Isim maushul selalu membutuhkan shilah, ‘āid dan mahall min al-i’rab. Shilah adalah jumlah yang disebutkan setelah isim maushul sehingga jumlah tersebut menyempurnakan makna isim maushul. Ia disebut shilah al-maushul (صلة الموصول).
:نحو
جَاءَ الَّذِيْ أَكْرَمْتُهُ
Telah datang orang yang aku memuliakannya
Catatan: jumlah ini “أَكْرَمْتُهُ” tidak memiliki mahall dari i’rab apa pun.
‘Āid (العائد) adalah dlamir yang kembali kepada isim maushul yang mana ‘āid/dlamir ini ada di dalam shilah al-maushul.
Ketika seseorang berkata:
تَعَلَّمْ مَا تَنْتَفِعُ بِهِ
Pelajarilah sesuatu yang kau ambil manfaat dengannya
maka ‘āid-nya adalah dlamir ha’ (ه) karena dlamir itu kembali kepada mā (ما)
dan jika seseorang berkata:
تَعَلَّمْ مَا يَنْفَعُكَ
Pelajarilah sesuatu yang bermanfaat kepadamu
Maka ‘āid-nya adalah dlamir mustatir yang menjadi fail dalam yanfa’u (يَنْفَعُ) yang kembali kepada mā (ما).
Syarat ‘Āid dalam Shilat al-Maushul
‘Āid yang kembali kepada isim maushul khash disyaratkan harus sesuai kepadanya baik dari segi ifrad, tatsniyah, jama’, mudzakkar dan muannats-nya.
:نحو
أَكْرِمِ الَّذِيْ كَتَبَ
أَكْرِمِ الَّتِيْ كَتَبَتْ
أَكْرِمِ اللَّذَيْنِ كَتَبَا
أَكْرِمِ اللَّتَيْنِ كَتَبَتَا
أَكْرِمِ الَّذَيْنِ كَتَبُوْا
أَكْرِمِ اللَّاتِيْ كَتَبْنَ
Adapun ‘āid yang kembali kepada isim maushul musytarak maka boleh memilih antara dua wajah (cara).
Yang pertama, menjaga lafadh al-maushul sehingga ‘āid di-mufrad-kan dan di-mudzakkar-kan ke semua. Cara ini yang paling banyak digunakan.
:نحو
كَرِّمْ مَنْ هَذَّبَكَ
Muliakanlah orang yang telah mendidikmu
Yang kedua, menjaga makna al-maushul sehingga ‘āid menyesuaikan maushul-nya dalam ifrad, tatsniyah, jama’, mudzakkar, dan muannatsnya.
:نحو
كَرِّمْ مَنْ هَذَّبَكَ
كَرِّمْ مَنْ هَذَّبَاكَ
كَرِّمْ مَنْ هَذَّبَتَاكَ
كَرِّمْ مَنْ هَذَّبُوْكَ
كَرِّمْ مَنْ هَذَّبْنَكَ
Jika ada dua dlamir yang kembali kepada maushul maka boleh dlamir pertama berdasar lafadh maushul dan yang kedua berdasar makna maushul. Kasus semacam ini banyak terjadi contohnya adalah:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُوْلُ ءَامَنَّا بِاللّٰهِ وَبِالْيَوْمِ الْأٰخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِيْنَ
Dan dari sebagian manusia terdapat orang yang berkata “aku beriman kepada Allah dan hari akhir” sedangkan mereka bukanlah termasuk orang-orang yang beriman (Al-Baqarah: 8)
Catatan: dlamir mustatir pada ‘يَقُوْلُ’ kembali pada maushul ‘مَنْ’ dalam bentuk ifrad, sedangkan dlamir ‘هُمْ’ pada ‘وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِيْنَ’ kembali pada maushul ‘مَنْ’ dalam bentuk jama’.
Terkadang juga ‘āid-‘āid/dlamir-dlamir yang kembali kepada maushul berdasarkan kepada lafadh lalu makna lalu kembali ke lafadh lagi. Misalnya yaitu Luqman: 6-7:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّشْتَرِيْ لَهْوَ الْحَدِيْثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ بِغَيْرِ عِلْمٍۖ وَّيَتَّخِذَهَا هُزُوًاۗ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِيْنٌ
Di antara manusia ada orang yang membeli (mempergunakan) percakapan kosong untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (Luqmān: 6)
وَاِذَا تُتْلٰى عَلَيْهِ اٰيٰتُنَا وَلّٰى مُسْتَكْبِرًا كَاَنْ لَّمْ يَسْمَعْهَا كَاَنَّ فِيْٓ اُذُنَيْهِ وَقْرًاۚ فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍ
Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia tidak mendengarnya, seakan-akan ada sumbatan di kedua telinganya. Maka, berilah kabar gembira kepadanya dengan azab yang pedih. (Luqmān: 7)
Mari perhatikan dlamir pertama yang kembali pada maushul ‘مَنْ’ pada “يَّشْتَرِيْ” dalam:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّشْتَرِيْ لَهْوَ الْحَدِيْثِ
Ia berbentuk mufrad berdasarkan lafadh maushul-nya
Lalu lihat pada:
اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِيْنٌ
Isim isyarah serta ‘āid berbentuk jama’
Kemudian lihat pada:
وَاِذَا تُتْلٰى عَلَيْهِ اٰيٰتُنَا
Dlamir/‘āid kembali di-mufrad-kan.
Tempat/mahall-nya Isim Maushul dari I’rab
Semua Isim maushul itu berhukum mabni (kecuali beberapa kasus pada ‘أَيُّ الْمَوْصُوْلِيَّةْ’) sehingga ia hanya menempati mahall min al-i’rab berdasarkan kedudukannya di dalam kalam.
Adakalanya isim maushul menempati mahall rafa’, misalnya:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى
Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (Al-A’laa: 14)
Adakalanya isim maushul menempati mahall nashab, misalnya:
أَحْبِبْ مَنْ يُحِبُّ الْخَيْرَ
Cintailah orang yang mencintai kebaikan
Adakalanya isim masuhul menempati mahall jarr, misalnya:
جُدْ بِمَا تَجِدُ
Berbagilah dengan apa yang kau temukan
Syarat shilah al-maushul
Shilah al-maushul disyaratkan harus berupa jumlah khabariyah yang memuat atas dlamir bariz atau dlamir mustatir yang kembali kepada isim al-maushul. Seperti yang telah kita bahas sebelumnya bahwa dlamir tersebut dinamakan sebagai ‘āid (العائد) yang memiliki arti “yang kembali” karena ia kembali kepada maushul.
Contoh ‘āid berupa dlamir bariz adalah:
لَا تُعَاشِرُ الَّذِيْنَ يُحَسِّنُوْنَ لَكَ الْمُنْكَرَ
Janganlah engkau bergaul dengan orang-orang yang menganggap baik kemunkaran bagimu
Dan contoh ‘āid berupa dlamir mustatir adalah:
صَاحِبْ مَنْ يَدُلُّكَ عَلٰى الْخَيْرِ
Temanilah orang yang menunjukkanmu pada kebaikan
Sebelumnya kita menyebutkan adanya istilah jumlah khabariyah. Adapun yang dimaksud dengan jumlah khabariyah adalah susunan kalimah yang verifikasi isinya (makna yang dikandung) tidak bergantung pada pengucapannya (yang berarti ia bisa benar atau salah tergantung pada kenyataannya bukan ucapannya). Semisal ketika seseorang berkata:
أَكْرَمْتُ الْمُجْتَهِدَ أَوْ سَأُكْرِمُهُ
Aku telah memuliakan orang yang rajin atau aku akan memuliakannya
maka menjadi nyatanya perlakuan ‘ikram’ (memuliakan) tidak bergantung pada pemberitaan tersebut.
Jumlah khabariyah terbagi menjadi dua, yakni: jumlah ismiyyah dan jumlah fi’liyyah.
Contoh shilah al-maushul jumlah ismiyyah:
جَاءَ الَّذِيْ أَبُوْهُ رَئِيْسُ الْبَلَدِ
Telah datang seseorang yang ayahnya adalah pemimpin negara
Contoh shilah al-maushul jumlah fi’liyyah:
جَاءَ الَّذِيْ مَاتَ أَبُوْهُ
Telah datang seseorang yang telah mati ayahnya
Pertanyaannya adalah apakah yang datang itu ayahnya benar-benar pemimpin negara? Apakah benar orang yang datang itu ayahnya sudah meninggal? Kenyataannya itu bisa benar maupun salah, itulah jumlah khabariyyah yang mana kenyataan isinya tidak bergantung pada penuturannya.
Jumlah-jumlah seperti diatas bisa dijadikan sebagai shilah al-maushul.
Berbeda dengan jumlah insyaiyyah yang pengertiannya adalah susunan kalimah yang menjadi nyata isinya (makna yang dikandung) bergantung pada pengucapannya. Jumlah insyaiyyah tidak bisa dijadikan sebagai shilah al-maushul seperti jumlahnya amr, nahy, tamanni, tarajji, dan istifham. Semisal ada seseorang berkata:
خُذِ الْكِتَابَ
Ambillah kitab itu!
Maka perbuatan mengambil tidak menjadi nyata kecuali setelah diucapkannya perintah (amr) tersebut.
Adapun dua jumlah yakni jumlah syarthiyyah dan jumlah qasamiyyah maka termasuk jumlah insyaiyyah jika jawabnya berupa insyaiyyah, contoh:
إِنِ اجْتَهَدَ عَلِيٌّ فَأَكْرِمْهُ
Jika Ali rajin maka muliakanlah dia!
بِاللّٰهِ أَكْرِمِ الْمُجْتَهِدَ
Demi Allah, muliakanlah orang yang rajin!
Jumlah syarthiyyah dan qasamiyyah termasuk jumlah khabariyyah jika jawabnya khabariyyah juga, contoh:
إِنِ اجْتَهَدَ عَلِيٌّ كَرَّمْتُهُ
Jika Ali rajin maka aku memuliakannya
بِاللّٰهِ لَأُكْرِمَنَّ الْمُجْتَهِدَ
Demi Allah! Pasti aku sungguh memuliakan orang yang rajin
3 Poin Penting Mengenai Shilah al-Maushul
Beberapa poin penting mengenai shilah al-maushul antara lain:
- Shilah al-maushul wajib jatuh setelah isim maushul sehingga tidak boleh mendahulukannya atas isim maushul.
Begitu juga dengan mendahulukan sebagian dari shilah al-maushul tidak diperbolehkan sehingga contoh seperti ini tidak boleh diucapkan:
الْيَوْمَ الَّذِيْنَ اجْتَهَدُوْا يُكْرَمُوْنَ غَدًا
Akan tetapi pengucapan yang benar adalah sebagai berikut:
الَّذِيْنَ اجْتَهَدُوْا الْيَوْمَ يُكْرَمُوْنَ غَدًا
Orang-orang yang rajin hari ini itu akan dimuliakan besok
Dharaf pada contoh di atas adalah bagian yang menyempurnakan shilah al-maushul.
- Shilah al-maushul bisa berupa dharaf atau jarr majrur saja (yang mana keduanya bukan jumlah).
Contohnya adalah:
أَكْرِمْ مَنْ عِنْدَهُ أَدَبٌ
أَحْسِنْ إِلٰى مَنْ فِيْ دَارِ الْعَجَزَةِ
Mengapa dharaf dan jarr majrur bisa menjadi shilah maushul karena keduanya menyerupai jumlah. Taqdir-nya adalah:
أَكْرِمْ مَنْ اسْتَقَرَّ أَوْ وُجِدَ عِنْدَهُ أَدَبٌ
Muliakanlah orang yang tata krama menetap atau ditemukan bersamanya
أَحْسِنْ إِلٰى مَنْ اسْتَقَرَّ أَوْ وُجِدَ فِيْ دَارِ الْعَجَزَةِ
Berbuat baiklah kepada orang yang menetap atau ditemukan di panti jompo
Sehingga pada hakikatnya yang menjadi shilah adalah jumlah yang terbuang, sedangkan huruf jarr dan dharaf ber-ta’alluq (bergantung) dengan fiil-nya (yang terbuang).
- ‘Āid boleh dibuang jika dengan dibuangnya tersebut tidak menyebabkan iltibas (kerancuan).
:نحو
ذَرْنِيْ وَمَنْ خَلَقْتُ وَحِيْدًا
Biarkanlah Aku dan orang yang aku sendiri telah menciptakan(nya). (Al-Muddatsir: 11)
Maksudnya jika di-taqdir-kan adalah “مَنْ خَلَقْتُهُ”.
فَاقْضِ مَا أَنْتَ قَاضٍ
Maka putuskanlah apa yang engkau adalah orang yang memutuskan(nya). (Thaha: 72)
Maksudnya jika di-taqdir-kan adalah “قَاضِيْهِ”.
مَا أَنَا بِالَّذِيْ قَائِلٌ لَكَ سُوْءًا
Aku tidak dengan orang yang (ia adalah) pengucap keburukan padamu
Maksudnya jika di-taqdir-kan adalah “بِالَّذِيْ هُوَ قَائِلٌ”.