Uns, Yaqin, Ittihad, Hulul dan Wahdatul Wujud

MAKALAH

UNS, YAQIN, ITTIHAD, HULUL DAN WAHDATUL WUJUD

Diajukan untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah: Ilmu Tasawuf

Dosen Pengampu:

Drs. H. Ismail, M. Ag

Oleh:

Riska Fauziyah                                                (2021215516)

Mudhofar                                                        (2021215517)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN

2016

BAB I

PENDAHULUAN

ِِA. Latar Belakang Masalah

Ahwal adalah bentuk jamak dari kata “hal”. Seperti halnya maqam, hal (state) digunakan kaum sufi untuk menunjukkan kondisi spiritual. Kata hal dalam perspektif tasawwuf sering diartikan dengan “keadaan”, maksudnya adalah keadaan atau kondisi spiritual. Hal sebagai suatu kondisi yang singgah dalam kolbu merupakn efek dari peningkatan maqamat seseorang. Secara teoritis, memang bisa dipahami bahwa seorang hamba kapanpun ia mendekat pada Allah dengan cara berbuat kebajikan, ibadah, riyadhah, dan mujahadah, maka Allah akan memanifestasikan diri-NYA dalam kalbu hamba tersebut.

Kebanyakan kaum sufi sepakat bahwa hal merupakan karunia (mawahib), dan setiap maqam adalah upaya (makasib). Hal datang dari wujud itu sendiri, sedang maqam diperoleh melalui upaya perjuangan sungguh-sungguh. Dengan kata lain, maqam berarti menunjuk kepada sebuah kerja aktif sedang seseorang yang menerima hal adalah pasif dalam keadaannya. Namun ada yang mengatakan, perbedaan ini hanya pada tatanan teoritis belaka dan tidak mempengaruhi pada aspek praktiknya.

B. Rumusan Masalah

  1. Apa pengertian alUns dan gambarannya?
  2. Apa pengertian alYaqin dan gambarannya?
  3. Apa pengertian alIttihad dan gambarannya?
  4. Apa pengertian alHulul dan gambarannya?
  5. Apa pengertian Wahdatul Wujud dan gambarannya?

C. Tujuan Penulisan

  1. Mengetahui pengertian alUns dan gambarannya.
  2. Mengetahui pengertian alYaqin dan gambarannya.
  3. Mengetahui pengertian alIttihad dan gambarannya.
  4. Mengetahui pengertian alHulul dan gambarannya.
  5. Mengetahui pengertian Wahdatul Wujud dan gambarannya.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Uns (الأنس)

Uns secara bahasa berarti jinak, senang. Sedangkan di dalam kitab at-Ta’arruf li madzhabi ahli at-Tashawwuf terdapat beberapa pendapat para sufi berkenaan dengan uns. Diantaranya adalah:

  • Imam al-Junaid : Uns adalah hilangnya rasa malu namun beserta masih adanya rasa takut. Maksud dari “hilangnya rasa malu” yaitu sekiranya rasa berharap (roja’) itu lebih unggul daripada rasa takut.
  • Dzun Nun al-Mishri : Uns adalah kegembiraan pecinta (muhibb) pada yang dicinta (mahbub).
  • Ibrohim al-Marostani: Uns adalah riangnya hati yang tertuju pada yang dicintai.
  • Imam asy-Syubliy : Uns adalah kemurungan/rasa kesepian (saat jauh) dariNya.[1]

Dari keterangan yang berbeda-beda dari para sufi diatas nampaknya terdapat titik temu yang menunjukkan bahwa uns adalah suatu keadaan yang sangat dekat (intimmate) dari seorang sufi kepada yang Tuhannya. Sebuah kondisi yang abstrak akan diinterpretasikan berbeda oleh personal yang berbeda maqom, pemikiran dan pembawaannya pula. Mungkin hal itulah yang membuat deskripsi dari uns tersebut menjadi berbeda di hadapan para sufi, namun walaupun berbeda tetaplah kondisi-kondisi tersebut dinamakan sebagai uns. Gambaran dari uns ini kurang lebihnya ialah sebagai sifat merasa selalu berteman dan tak pernah merasa sepi. Orang yang memilki uns akan selalu memikirkan kekasihnya. Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi rohani terpusat penuh pada satu titik sentrum, yaitu Allah. Tidak ada yang dirasa, diingat dan diharap kecuali Allah.[2]

Salah satu contoh kondisi uns yakni riwayat yang menceritakan bahwa Rabi’ah al-Adawiyah selalu menolak lamaran-lamaran pria shalih dengan mengatakan, ”Akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan luar biasa. Sedangkan pada diriku hal itu tidak ada, karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas dari diri. Aku maujud dalam tuhan dan diriku sepenuhnya milikNya. Aku hidup dalam naungan firman-Nya. Akad nikah mesti diminta darinya, bukan dariku”. Rabi’ah tenggelam dalam kesadaran akan  kedekatan dengan tuhan. Ketika sakit ia berkata dengan tamu yang menanyakan sakitnya, ”Demi Allah aku tak merasa sakit, lantaran surga telah ditampakkan bagiku sedangkan aku merindukanya dalam hati, dan aku merasa bahwa tuhanku cemburu kepadaku, lantas mencelaku. Dialah yang membuatku bahagia.”

B. Yaqin (اليقين)

Beberapa kutipan pendapat mengenai “yaqin” yang terdapat pada kitab at-Ta’arruf li madzhabi ahli at-Tashawwuf antara lain:

  • Imam al-Junaid : Yaqin adalah hilangnya keraguan.
  • Imam an-Nuri : Yaqin adalah musyahadah (menyaksikan langsung).
  • Imam Dzun Nun al-Mishri : segala sesuatu yang dilihat oleh mata (indera) maka dinisbatkan kepada ilmu, sedangkan segala sesuatu yang dilihat/diketahui oleh hati maka dinisbatkan kepada yaqin.
  • Imam Abdullah : Yaqin adalah menjadi sambungnya al-Bain (antara 2 hal) dan hilangnya “maa baina al-bain” (sesuatu yang ada diantara 2 hal tersebut). Yang dimaksud dalam pendapat ini adalah sama dengan ucapan Haritsah, “Seakan-akan aku melihat kepada Arsy (dan ku melihat) Tuhanku muncul, melihat-Nya menjadi nyata dengan secara ghoib dan hilanglah “tabir” antara Dia dan keghaiban”.[3]

C. Ittihad (الإتحاد)

Ittihad dalam bahasa arab berarti menjadi satu. Disaat kita membahas Ittihad maka erat kaitannya dengan Fana’ dan Baqo’. Arti fana’ menurut kalangan kaum sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain, fana’ berarti hilangya sifat-sifat kemanusiaan (dapat pula diartikan tercela) digantikan dengan sifat-sifat ketuhanan. Sebagai akibat fana’ adalah baqo’. Baqo’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana’-nya) sifat-sifat basyariyah (akhlak tercela, kebodohan, maksiyat), maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiyah (akhlak terpuji, ilmu pengetahuan, kebersihan diri).

Berbicara fana’ dan baqo’ ini erat kaitannya dengan ittihad, yakni penyatuan batin atau ruhaniyah dengan Tuhan. Tujuan dari fana’ dan baqo’ adalah ittihad. Dalam situasi Ittihad, seorang sufi telah merasakan dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana yang dicintai telah menjadi satu dengan yang dicintai, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang lain dengan “Hai, Aku”. Dengan demikian jika seorang sufi mengatakan misalnya “Mahasuci Aku”, maka yang dimaksud adalah bukan diri sufi itu sendiri, tetapi sufi yang telah bersatu bathin dan rohaninya dengan Tuhan, melalui fana’ dan baqo’.[4]

Bagi orang yang bersikap toleran, ittihad dipandang sebagai penyelewengan (inhiraf), tetapi bagi orang yang keras berpegang pada agama, itu dipandang sebagai kekufuran. Paham ittihad ini selanjutnya dapat mengambil bentuk hulul dan wahdatul wujud. Dengan demikian, untuk mencapai hulul dan wahdatul wujud pun sama dengan al-ittihad, yaitu melalui fana’ dan baqo’.

D. Hulul (الحلول)

Secara bahasa Hulul artinya menempati. Sedangkan secara istilah tasawwufnya ialah berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana’. Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Teori al-Hallaj sebagai berikut:

“Sebelum Tuhan menciptakan makhluk, Ia hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam kesendirian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, yaitu dialog yang didalamnya tidak terdapat kata ataupun huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian Dzat-Nya. Allah melihat pada Dzatnya dan Ia pun cinta pada Dzat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Dari yang tiada Ia pun mengeluarkan bentuk copy dari dirinya yang mempunyai sifat dan nama-Nya. Bentuk copy ini adalah Adam. Setelah menjadikan Adam dengan cara itu, Ia memuliakan dan mengagungkan Adam. Ia cinta pada Adam, dan pada diri Adam Allah muncul dalam bentuknya. Dengan demikian, pada diri Adam terdapat sifat-sifat yang dipancarkan Tuhan yang berasal dari Tuhan sendiri.”

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: “Sujudlah kalian kepada Adam”, Maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia enggan dan takabur dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (al-Baqoroh:34)

Menurut al-Hallaj, Allah memberi perintah kepada malaikat untuk bersujud kepada Nabi Adam karena pada diri Adam Allah menjelma.[5] Dalam hal ini hulul adalah kata/istilah lain dari ittihad. Namun ada perbedaan antar hulul dan ittihad, bahwa dalam ittihad yang terlihat satu wujud sedangkan dalam hulul yang terlihat dua wujud tetapi bersatu dalam satu wujud.

E. Wahdatul Wujud (وحدة الوجود)

Wahdatul wujud terdiri dari dua kata , wahdah yang artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan alwujud artinya ada. Dengan demikian maka wahdatul wujud berarti kesatuan wujud. Selain itu kata wahdah digunakan oleh  para ahli filsafat dan sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang tampak (dhahir) dan yang bathin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan.

Pengertian yang terakhir itulah yang selanjutnya digunakan oleh para ahli sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Harun Nasution secara lebih lanjut menjelaskan lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan) pada pembahasan hulul diganti dengan haqq (tuhan) dan khalq (makhluk). Aspek sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut haqq. Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek, aspek luar berupa alkhalq (makhluk), al-aradh (accident-kenyataan luar), dhahir (luar-tampak) dan aspek dalam yang disebut alhaqq (Tuhan), aljauhar (substance-hakikat), dan albathin (dalam).

Paham ini selanjutnya membawa kepada timbulnya paham bahwa antara makhluk dan Tuhan sebenarnya satu kesatuan dari wujud Tuhan, dan yang sebenarnya wujud adalah Tuhan. Sedangkan wujud makhluk hanyalah bayang dari wujud Tuhan. Wujud makhluk bergantung pada wujud Tuhan yang hakiki atau wajibul wujud. Dengan demikian, yang sebenarnya wujud hanya satu yaitu wujud Tuhan. Manusia/makhluk memiliki unsur lahir dan batin begitu juga Tuhan juga mempunyai unsur lahir dan batin. Unsur lahir pada Tuhan adalah sifat-sifatNya yang tampak di alam ini. Dan unsur batinNya adalah dzat Tuhan. Dalam wahdatul wujud ini, yang terjadi adalah bersatunya wujud batin (lahut) manusia dengan wujud lahir (nasut) Tuhan. Dengan cara demikian maka paham wahdatul wujud ini tidak mengganggu dzat Tuhan dan tidak keluar dari Islam.[6]

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Al-Uns, al-Yaqin, al-Ittihad, al-Hulul, dan Wahdatul wujud merupakan beberapa ahwal dari tasawwuf. Masih banyak lagi ahwal yang belum disebutkan dalam makalah ini. Namun dapat kita simpulkan bahwa ahwal ada yang bersifat kondisi yang abstrak seperti al-Uns dan al-Yaqin, dan adapula yang bersifat kondisi terkonsep seperti al-Ittihad, al-Hulul, dan Wadatul Wujud yang erat kaitannya fana’ dan baqo’. Konsep ini syarat dengan kefilsafatan dimana di dalamnya dicari hakikat atau substansi dari hubungan makhluk dan Tuhan.

B. SARAN

Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari akan kekurangan pembahasan yang atas kurang lengkapnya referensi dan kurang komprehensifnya pembahasan terlebih minimnya pengetahuan penulis. Maka dari itu untuk selanjutnya kami secara terbuka menerima saran maupun kritik untuk perbaikan dalam makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

HS, Nasrul. Akhlak Tasawuf. (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015)

Muhammad, Abu bakr bin Ishaq al-Kalabadzi. At-Taaruf li madzhabi ahli at-tashowwuf. (Bur Said :Maktabah ats-Tsaqofah ad-Diniyah, tt)

Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. (Jakarta: RajaWali Press, 2013)


[1] Abu Bakr Muhammad ibn Ishaq al-Kalabadzi, at-Ta’arruf li madzhabi ahli at-Tashawwuf  (Bur Said:Maktabah ats-Tsaqofah ad-Diniyah, tt) hlm. 106.

[2] Nasrul HS, Akhlak Tasawuf (Yogyakarta:Aswaja Pressindo, 2015) hlm. 199

[3] Abu Bakr Muhammad ibn Ishaq al-Kalabadzi, op. cit. hlm. 103

[4] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013) hlm. 202

[5] Abuddin Nata, op. cit. hlm. 207-208

[6] Abuddin Nata, op . cit. hlm. 215-218

Tinggalkan Komentar