga tahun, Rasulullah dan kaum keluarganya serta kaum muslimin yang tidak ikut ke negeri Habasyah mengalami berbagai kesulitan dan kesengsaraan dalam hidupnya. Pada masa pemboikotan mereka hanya memakan apa saja yang didapat dan berpakaian apa saja yang dapat dikenakan.
Inilah kesengsaraan dan kemiskinan yang diderita Rasulullah dan kaum muslimin pada masa itu. Sungguh pun demikian, Rasulullah dan segenap kaum muslimin tetap tenang serta teguh mengerjakan perintah-perintah Allah.[3]
Cerita tentang rusaknya lembar pengumuman
Dalam masalah pembuatan dan pemasangan lembar pengumuman aksi pemboikotan ini menjadi pro kontra di kalangan kaum kafir Quraisy. Pihak yang kontra berusaha untuk merobeknya.
Selanjutnya, Allah memperlihatkan kepada Rasul-Nya atas nasib lembar pengumuman aksi pemboikotan yang dilakukan kaum Quraisy. Allah mengirim rayap untuk memakannya berikut semua tulisan yang berisi kedzaliman kecuali tulisan yang yang menyebut nama Allah.
Rasulullah memberitahukan hal tersebut kepada pamannya yaitu Abu Tholib. Abu Tholib langsung menemui para pemuka kaum Quraisy dan berkata, “Jika ia dusta, aku akan menyerahkan ia (Muhammad) kepada kalian. Terserah mu apakan ia. Dan jika ia benar, kalian harus menghentikan tindakan kalian yang jahat dan semena-mena ini.”
Mereka setuju, kemudian menurunkan lembar pengumuman pemboikotan tersebut. Begitu dilihat ternyata memang benar apa yang dikatakan Rasulullah. Tetapi mereka justru bertambah kufur.
B. HIJRAH KE THAIF
Peristiwa hijrah Nabi Muhammad ke Thaif terjadi pada tahun ke-10 Kenabian ketika para ketua dan pembesar musyrikin Quraisy menyadari bahwa Nabi tidak mempunyai tulang punggung yang dapat melindungi beliau apabila disakiti dan dianiaya atau diperlakukan dengan kejam karena orang yang beliau sayangi dan kasihi telah meninggal dunia, yaitu Abu Thalib dan Khadijah sehingga disebut tahun kesedihan (Ammul Huzni), maka mereka semakin menghalangi dan memusuhi beliau. Setiap hari, siang dan malam, beliau tidak henti-henti menerima celaan, cercaan, penghinaan, dan perbuatan yang menyakitkan dari para musyrikin Quraisy. Oleh sebab itu, teringat oleh beliau bahwa di kota Thaif ada seorang yang masih termasuk keluarga dekat beliau dari keturunan Tsaqif. Di kota Thaif, merekalah yang memegang kekuasaan. Ketika itu tinggal tiga orang, yaitu: Kinanah yang bergelar Abdu Jaffi, Mas’ud yang bergelar Abdul Kulal, dan Habib. Ketiganya adalah anak dari Amr bin Umair bin Auf ats-Tsaqafi dan masing-masing memegang kekuasaan di kota Thaif.
Nabi Muhammad memilih Thaif karena Thaif adalah wilayah yang sangat strategis bagi masyarakat Quraisy. Bahkan kaum Quraisy sangat menginginkan wilayah tersebut dapat mereka kuasai. Sebelumnya mereka telah mencoba untuk melakukan hal itu. Bahkan mereka melompat ke lembah Wajj. Hal demikian lantaran Thaif memiliki sumber daya pertanian yang sangat kaya. Hingga akhirnya orang-orang Tsaqif takut kepada mereka dan mau bersekutu dengan mereka. Bergabung pula bersama mereka Bani Daus.[4] Tidak sedikit dari orang-orang kaya di Makkah yang memiliki simpanan harta di Thaif. Disana juga mereka mengisi waktu-waktu rehat pada musim panas. Adapun Kabilah Bani Hasyim dan Abdu Syam senantiasa menjalin komunikasi baik dengan orang-orang Thaif. Pergerakan dakwah yang penuh strategi yang dijalankan oleh Rasulullah ini sebagai bentuk upaya beliau, antusias beliau, untuk mendirikan negara Islam tangguh yang sanggup bertahan dalam arena pertarungan. Karena, sesungguhnya suatu negara yang kuat merupakan fasilitas dakwah yang teramat penting dan utama. Maka tatkala beliau tiba di Thaif, beliau langsung menuju pusat kekuasaan, tempat diputuskannya suatu ketetapan politik di Thaif.
Nabi SAW berharap apabila beliau datang ke Thaif dan bertemu dengan mereka, mereka bisa mengikuti seruannya dan ikut serta menggerakkan dakwah beliau di kota itu. Dengan demikian, penduduk kota itu akan segera mengikuti seruan beliau dan selanjutnya mereka dapat memberi bantuan untuk kepentingan penyiaran Islam di kota Mekah. Dengan tidak berpikir panjang, Nabi saw berangkat ke Thoif secara diam-diam bersama Zaid bin Haritsah (bekas budak Khadijah yang telah diangkat sebagai anak beliau) dengan berjalan kaki.
Setiba Nabi saw. di Thaif bersama Zaid, beliau mencari tempat kediaman orang yang ditujunya, yakni para pemimpin Bani Tsaqif yang sedang berkuasa disana. Beliau lalu menyatakan maksud kedatangannya kepada mereka, yaitu selain hendak menyambug tali kasih sayang dengan mereka dan mengekalkan persaudaraan dengan mereka sepanjang adat istiadat bangsa Arab, beliau menganjurkan kepada mereka supaya mengikut apa yang diserukannya.
Setelah mereka mendengar seruan beliau, seketika itu penduduk Thaif yang bodoh marah, mencaci maki, dan mendustakan beliau dengan perkataan-perkataan yang sangat kasar. Mereka mengusir beliau dari rumah mereka dan pergi dari kota Thaif. Jika tidak, beliau diancam akan dibinasakan saat itu juga.
Setelah mendengar celaan, caci maki, dan ancaman mereka, beliau mohon diri seraya berkata, “Jikalau kamu tidak sudi menerima kedatanganku ke sini, tidak mengapa. Tetapi janganlah kedatanganku kemari disiarkan kepada penduduk kota ini.”
Beliau tidak ingin hal tersebut terdengar oleh kaumnya sehingga akan memperunyam keadaan. Karena dalam misinya ini, beliau berusaha melakukan serahasia mungkin, dan tidak ingin tercium pergerakanya oleh kaum Quraisy,[5] karena beliau sangat memperhatikan hal-hal berikut ini:
- Saat berangkat ke Thaif, beliau tidak menggunakan kendaraan, namun dilakukan dengan berjalan kaki, agar orang Quraisy tidak mengira bahwa beliau akan keluar dari Makkah. Sebab jika sampai beliau menggunakan kendaraan, mereka akan membaca bahwa beliau sedang menuju suatu tempat tertentu, dan boleh jadi mereka akan melakukan penghadangan dan pencekalan.
- Rasulullah mengajak Zaid, anak angkat beliau dalam keberangkatan tersebut. Jika dicermati, dengan memiih Zaid sebagai teman perjalanan, terdapat beberapa aspek keamanan yaitu, jika orang melihat bahwa ada orang lain yang menemani keberadaannya, tentunya mereka akan membaca bahwa Rasulullah tidak bergerak sendirian. Disamping itu, beliau mengenal Zaid sangat dekat. Beliau percaya Zaid dapat menjaga rahasia, karena dia adalah orang yang ikhlas, jujur, dan amanah. Dan itulah yang ditampakkan Zaid tatkala beliau diserang dengan lemparan batu. Dia dengan berani melindungi Rasulullah dengan mnjadikan dirinya sebagai perisai beliau dari lemparan tersebut walaupun kepalanya harus cedera.
- Tatkala perlakuan para pemuka dan masyarakat Thaif sangat buruk kepada beliau. Beliau dengan sabar menanggunnya, tidaklah beliau marah atau mendendam, namun beliau hanya meminta agar mereka tidak menutupi semua kejadian ini. Inilah langkah kerahasiaan yang sangat optimal. Sebab jika sampai orang Quraisy mengetahui hal itu, tidak hanya mereka akan mencerca beliau, namun boleh jadi mereka akan semakin keras dalam melakukan penindasan dan tekanan, maka semakin terhalangilah semua gerakan beliau di dalam dan luar Makkah.[6]
Berserah diri dan berdoa kepada Allah
Sungguh, Bani Amr adalah orang-orang yang tercela, bukannya menutupi peristiwa itu, mereka malah membesar-besarkannya dengan melakukan aksi penyerangan kepada Rasul. Mereka melempari beliau hingga berdarah-darah. Hingga akhirnya beliau dan Zaid terpojok di perkebunan Atabah dan Syaibah. Keduanya adalah putra Rabi’ah yang sedang berada di dalam kebun tersebut. Lalu setelah melihat kondisi yang demikian, orang-orang Tsaqif yang semula mengejar beliau akhirnya kembali pulang. Lalu beliau bersandar di salah satu batang anggur. Di sana beliau dan anak angkatnya Zaid terduduk lemas, berusaha memulihkan tenaga dari apa yang baru saja keduanya rasakan, dan kedua putra Rabi’ah si pemilik kebun melihat kepada beliau dan Zaid. Keduanya pun menyaksikan dengan mata kepala apa yang diterima Rasulullah dari keburukan orang-orang Tsaqif. Maka dalam kondisi yang lemah dan tekanan psikis tersebut, beliau bermunajat kepada-Nya mengharap ridha-Nya semata.
“Ya, Allah kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kesanggupanku, dan kerendahan diriku berhadapan dengan manusia. Wahai Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Engkaulah Peindung bagi si lemah dan Engkau jualah pelindungku! Kepada siapa diriku hendak Engkau serahkan? Kepada orang jauh yang berwajah suram terhadapku, ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku? Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka semua itu tak kuhiraukan, karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu, yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan di akhirat dari murka-Mu yang hendak Engkau turunkan dan mempermasalahkan diriku. Engkau berkenan, sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu”[7]
Pertemuan Addas dengan Nabi Muhamad SAW
Utbah dan Syaibah yang sedang berada di kebun itu selalu mengamati gerak-gerik Nabi dan Zaid. Keduanya pun mengetahui bahwa kedua orang itu tengah menderita karena tampak oleh mereka bahwa keduanya sedang terluka parah dan berlumuran darah. Timbullah rasa kasihan mereka terhadap dri Nabi dan Zaid. Mereka lalu menyuruh bujangnya bernama Addas supaya mengantar sepiring anggur kepada Nabi.
Addas adalah seorang pengikut agama Nasrani. Ketika ia mendapat perintah dari tuannya supaya mengantar sepiring anggur, ia segera mengambil buah dan diantarkannya kepada Nabi. Sebelum anggur itu diantar, Addas dipesan oleh tuannya bahwa apabila anggur itu telah sampai, Nabi segera dipersilakan memakannya. Pesan itu oleh Addas dipeerhatikan benar-benar. Setelah sampai kepada Nabi saw, Addas mempersilahkan beliau untuk segera memakanya. Sepiring anggur itu diterima Nabi saw dengan baik dan sebagian anggur itu diberikan kepada Zaid lalu mereka segera memakannya. Ketika hendak memakannya mereka membaca bismillah.
Addas selalu memperhatikan gerak-gerik Nabi saw. dari jauh, Utbah dan Syaibah memperhatikan juga. Sesudah Nabi dan Zaid memakan buah anggur tadi, Addas lalu bertanya kepada Nabi tentang kalimat yang dibaca oleh beliau ketika makan.
Beliau bertanya, “dari negeri apakah engkau wahai Addas? Dan apa agamamu?” dia menjawab, aku seorang Nasrani dan aku adalah seorang yang berasal dari negeri Ninawa.”
Rasul bertanya lagi, “ apakah dari desa seorang lelaki yang shaleh bernama Yunus bin Mata?”
Addas menjawab, “ apa yang engkau ketahui tentang Yunus bin Mata?”
Beliau bersabda, “dia adalah saudaraku, dia seorang Nabi dan aku pun seorang Nabi.”
Lalu Addas langsung memeluk Rasulullah, mencium tangan dan kakinya. Melihat tingkah Addas, kedua putra Rabi’ah yang merupakan majikannya berkata antara satu dengan yang lainnya, “budakmu telah dirusak di hadapanmu.” Maka ketika Addas datang kembali kepada majikannya, keduanya berkata,”celakalah engkau wahai Addas, mengapa engkau tadi mencium kepada tangan dan kaki lelaki itu?”
Addas menjawab,”wahai tuanku, tidak ada di muka bumi ini yang lebih baik dari lelaki ini. Sungguh dia telah menyampaikan kepadaku tentang suatu perkara yang tak seorang pun mengetahuinya selain aku.”
Keduanya berkata, “celakalah engkau, jangan sampai dia membuatmu berpaling dari agamamu, sesungguhnya agamamu lebih baik daripada agamanya.” [8]
Keteladanan terkait dengan kesabaran Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa hijrah ke Thaif dan Habasyah
Nabi Muhammad Saw adalah seorang manusia yang mulia pilihan Allah SWT. Tak salah jika perkataan dan perbuatannya dijadikan sebagai teladan oleh umat Islam dalam kehidupan manusia. Sikapnya yang lembut dan tak pendendam menjadikan ciri suri tauladan yang dicontohkan beliau. Rasulullah juga selalu tenang dan tidak gegabah dalam menjalankan suatu misi atau peperangan untuk menyiarkan agama Islam.
Begitu juga ketika Rasulullah melakukan hijrah ke negeri Habasyah dan Thaif. Beberapa teladan yang dapat dipetik dalam peristiwa tersebut adalah diantaranya:
- Tidak mengandalkan keajaiban di luar kemampuan manusia biasa. Apa yang dapat dilakukan diperhitungkan dengan matang.
- Sabar dalam menghadapi setiap musuh yang menghadang beliau.
- Tidak membalas kekerasan yang dilakukan oleh musuh.
- Hijrah Rasulullah Saw dilakukan semata-mata hanya untuk menyiarkan agama Islam.
- Tawakal selalu melekat dalam hatinya dalam menghadapi segala masalah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sikap kaum musyrikin yang semena-mena dan kejam terhadap kaum muslimin meyebabkan Rasulullah tak kuasa melihat kaumnya ditindas kaum Quraisy. Pemboikotan dan kekejaman yang dilakukan kaum Quraisylah faktor Rasulullah menyuruh kaumnya untuk hijrah ke Habasyah pada tahun ke-5 Kenabiannya. Pemboikotan yang dilakukan Rasulullah beserta kaum muslimin lain yang tidak ikut ke Habasyah mengalami kesengsaraan dan kepedihan. Mereka hanya memakan makanan seadanya dan berpakaian apa yang dikenakannya saja. Di negeri Habasyah, kaum muslimin diperlakuan begitu baik dengan rajanya yaitu Raja Najasyi. Walaupun Raja Najasyi termasuk Nasrani, namun hatinya begitu lembut terhadap rakyatnya. Raja Najasyi tidak pernah melakukan kekerasan maupun pilih kasih terhadapnya rakyatnya. Oleh karena itu, kaum muslimin hidup begitu tenang dan damai untuk melakukan ibadah di negeri Habasyah.
Setelah mengalami beberapa kesengasaraan yang dilakukan kaum Quraisy, Rasulullah masih mengalami kepedihan yang lain yaitu dengan meninggalnya istri beliau Khadijah dan paman beliau Abu Thalib pada tahun ke-10 setelah Kenabiannya. Tahun inilah yang disebut tahun kesedihan. Untuk mengurangi kesedihannya, Rasulullah melakukan hijrah ke Thaif bersama anak angkatnya Zaid bin Haritsah. Selain itu beliau juga akan berdakwah di negeri subur tersebut yang diperebutkan pihak Quraisy untuk dikuasainya. Sesampainya di Thaif, Rasulullah dan Zaid disambut dengan cercaan, hinaan, makian bahkan dilempari batu oleh masyarakat Thaif. Mereka enggan menerima maksud kedatangan Rasulullah ke Thaif.
DAFTAR PUSTAKA
Chalil, Moenawar. 2001. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW Jilid 2. Jakarta: Gema Insani.
Damla. Nurdan. 2009. 365 Hari Bersama Rasulullah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Khalid, Amr. 2009. Jejak Rasul: Membedah kebijakan dan Strategi Politik Perang. Yogyakarta: A*Plus Book.
Muhammad, Ali. 2012. Sejarah Lengkap Rasulullah Jilid 1. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Qayyim, Ibnu. 2012. Jami’u Sirah Kelengkapan Tarikh Rasulullah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
[1] Ali Muhammad. 2012. Sejarah Lengkap Rasulullah Jilid 1. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Halm.302
[2] Chalil, Moenawar. 2001. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW Jilid 2. Jakarta: Gema Insani. Halm.30
[3] Chalil, Moenawar.2001, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW Jilid 2. Jakarta: Gema Insani. Halm. 46
[4] Syarh Al-Asqalani li Shahih Al-Bukhari, kitab Al-Kafalah (4/373).
[5] Ushul Al-Fikr As-Siyasi, hal. 175.
[6] As-Sirah An-Nabawiyyah, Jawanib Al-Hadzr wa Al-Himayah, hal. 109-110.
[7] Dr.Umari memilih untuk men-dho’ifkan hadits ini dalam kitabnya As-Sirah An-Nabawiyyah Ash-Shahihah (1/186).
[8] Shahih As-Sirah An-Nabawiyah, 136-137.