MAKALAH
KALIMAT TAUHID
Diajukan untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Ilmu Tauhid
Dosen Pengampu:
Miftahul Huda, M. Ag
Oleh:
Riska Fauziyah (2021215516)
Mudhofar (2021215517)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
2015
Kata Pengantar
Permasalahan dalam Tauhid adalah permasalahan vital yang ada dalam ajaran Islam, karena mengandung begitu penting maknanya. Tauhid menjadi hal paling prinsip dalam Islam yang memiliki kedudukan teratas dalam keimanan seseorang kepada Allah SWT. Hal ini dikarenakan syarat segala amalan setiap insan kepada Allah SWT adalah dengan sempurnanya tauhid.
Persoalan tauhid telah dibawa dari masa Nabi ke Nabi selanjutnya, karena tujuan dari adanya ajaran ini agar manusia menyembah hanya kepada Allah SWT. Sehingga, tidak membuka celah sedikitpun bagi orang-orang yang hendak melakukan tipu daya. Karena dengan tauhid yang mantap, dengan keimanan yang sempurna segala ranjau yang telah dipersiapkan setan tidak akan mampu menjerat manusia taat ini.
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Kalimatut tauhid adalah Laa ilaha illa Allah. Kalimat ini adalah landasan iman, kunci ketauhidan dan syarat utama memasuki pintu islam. Kalimat ini adalah keimanan yang bersemayam dalam kalbu dan disertai dengan pelaksanaannya oleh anggota badan.
B. Rumusan Masalah
- Apa makna Kalimat Tauhid secara bahasa dan istilah?
- Apa arti Kalimat Tauhid dalam Al-Qur’an?
- Apa makna sebutan “Allah”?
- Apa makna La ilaha illa Allah dalam konteks ilmu tauhid?
C. Tujuan Penulisan
- Mengetahui makna Kalimat Tauhid secara bahasa dan istilah.
- Mengetahui arti Kalimat Tauhid dalam Al-Qur’an.
- Mengetahui makna sebutan “Allah”.
- Mengetahui makna La ilaha illa Allah dalam konteks ilmu tauhid.
BAB II Pembahasan
A. Makna Kalimat Tauhid
1. Pengertian
Secara bahasa Kalimatut Tauhid terdiri dari dua kata, yaitu “Kalimah” dan “At-Tauhid”. Kata “Kalimah” dalam bahasa Arab berarti kata dalam bahasa Indonesia. Sedangkan “Kalimat” dalam bahasa indonesia bahasa Arabnya adalah “Kalam/Jumlah”. Sedangkan kata At-Tauhid adalah bentuk mashdar dari fiil madli wahhada, wahhada yuwahhidu tauhidan. Arti Tauhid yaitu mengesakan atau menunggalkan[1]. Penggunaan kata “Kalimah” untuk menunjukkan arti kalam atau kalimat (dalam bahasa Indonesia) tergolong jarang, namun ini digunakan dalam Kalimatut Tauhid ini dimana kita tahu isi dari Kalimatut Tauhid bukanlah kata melainkan kalimat, karena kalimah terkadang digunakan untuk menunjukkan arti kalam[2]. Jadi istilah Kalimatut Tauhid itu sama artinya dengan Kalamut Tauhid, Kalimat (yang menunjukkan untuk) mengesakan.
Sedangkan menurut istilah Kalimatut Tauhid adalah istilah yang merujuk pada kata La ilaha illa Allah Muhammadun Rosulullah atau dengan bentuk kalimat lain yang intinya mengesakan Allah dan meniadakan tuhan selain Allah.
2. Kalimat Tauhid dalam Al-Qur’an
Kalimat Tauhid telah dikemukakan dalam Al-Qur`an lebih dari 30 kali sebagaimana dapat disimak dalam surat Al-Baqarah, Al-Imran, An-Nisa, Al-An`am, At-Taubah, Yunus, Hud, Ar-Ra`du, Ibrahim, An-Nahl, Taa-haa, Al-Anbiya, Al-Mu`minun, An-Naml dan yang lainnya. Hal itu memberikan keyakinan dan bukti nyata bahwa masalah Tauhid dalam ajaran samawi (Islam) adalah ajaran inti dari ajaran Allah SWT. Salah satu contoh ayat yang berisi kalimatut Tauhid adalah:
الله لا إله إلّا هو الحيّ القيّوم
Artinya: “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya)”
B. Makna Sebutan Allah
Allah adalah nama tuhan yang paling populer. Ulama berbeda pendapat tentang lafadl mulia ini apakah ia termasuk Asmaul Husna atau tidak. Yang tidak memasukkannya beralasan bahwa Asmaul Husna adalah nama/sifat Allah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-A’rof ayat 180:
وَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا۟ ٱلَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِىٓ أَسْمَٰٓئِهِۦ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
Artinya: “Hanya milik Allah asmaa-ul husna (nama-nama yang terindah), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”.
Karena Asmaul Husna adalah milik Allah maka tentu saja kata “Allah” tidak termasuk di dalamnya. Tetapi ulama lain berpendapat bahwa kata tersebut sedemikian agung, bahkan yang teragung, sehingga tidaklah wajar jika ia tidak termasuk Asmaul Husna. Bagi mereka kata Allah juga kata yang indah, bahkan bila kata Allah diucapkan maka sudah mencakup semua nama-Nya yang lain, berbeda dengan Ar-Rohman yang hanya menunjukkan sifat kemurahan-Nya saja[3].
Kata Allah sendiri disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 2698 kali. Dan secara tegas Allah menamai dirinya sendiri Allah dalam Surat Thaha ayat 14:
إِنَّنِىٓ أَنَا ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعْبُدْنِى وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِذِكْرِىٓ
Artinya: “Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku”
Sekian banyak ulama bependapat bahwa kata Allah tidak terambil dari satu akar kata tertentu, tetapi ia adalah nama yang menunjuk kepada Dzat yang wajib wujudNya, yang menguasai seluruh hidup dan kehidupan dan yang kepadaNya seharusnya seluruh makhluk mengabdi dan bermohon. Tetapi banyak ulama berpendapat bahwa kata Allah asalnya adalah “ilah” (إله), yang dibubuhi huruf alif dan lam dan dengan demikian Allah merupakan nama khusus yang tidak dikenal bentuk jamaknya. Sedangkan “ilah” (إله) adalah nama yang bersifat umum dan yang dapat berbentuk jama’ (plural) “aalihah” (آلهة). Dalam bahasa Indonesia keduanya dapat diterjemahkan dengan tuhan, tetapi cara penulisannya dibedakan. Yang bersifat umum ditulis dengan huruf kecil, tuhan. Dan yang bermakna khusus ditulis dengan huruf besar, Tuhan[4].
Alif dan lam yang dibubuhkan pada kata Ilah berfungsi menunjukkan bahwa kata yang dibubuhi itu (dalam hal ini kata ilah) merupakan sesuatu yang telah dikenal dalam benak. Fungsinya sama halnya dengan The dalam bahasa Inggris. Alif lam tambahan itu menjadikan kata yang dibubuhi menjadi ma’rifat atau definite (diketahui/dikenal). Pengguna bahasa Arab mengakui bahwa Tuhan yang dikenal oleh benak mereka adalah Tuhan Pencipta, berbeda dengan tuhan-tuhan/aalihah (آلهة) yang lain. Selanjutnya dalam perkembangan lebih jauh dan dengan alasan mempermudah, hamzah yang berada diantara dua laam yang dibaca kasroh pada kata Al-Ilah tidak dibaca lagi sehingga berbunyi Allah dan sejak itulah kata ini seakan-akan telah menjadi kata baru yang tidak memiliki akar kata sekaligus sejak itu pula kata Allah menjadi nama khusus bagi Pencipta dan Pengatur alam raya yang wajib wujudnya[5].
Sementara ulama lain berpendapat bahwa kata “ilah” yang darinya terbentuk kata Allah, berakar dari kata Al-Ilaahah (الإلاهة), Al-Uluhah (الألوهة) dan Al-Uluhiyah (الألوهية) yang kesemuanya menurut mereka bermakna ibadah/penyembahan, sehingga “Allah” secara harfiah bermakna Yang disembah. Ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut berakar dari alaha dalam arti mengherankan atau menakjubkan karena segala perbuatan/ciptaanNya menakjubkan atau karena bila dibahasa hakekatNya akan mengherankan akibat ketidaktahuan makhluk tentang hakekat Dzat Yang Maha Agung itu. Apapun yang terlintas di dalam benak menyangkut hakekat zat Allah, maka Allah tidak demikian. Itu sebabnya ditemukan riwayat yang menyatakan, “Berfikirlah tentang makhluk-makhluk Allah dan jangan berfikir tentang ZatNya. Ada juga yang berpendapat bahwa kata “Allah” berasal dari kata “Aliha ya’lahu” yang berarti “tenang”, karena hati menjadi tenang bersamaNya, atau dalam arti ”menuju” dan “bermohon”, karena harapan seluruh makhluk tertuju kepadaNya dan kepadaNya jua makhluk bermohon[6].
C. Makna La ilaha illa Allah dalam Konteks Ilmu Tauhid
Kalimat Tauhid yang agung لااله الاالله yang makna globalnya ‘Tiada Tuhan Selain Allah’ memiliki arti yang sangat dalam dan luas. Seorang hamba tidak mungkin akan dapat beramal sesuai yang dikehendaki olehnya, kecuali setelah ia benar-benar memahami makna yang terkandung didalamnya sehingga ia beramal atas dasar kalimat Tauhid ini dengan sadar.
Laa Ilaaha Illallah adalah kalimat yang terdiri dari 4 kata, yaitu: kata (laa), kata (Ilaha), kata (illa) dan kata (Allah). Adapun secara bahasa bisa kita uraikan secara ringkas sebagai berikut:
- Laa adalah nafiyah lil jins (Meniadakan keberadaan semua jenis kata benda yang datang setelahnya). Misalnya perkataan orang Arab “Laa rojula fid dari” (Tidak ada laki-laki dalam rumah) yaitu menafikan (meniadakan) semua jenis laki-laki di dalam rumah. Sehingga laa dalam kalimat tauhid ini bermakna penafian semua jenis penyembahan dan peribadahan yang haq dari siapapun juga kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
- Ilah adalah mashdar (kata dasar) yang bermakna maf’ul (obyek) sehingga bermakna ma`l uh yang artinya adalah ma’bud (yang diibadahi). Karena aliha maknanya adalah ‘abada sehingga makna ma’luh adalah ma’bud. Hal ini sebagaimana dalam bacaan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma terhadap ayat 127 pada surah Al-A’raf[7]:
وَقَالَ الْمَلأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ أَتَذَرُ مُوْسَى وَقَوْمَهُ لِيُفْسِدُوْا فِيْ الْأَرْضِ وَيَذَرَكَ وَإِلَهَتَكَ
“Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir’aun (kepada Fir’aun): “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta ilahatahmu (peribadatan kepadamu)?”.
Ilaahataka yaitu peribadatan kepadamu, karena Fir’aun itu disembah dan tidak menyembah. Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu ‘Abbas memahami bahwa kata Ilahah artinya adalah Ibadah
- Illa (kecuali). Pengecualian di sini adalah mengeluarkan kata yang terletak setelah illa dari hukum kata yang telah dinafikan oleh laa. Misalnya dalam contoh di atas laa rajula fid dari illa Muhammad, yaitu Muhammad (sebagai kata setelah illa) dikeluarkan (dikecualikan) dari hukum sebelum illa yaitu peniadaan semua jenis laki-laki di dalam rumah, sehingga maknanya adalah tidak ada satupun jenis laki-laki di dalam rumah kecuali Muhammad. Jika diterapkan dalam kalimat tauhid ini makna maknanya adalah bahwa hanya Allah yang diperkecualikan dari seluruh jenis ilah yang telah dinafikan oleh kata laa sebelumnya.
- Lafadz “Allah” asal katanya adalah Al-Ilah dibuang hamzahnya untuk mempermudah membacanya, lalu lam yang pertama diidhgamkan (digabungkan) pada lam yang kedua maka menjadilah satu lam yang ditasydid dan lam yang kedua diucapkan tebal sebagaimana pendapat Imam Al-Kisa`i dan Imam Al-Farra` dan juga pendapat Imam As-Sibawaih.
Dalam Ilmu Nahwu diterangkan bahwa dalam kasus susunan kata yang berbentuk seperti ini (laa linafyil jinsi) akan membutuhkan isim dan khobar. Isimnya adalah kalimah yang jatuh setelah laa linafyil jinsi dan khobarnya kebanyakan dibuang. Isim laa adalah kata ilaha, adapun khobarnya, disinilah letak perselisihan manusia dalam penentuannya. Adapun yang dipilih oleh para ulama As-Salaf secara keseluruhan adalah bahwa khobarnya (dibuang) oleh karena itulah harus menentukan khobarnya untuk memahami maknanya dengan benar. Dan para ulama Salaf sepakat bahwa yang dibuang tersebut adalah kata haqqun atau ma’budun bihaqqin (yang berhak disembah). Jadi La ilaha illa Allah sama dengan La ilaha (ma’budun bihaqqin) illa Allah. Artinya Tiada tuhan (yang disembah secara haq) kecuali Allah. Dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah Luqman ayat 30:
ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“Yang demikian itu karena Allahlah yang hak (untuk disembah) dan apa saja yang mereka sembah selain Allah maka itu adalah sembahan yang batil dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” Dan mirip dengannya dalam surah Al-Hajj ayat 62.
Laa ilaha illa Allah juga mempunyai dua element. Yaitu element peniadaan (nafi) dan penetapan (itsbat). Dikatakan meniadakan karena kalimah tauhid meniadakan sifat ketuhanan dari selain Allah. Adapun penetapannya yaitu menetapkan esensi tuhan atau ketuhanan hanya kepada Allah[8].
Berkata Al-Wazir Abul Muzhoffar dalam Al-Ifshoh: “Lafazh “Allah” sesudah “illa” menunjukkan bahwasanya penyembahan wajib (diperuntukkan) hanya kepada-Nya, maka tidak ada (seorangpun) selain dari-Nya yang berhak mendapatkannya (penyembahan itu)”. Dan beliau juga berkata : “Dan termasuk faedah dari hal ini adalah hendaknya kamu mengetahui bahwa kalimat ini mencakup kufur kepada thaghut (semua yang disembah selain Allah) dan beriman hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka tatkala engkau menafikan penyembahan dan menetapkan kewajiban penyembahan itu hanya kepada Allah subhanahu maka berarti kamu telah kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah”.
Makna dari ketuhanan adalah bahwasanya Tuhan tidak membutuhkan kepada segala sesuatu selainNya justru segala sesuatu selainNya yang membutuhkanNya. Maka dari itu kalimat La ilaaha illa Allahu artinya “tidak ada dzat yang tidak membutuhkan kepada selainnya sedangkan segala sesuatu selainnya membutuhkannya kecuali Allah”[9].
Kalimatut tauhid ini juga menetapkan pada adanya sifat keesaan atau wahdaniyah Allah, karena hanya Allahlah satu-satunya Tuhan. Dan karena Allah adalah Dzat Yang Berdikari (Yang tidak membutuhkan kepada selainNya sedangkan segala sesuatu selainnya membutuhkanNya) maka hal itu juga mewajibkan Allah bersifat wujud, qidam, baqo’, mukholafatu lil hawadits, alqiyamu binnafsi, dan bersih dari segala kecacatan dan kekurangan, maka termasuk juga sama’, bashor, kalam dan seterusnya[10]. Jadi sebenarnya kalimatut Tauhid adalah sumber dari ketauhidan yang mencakup penetapan sifat-sifat wajib Allah, penafian sifat-sifat mustahilNya dan menjaizkan sifat-sifat jaizNya. Tidak cukup sampai disitu Kalimatut Tauhid juga dikenal sebagai Kalimatut Taqwa karena bila mengetahui maknanya yang sebenarnya dan menyadari keagungan Allah dengan sepenuh hati maka sudah tidak mungkin lagi orang tersebut akan tergerak untuk menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya.
Makalah Kalimat Tauhid Mata Kuliah Ilmu Tauhid
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Kalimatut Tauhid adalah Kalimat (yang menunjukkan pada) Pengesaan (Allah). Pada dasarnya Kalimatut Tauhid adalah Kalimat “Laa ilaha Illa Allah” atau bentuk lain semacamnya yang intinya mengesakan Allah dan meniadakan tuhan selain Allah.
Kalimat Tauhid telah dikemukakan dalam Al-Qur`an lebih dari 30 kali sebagaimana dapat disimak dalam surat Al-Baqarah, Al-Imran, An-Nisa, Al-An`am, At-Taubah, Yunus, Hud, Ar-Ra`du, Ibrahim, An-Nahl, Taa-haa, Al-Anbiya, Al-Mu`minun, An-Naml dan yang lainnya.
Allah adalah nama khusus bagi Tuhan yang berbeda dengan tuhan-tuhan lain yang tidak benar untuk disembah.
La ilaha illa Allah sama dengan La ilaha (ma’budun bihaqqin) illa Allah. Artinya Tiada tuhan (yang disembah secara haq) kecuali Allah.
Daftar Pustaka
Makalah Kalimat Tauhid Mata Kuliah Ilmu Tauhid Makalah Kalimat Tauhid Mata Kuliah Ilmu Tauhid Makalah Kalimat Tauhid Mata Kuliah Ilmu Tauhid Makalah Kalimat Tauhid Mata Kuliah Ilmu Tauhid
As-Sanusiy, Muhammad. Ummul Barohin. tt. Jakarta: Darul Hikmah
Ash-Shoyim, Muhammad. Menyingkap Rahasia di Balik Kalimat Tauhid. 1996. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
At-Thoi, Muhammad ibn Muhammad. tt. Syarh Alfiyyah Ibnu Malik. Beirut: Qudis George.
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Al- Munawwir Kamus Bahasa Arab-Indonesia. 1997. Surabaya: Pustaka Progressif.
Shihab, M.
Quraish. 1999. “Menyingkap” Tabir Ilahi
Asma Al Husna dalam Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Penerbit Lentera Hati.
[1] Ahmad Warson Munawwir, Al- Munawwir Kamus Bahasa Arab-Indonesia. Cet. Ke-14 (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997 ) hlm. 1542.
[2] Muhammad ibn Muhammad At-Thai, Syarh Alfiyah Ibnu Malik (Beirut: Qudis George, tt) hlm. 3-4.
[3] M. Quraish Shihab, “Menyingkap” Tabir Ilahi Asma Al Husna dalam Perspektif Al-Qur’an. Cet. Ke-2 (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 1999) hlm. 3-4.
[4] Ibid hlm. 5
[5] Ibid hlm. 5
[6] Ibid hlm. 6
[7] Ibid hlm. 7
[8] Muhamad Ash-Shoyim, Menyingkap Rahasia dibalik kalimat “La Ilaha Illallah”. Cet. Ke-2 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996) hlm. 1
[9] Muhammad As-Sanusy, Ummul Barohin (Jakarta: Darul Hikmah, tt) hlm. 210
[10] Ibid. Hlm. 211
Makalah Kalimat Tauhid Mata Kuliah Ilmu Tauhid