Pendekatan Ilmu Sosial dan Humaniora Dalam Islam

MAKALAH

PENDEKATAN ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA DALAM ISLAM

Diajukan untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah: Metodologi Studi Islam

Dosen Pengampu:

Drs. H. Ahmad Zaeni, M.Ag

Oleh:

Riska Fauziyah                                                (2021215516)

Mudhofar                                                        (2021215517)

Achmad Zaky                                                 (2021215518)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN

2016

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini, yang berjudul “Pendekatan Ilmu Sosial dan Humaniora dalam Islam”.

Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membimbing umat dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang yang diridhoi oleh Allah SWT yaitu agama Islam.

Selanjutnya kami ucapkan terima kasih kepada pihak yang selalu mendukung kelancaran tugas kami, Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Meteodologi Studi Islam dan dipresentasikan dalam pembelajaran di kelas. Makalah ini dianjurkan untuk dibaca oleh semua mahasiswa dan mahasiswi pada umumnya sebagai penambah ilmu pengetahuan tentang Pendekatan Ilmu Sosial dan Humaniora dalam Islam.

Akhirnya kami sampaikan terima kasih atas perhatian pembaca, dan kami berharap semoga makalah  ini bermanfaat bagi kami khususnya dan pembaca yang budiman pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak itulah adanya isi makalah ini, dan tiada manusia yang sempurna karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata, jadi kami mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila ada kekurang sesuain dengan  isi makalah  ini, dan kami memohon dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan guna untuk peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.

Pekalongan, 25 Maret 2016

     Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam memandang manusia sebagai ciptaan Tuhan yang memiliki kemampuan untuk mematuhi tata tertib kehidupan sebagai satu keseluruhan baik materiil maupun spiritual. Manusia tetap harus memenuhi kebutuhan baik itu yang bersifat ukhrowi yang berhubungan dengan Tuhan maupun duniawi yang memerlukan hubungan baik antara manusia. Ibadah seperti sholat, puasa dan haji ‘bisa dikatakan’ hanya sebatas membayar kewajiban kepada Tuhan (walaupun tak sedangkal itu), buah dari ibadah yang seharusnya bisa tampak dalam kehidupan beragama di kalangan masyarakat sering terjadi kesalahpahaman dalam menghayati simbol dari keagamaan. Akibatnya agama lebih dihayati sebagai pengalaman individu dan bukan sebagai keberkahan sosial secara umum. Atas dasar itulah berbagai pendekatan dalam memahami agama dapat dilakukan untuk mencapai nilai kebenaran dari paradigma sebuah agama agar kehadiran agama dapat dirasakan secara fungsional dan komprehensif.

B. Rumusan Masalah

  1. Apa pengetian Pendekatan, Ilmu Sosial dan Humaniora?
  2. Bagaimana pendekatan berbagai Ilmu Sosial dan Humaniora dalam studi Islam?

C. Tujuan Penulisan

  1. Mengetahui pengetian Pendekatan, Ilmu Sosial dan Humaniora.
  2. Mengetahui pendekatan berbagai Ilmu Sosial dan Humaniora dalam studi Islam.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendekatan, Ilmu Sosial dan Humaniora

1. Pengetian Pendekatan

Istilah pendekatan menurut bahasa sering disebut dengan madkhol (bahasa arab) dan approach (bahasa inggris). Istilah lain yang empunyai arti dan tujuan sama antara lain theoretical framework, conceptual framework, perspective, point of view dan paradigma.[1]

Adapun yang dimaksud pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Berbagai pendekatan dapat dilalui dengan berbagai bidang ilmu apapun untuk mencapai pendekatan paradigma ini. Disini dapat dilihat bahwa agama bukanlah monopoli kalangan teolog dan normalis saja, melainkan dapat dipahami semua orang sesuai pendekatan dan kesanggupannya. Oleh karena itu, agama hanya merupakan hidayah Allah dan merupakan suatu kewajiban manusia sebagai fitrah yang diberikan Allah.[2]

2. Pengertian Ilmu Sosial dan Humaniora

Menurut Taufik Abdullah, ilmu terbagi dalam dua kategori besar yaitu ilmu eksakta dan noneksakta. Khusus ilmu noneksakta dipilah menjadi dua, yakni ilmu humaniora dan  ilmu sosial. Ilmu yang berkaitan dengan filsafat, sastra, seni, dan bahasa dikategorikan dalam  ilmu humaniora, sedangkan di luar itu adalah ilmu sosial. Pendapat serupa disampaikan Helius Syamsudin, bahwa pengetahuan manusia (human knowledge) umumnya dapat diklasifikasikan atas tiga kelompok besar, yaitu ilmu-ilmu alamiah (natural sciences), ilmu-ilmu sosial (social sciences), dan ilmu-ilmu kemanusiaan (humanities). Ilmu alamiah mengkaji lingkungan hidup manusia, ilmu sosial mengkaji manusia dalam hubungannya dengan manusia-manusia lainnya, dan ilmu-ilmu kemanusiaan mengkaji manifestasi-manifestasi (eksistensi) kejiwaan manusia. Sebagaimana disinggung di atas, bahwa ilmu-ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari manusia dalam hubungannya dengan manusia-manusia lainnya. Definisi serupa disampaikan Taufik Abdullah (2006:31), ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Sedangkan Dadang Supardan (2008:34-35) menyampaikan ilmu sosial (social science) adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan aktivitas sosial dalam kehidupan bersama. Jadi yang dimaksud ilmu-ilmu sosial (social sciences) adalah  kelompok disiplin ilmu yang mempelajari aktivitas manusia dalam hubungannya dengan sesamanya.

Objek material dari studi ilmu-ilmu sosial adalah berupa tingkah laku dalam tindakan yang khas manusia, ia bersifat bebas dan tidak bersifat deterministik. Ia mengandung pilihan, tanggung jawab, makna, pernyataan privat dan internal, konvensi, motif dan sebagainya. Aktivitas manusia tersebut termasuk berpikir, bersikap, dan berperilaku dalam menjalin hubungan sosial di antara sesamanya dan bersifat kondisionalitas. Dengan kata lain objek tersebut sebagai gejala sosial. Gejala sosial memiliki karakteristik fisik namun diperlukan penjelasan yang lebih dalam untuk mampu menerangkan gejala tersebut, sebab tidak hanya mencakup fisik tetapi juga aspek sosiologis, psikologis, maupun kombinasi berbagai aspek.

B. Berbagai Pendekatan Ilmu Sosial dan Humaniora dalam Studi Islam

Islam memandang manusia sebagai ciptaan Tuhan yang memiliki kemampuan untuk mematuhi tata tertib kehidupan sebagai satu keseluruhan baik materiil maupun spiritual. Manusia tetap harus memenuhi kebutuhan baik itu yang bersifat ukhrowi yang berhubungan dengan Tuhan maupun duniawi yang memerlukan hubungan baik antara manusia. Ibadah seperti sholat, puasa dan haji ‘bisa dikatakan’ hanya sebatas membayar kewajiban kepada Tuhan (walaupun tak sedangkal itu), buah dari ibadah yang seharusnya bisa tampak dalam kehidupan beragama di kalangan masyarakat sering terjadi kesalahpahaman dalam menghayati simbol dari keagamaan. Akibatnya agama lebih dihayati sebagai pengalaman individu dan bukan sebagai keberkahan sosial secara umum. Atas dasar itulah berbagai pendekatan dalam memahami agama dapat dilakukan untuk mencapai nilai kebenaran dari paradigma sebuah agama agar kehadiran agama dapat dirasakan secara fungsional dan komprehensif.

1. Pendekatan Historis dalam Studi Islam

Historis adalah asal usul, silsilah, kisah, riwayat dan peristiwa.[3] Historis merupakan suatu bidang ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek dan latar belakang peristiwa tersebut. Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari sini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.[4] Pendekatan ini sangat penting dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dari situasi konkret dan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Sebagai contoh pendekatan ini adalah pada zaman Khulafa al-Rasyidun sebagai berikut:

a. Abu Bakr. Situasi yang membahayakan umat di Madinah setelah wafatnya Nabi Muhammad K. Dan munculnya Abu Bakr sebagai calon yang secara umum diterima. Terpilihnya Abu Bakr menunjukkan kesadaran politik yang baik dalam umat dan cepatnya pemilihan itu dirampungkan menunjukkan bukti tekad mereka untuk bersatu dan melanjutkan tugas Nabi.

b. Umar bin Khaththab. Tindakan pertama yang dilakukan beliau adalah mengubah kebijakan Abu Bakar terhadap para mantan pemberontak dalam peperangan Riddah.

Al-Qur’an sebagai sumber ajaran islam sendiri memiliki dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan. Dalam bagian pertama ini kita mengenal banyak sekali konsep, baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah, malaikat, akhirat, tentang ma’ruf, munkar dan sebagainya adalah konsep-konsep abstrak. Sementara itu juga ada konsep-konsep yang konkret dan dapat diamati seperti konsep tentang fuqoro’, dhuafa’, mustadl’afin, dzolimin, aghniya’, mu’minin dan lain sebagainya. Sedangkan pada bagian kedua yang berisi tentang peristiwa historis dan juga kiasan yang mengandung hikmah, alqur’an mengajak manusia untuk merenungkan hakikat dan makna kehidupan. Misalnya perumpamaan tentang rapuhnya sarang laba-laba, tentang luruhnya sehelai daun yang tak lepas dari pengamatan Tuhan atau tentang keganasan samudera yang menyebabkan orang-orang kafir berdoa.[5]

2. Pendekatan Sosiologis dalam Studi Islam

            Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial, proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial dan masalah-masalah sosial. Pentingnya sosiologi dalam memahami agama disebabkan karena banyak sekali ajaran yang berkaitan dengan masalah sosial. Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Islam Alternatif menunjukkan lima alasan pokok sebagai berikut:

a. Dalam al-Quran atau Sunnah memiliki proporsi paling banyak berkenaan dengan urusan muamalah.

b. Ditekankan bahwa masalah muamalah dalam agama islam, ditemukan berbarengan dengan waktunya ibadah, ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan tetapi tidak ditinggalkan. Hal tersebut boleh dilakukan bila urusan muamalahnya sangat penting dan mendesak.

c. Ibadah yang mengandung nilai kemasyarakatan diberikan pahala lebih besar daripada ibadah yang bersifat perseorangan.

d. Islam memiliki ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pelanggaran tertentu, maka tebusannya (kifaratnya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.

e. Dalam Islam terdapat ajaran bahwa pahala amal baik dalam bidang kemasyarakatan mengalahkan ibadah sunnah.[6]

3. Pendekatan Antropologis dalam Studi Islam

Antropologi adalah ilmu yang mengkaji manusia khususnya tentang asal-usul, aneka warna kulit, bentuk fisik, adat istiadat dan kepercayaan pada masa lampau. Menurut kamus, antropologi adalah ilmu pengetahuan tentang manusia mengenai asalnya, perkembangannya, jenis (bangsa) dan kebudayaannya. Antropologi dibagi menjadi dua, yaitu antropologi fisik dan antropologi budaya.[7]

Konsep “Khalifah fil Ardl” dalam Islam merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam dimana. Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah persoalan-persoalan agama. Penjelasan lain yang diungkapkan oleh Durkheim tentang fungsi agama sebagai penguat solidaritas sosial. Kemudian Sigmund Freud yang mengungkapkan posisi penting agama dalam penyeimbang gejala kejiwaan manusia. Hal tersebut mencerminkan betapa agama begitu penting bagi eksistensi manusia.[8]

Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Di Indonesia sendiri misalnya karya Clifford Geertz yang berjudul The Religion of Java yand ditulis pada tahun 1960-an menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi keagamaandi Indonesia khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan adanya trikotomi yaitu abangan, santri dan priyayi dalam masyarakat Jawa ternyata telah banyak mempengaruhi orang dalam menganalisis, baik tentang hubungan antara agama dan budaya atau hubungan antara agama dan politik. Geertz menyatakan bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian, sedangkan santri yang berbasis perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis dan kaum santri memilih partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan.

4. Pendekatan Filosofis dalam Studi Islam

Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philos dan sophos yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu dan hikmah. Selain itu filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.[9] Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah pendapat yang dikemukakan oleh Sidi Gazalba. Menurutnya filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.[10]

Pendekatan filosofis berupaya mencari jawaban atas hakikat segala sesuatu atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek formalnya. Sebagai contoh, kita jumpai berbagai merek pulpen dengan kualitas dan harga yang berlainan namun inti dari semua pulpen itu adalah sebagi alat tulis. Ketika disebutkan kata “alat tulis”, maka tercakuplah semua nama dan jenis pulpen.[11] Louis O. Kattsof mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan ialah merenung, tetapi merenung bukanlah melamun, juga bukan berpikir secara kebetulan yang bersifat untung-untungan, melainkan dilakukan secara mendalam, radikal, sistematik dan universal.[12] Mendalam artinya dilakukan sedemikian rupa hingga dicari sampai ke batas dimana akal tidak sanggup lagi. Radikal artinya sampai ke akar-akarnya hingga tidak ada lagi yang tersisa. Sistematik maksudnya adalah dilakukan secara teratur dengan menggunakan metode berpikir tertentu dan universal, maksudnya tidak dibatasi hanya pada suatu kepentingan kelompok tertentu atau apapun.

Berpikir secara filosofis selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Pendekatan filosofis yang demikian sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para ahli. Misalnya buku yang ditulis Muhammad al-Jurjawi yang berjudul Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu. Dalam buku tersebut al-Jurjawi berupaya mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik ajaran-ajaran Islam. Misalnya Islam mengajarkan untuk melaksanakn sholat secara berjamaah. Hikmahnya antara lain agar seseorang merasakan hikmah hidup berdampingan bersama orang lain. Atau misal Islam mengajarkan puasa agar seseorang dapat merasakan lapar yang selanjutnya menimbulkan rasa iba kepada sesamanya yang hidup serba kekurangan. Demikian pula ibadah haji yang dilaksanakan di kota makkah, dalam waktu bersamaan, dengan bentuk dan gerak ibadah manasik yang sama dengan yang dikerjakan oleh lainnya dimaksudkan agar orang yang mengerjakan berpandangan luas, merasa bersaudara dengan sesama muslim dari seluruh dunia. Thowaf, Sa’i dan ibadah lainnya yang banyak mengandung hikmah dan filosofi mendalam.

Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengalaman agama yang bersifat formalistik, yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Dengan demikian pula ketika seseorang mengerjakan suatu ibadah disertai pendekatan filosofis tidak akan merasa kekeringan spiritual yang dapat menimbulkan kebosanan. Semakin mampu menggali makna filosofis dari suatu ajaran agama, maka semakin meningkat pula sikap, penghayatan dan daya spiritualitas yang dimiliki seseorang.[13]

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Untuk memahami hakikat manusia yang beragama, diperlukan pendekatan manusia itu sendiri dalam memahami agama. Pendekatan-pendekatan tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan historis, pendekatan sosiologis, pendekatan antropologis dan pendekatan filosofis.

            Pendekatan manusia dalam memahami agama yang dimaksud adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan untuk memahami agama Islam. Dalam hubungan ini sebagaimana yang telah diuraikan bahwa kebutuhan agama dapat digunakan melalalui pendekatan berbagai paradigma realitas agama yang mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Oleh karena itu, berbagai pendekatan dengan bidang-bidang ilmu sangatlah penting dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Yatimin, Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: Amzah, 2006). cet. I

Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, Jilid I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), cet. II

Ghazali, Dede Ahmad. Gunawan, Heri. Studi Islam Suatu Pengantar dengan Pendekatan Interdisipliner, (Bandung: Rosda, 2015). cet. I

Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Kartika Surabaya, 1989)

Kattsof, Louis O, Pengantar Filsafat, (terj.) Soejono Soemargono, dari judul asli Elements of Philosophy, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), cet. IV.

Nata Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2009). cet. XIII.

Syaibani, Al, Mohammad al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, (terj.) Hasan Langgulung dari judul asli Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), cet. I


[1] Dede Ahmad Ghazali dan Heri Gunawan, Studi Islam Suatu Pengantar Dengan Pendekatan Interdisipliner (Bandung: Rosda, 2015) hlm. 64

[2]  M. Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer (Jakarta: AMZAH, 2006) hlm. 58-59

[3]   Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Kartika Surabaya, 1989), hlm. 481.

[4]   Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 46-47.

[5]   Ibid. hlm. 48

[6]   Dede Ahmad Ghazali dan Heri Gunawan,  op. cit. hlm. 70-71.

[7]   M. Yatimin Abdullah, op. cit. hlm. 67.

[8]   Dede Ahmad Ghazali dan Heri Gunawan,  op. cit. hlm. 67-68.

[9]  Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam (terj.) Hasan Langgulung dari judul asli Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), cet. I, hlm. 25.

[10]   Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat,  jilid I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), cet II, hlm. 15.

[11]   Abuddin Nata, op. cit. hlm. 42-43.

[12] Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat, (terj.) Soejono Soemargo, dari judul asli Elements of Philoshopy, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1989) hlm. 6.

[13] Abuddin Nata, op. cit. hlm. 45.

Tinggalkan Komentar