Kisah Ummu Salma Wanita yang Memuliakan Bulan Rajab

Kisah Ummu Salma Wanita yang Memuliakan Bulan Rajab

Karena Bulan Rajab adalah Bulan Allah yang mulia dan penuh keutamaan, maka siapa saja yang memuliakan bulan Rajab akan mendapatkan kemuliaan tersendiri di sisi Allah. Tidak terkecuali seorang wanita dari Yerusalem satu ini yang bernama Ummu Salma.

Ummu Salma hidup pada zaman Khilafah Abbasiyah. Ia wanita yang berkecukupan secara ekonomi. Anak-anaknya menjadi orang terhormat karena memegang jabatan di kantor gubernur Khilafah Abbasiyah di Palestina. Ummu Salma sangat bersyukur dengan semua anugerah yang Allah berikan padanya.

Ummu Salma menghabiskan hari-harinya di ladang Zaitun yang buah dan minyaknya ia jual. Namun ia adalah wanita yang pandai bersyukur, di malam hari ia pergunakan untuk beribadah kepada Allah.

Dan ibadahnya akan meningkat manakala bulan Rajab tiba. Ummu Salma serta merta meninggalkan semua pekerjaannya itu dan menyerahkannya kepada pembantunya. Ummu Salma tak ingin terganggu dengan aktivitas pekerjaan dan persoalan duniawi.

Beribadah di Masjidil Aqsha

Selama sebulan penuh itu, ia tinggal di Masjid al-Aqsha. Kadang kala ia puasa, kadang kala tidak. Namun dalam sebulan itu ia mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbanyak istighfar, membaca shalawat, membaca al-Quran terutama surat al-Ikhlash, dan memperbanyak shalat sunnah.

Masjidil Aqsha DomeRock

Ia pun mengganti bajunya yang indah dengan baju yang compang-camping. Ia hanya membawa makanan ala kadarnya, makanannya berupa beberapa butir kurma dan air putih yang dicampur sisa Zamzam yang dibawanya dari Makkah saat umrah dua bulan sebelumnya.

Pada bulan Rajab, suasana Masjidil Aqsha memang berbeda. Rakyat Yerusalem atau al-Quds benar-benar memuliakan bulan ini sebagai bulan Allah. Menurut Ummu Salma, bulan ini harus dibedakan dengan bulan yang lain karena bulan ini milik Allah di mana Allah berjanji akan mengampuni siapa pun yang memuliakan bulan ini.

Ajaibnya, makanan itu tak pernah habis. Sebab, setiap orang saling membagikan makanannya. Bahkan sebenarnya kurma Ummu Salma telah habis dibagikan, namun kemudian datang lagi orang yang membagikan kormanya dengan jenis yang sama. Begitu pula dengan minuman karena orang-orang yang telah berkunjung ke Mekkah membawa air Zamzam menggunakan kendaraan ontanya.

Namun, dikarenakan Ummu Salma telah uzur usianya, ia tak bisa beribadah sebulan penuh di Masjidil Aqsha. Ia sakit dan terpaksa digotong pulang oleh anak-anaknya. Anak-anak dan sanak keluarganya mengelilinginya. Mereka siap melayani dan merawat ibundanya tersebut. Hingga Ummu Salma berpesan.

“Aku hanya meminta satu hal pada kalian,” kata Ummu Salma tiba-tiba. “Apakah kalian akan mengabulkan permintaanku?”

“Tentu, Ibunda.” Kata mereka serentak. “Apakah pesan Ibu?”

“Pesan Ibu jika kelak ibu mati, syukur jika masih di bulan Rajab yang mulia ini, maka kuburkan ibu dengan baju campingku. Jangan ganti dengan kain lainnya.”

“Akan kami laksanakan, Ibunda. Tapi, kami tidak mengharapkan Ibunda meninggalkan kami begitu cepat.” Kata anak sulungnya.

“Kalian menginginkan, tapi Allah yang berkehendak,” kata Ummu Salma sambil menghela napas panjang. “Berdoalah terus untuk ibu kalian.”

“Baik, Bu.”

“Aku melihat kematian itu begitu indah. Dengan mati orang bisa menyusul dan berjumpa dengan Rasulullah dan para sahabatnya yang mulia. Pula, setiap orang akan mati, kenapa harus dikhawatirkan?”

“Cucu-cucu Ibunda masih suka melihat Ibunda,” kata anaknya yang perempuan.

“Kalian jangan terjebak dengan pengertian kematian berdasarkan otak kalian. Taapi, renungkan berdasarkan agama. Apakah dalam agama seorang yang meninggal akan habis seperti debu? Tidak kan? Manusia yang meninggal hanya berpindah tempat. Jika aku mati, maka kalian cepat atau lambat juga akan menyusulku.”

Anak-anak Ummu Salma menangis mendengar kata-kata dan wasiat Ibundanya. “Segeralah pula kubur aku. Jangan menunggu siang berganti malam dan malam berganti siang.”

“Baik, Ibunda kami.”

Benar, persis tanggal 29 Rajab, wanita yang telah puluhan tahun selalu istiqamah memuliakan bulan Rajab itu wafat. Yerussalem berduka dengan tangisan karena kehilangan manusia terbaik di zamannya. Gubernur Abbasiyah yang ditugaskan di Yerussalem ikut datang melayat ke rumah duka.

Ummu Salma berpulang ke rahmatullah

Banyak manusia berdatangan untuk melayat, di antara mereka pula terdapat banyak orang-orang penting. Melihat hal itu, anak-anak Ummu Salma mengabaikan wasiat Ibundanya untuk mengkafaninya dengan baju compang-camping karena malu pada para tamu pelayat.

“Apa kata orang jika kita kenakan baju compang-camping sebagai kain kafan Ibunda kami. Padahal kita sangat mampu membelinya,” kata Si Sulung kepada adik-adiknya.

Pemakaman berlangsung khidmat. Doa-doa dipanjatkan oleh para ulama. Semua orang memuji Ummu Salma sebagai wanita yang salehah dan penuh keteladanan.

Mimpi Anak Sulung

Pada malam hari setelah penguburan itu, anak sulung Ummu Salma bermimpi. Ia melihat dalam tidurnya sang ibu begitu kegerahan dengan pakaian yang dikenakan. “Oh, Anakku. Engkau telah mengkhianati ibumu, anakku. Bukankah engkau telah berjanji untuk mengenakan baju compang-campingku sebagai penutup tubuhku. Namun kenapa kau ubah dengan kain megah hanya karena malu pada orang-orang yang melayatku. Segeralah ganti baju ibumu dengan baju yang ibu inginkan! Ibu malu menghadap Allah dengan kemewahan.”

Anak sulung itu terbangun dan menangis. Lalu ia membangunkan saudara-saudaranya. Pagi itu juga ia mengajak saudara-saudaranya untuk menggali  kubur ibundanya dan mengganti kain kafan dengan baju ibunya yang compang-camping yang nyaris mereka buang ke tempat sampah.

Sebelumnya mereka meminta izin kepada imam Masjidil Aqsha serta gubernur Dinasti Abbasiyah di wilayah itu agar tak menjadi masalah. Sebab, belum pernah terjadi kuburan digali lagi karena ada masalah.

Begitu mudah penggalian itu mengingat keadaan tanahnya yang masih lunak. Ketika kayu penutup jenazah dibuka, mereka kaget karena ternyata jenazah ibundanya telah tiada. “Ke mana jenazah ibuku?” seru anak sulung sambil menangis meratapi kecerobohan dan kesalahannya.

Seluruh penjuru kuburan yang sempit itu dicarinya dengan mengais-ngais tanah yang ada, namun tidak ditemukan juga jenazah ibundanya, “Ya Allah apa salah kami Ya Allah? Namun jangan timpakan kesalahan kami sehingga menjadi beban dosa bagi ibunda tercinta kami, Ya Allah.” Seru sang Anak.

Tiba-tiba muncul suara yang tidak diketahui dari mana asalnya. “Ketahuilah wahai kalian semua, bahwa seseorang yang memuliakan bulan Rajab maka ia tak akan ku biarkan sendiri di alam kuburnya.”

Mereka yang awalnya gelisah kemudian tenang. Lalu mereka menutup kembali kubur itu. Mereka bahagia dengan kepergian ibundanya menjadi wanita mulia di sisi Allah berkat memuliakan Bulan Rajab.


Cerita disadur dari Kitab ‘Durrat an-Nashihin fi al-Wa’di wa al-Irsyad’.

Tinggalkan Komentar