Dalam konteks keberagamaan, terdapat berbagai istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan perbedaan keyakinan dan pandangan antara umat beragama. Salah satu istilah yang sering diperdebatkan dan menimbulkan kontroversi adalah istilah “kafir”.
Istilah ini sering digunakan untuk menyebut orang yang tidak memiliki keyakinan yang sama dalam agama tertentu, dan sering dianggap sebagai istilah yang menyinggung dan tidak toleran. Namun, sebenarnya apa itu istilah “kafir” dan bagaimana seharusnya kita memahaminya untuk merajut toleransi antar umat beragama?
Apa itu Kafir?
K.H Afifuddin Muhajir dalam bukunya Fikih Tata Negara menjelaskan bahwa kafir berarti orang yang mengingkari atau tidak mengakui. Kafir dengan pemahaman ini tidak selalu melekat pada orang non-muslim, melainkan juga sifat yang bisa disandang oleh orang muslim.
Sebagai contoh, salah satu ayat pada Al-Quran menyebutkan:
فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطّٰغُوْتِ وَيُؤْمِنْ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى
“…Barangsiapa Kafir terhadap Thagut dan beriman kepada Allah maka sungguh ia telah berpegang pada tali yang kukuh…” (QS. Al-Baqarah: 256).
Dari ayat tersebut, bisa kita simpulkan bahwa orang muslim secara teknis bisa disebut ‘kafir’ karena ia mengkufuri/mengingkari tuhan-tuhan selain Allah.
Lebih lanjut, K.H Afifuddin Muhajir menjelaskan bahwa Kafir yang dialamatkan kepada non muslim dapat dikategorikan menjadi tiga bagian:
- Mulhid (ateis), yaitu orang-orang mengingkari adanya Tuhan.
- Musyrik (politeis) yatu orang-orang uang mengingkari keesaan Tuhan atau meyakini adanya lebih dari satu Tuhan
- Ahli Kitab (Kitabi) yaitu orang-orang yang meyakini keesaan Tuhan, namun mengingkari kerasulan Muhammad atau tidak mengakui kebenaran Al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah. Lebih lanjut, mereka hanya meyakini ajaran kitab terdahulu sebelum al-Quran (Taurat dan Injil).
Sedangkan di dalam literatur fiqih klasik, kafir dibagi menjadi tiga bagian:
- Harbiy, yaitu non muslim yang terlibat permusuhan dengan kaum muslimin
- Mu’ahhad, yaitu non muslim yang terikat komitmen dengan kaum muslimin untuk tidak saling bermusuhan.
- Dzimmiy (ahlu dzimmi), yaitu non muslim yang berdomisili di negara Islam.
Status Kafir di Indonesia
Lantas bagaimana dengan kafir yang ada di Indonesia, apakah mereka termasuk dalam pembagian di atas?
Dalam satu wawancaranya K.H. Afifuddin Muhajir pernah menjelaskan bahwa mereka (non-Muslim dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia) itu bukan harbiy, bukan mu’ahad, bukan musta’man, bukan pula dzimmiy. Karena memang definisi-definisi tersebut tidak bisa diterapkan kepada non-Muslim di Indonesia. Oleh karena itu, istilah yang tepat, katakan saja mereka non-Muslim.
Beliau juga menegaskan di mana inti jawabannya adalah bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara semua bangsa Indonesia baik muslim maupun non muslim memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Beliau juga menjelaskan dalam bukunya Fiqh Tata Negara, bahwa hal mutlak yang harus dimiliki oleh umat beragama adalah prinsip toleransi.
Hal ini berangkat dari kesadaran bahwa perbedaan adalah fitrah manusia, termasuk di dalamnya adalah perbedaan dalam beragama. Mengingkari perbedaan berarti mengengingkari fitrah, sejalan dengan hal ini, firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Kahfi ayat 29:
فَمَنْ شَآءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَآءَ فَلْيَكْفُرْ
“Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”
Melaui prinsip toleransi, tidak diperlukan upaya penyatuan agama. Begitu juga tidak perlu adanya upaya untuk menciptakan semua agama benar. Sebab jika terdapat keyakinan bahwa semua agama benar maka tidak diperlukan lagi adanya toleransi dalam beragama.
Menjadi tidak logis apabila ada orang yang meyakini satu agama tertentu tetapi membenci dan memusuhi agama lain, terlebih sampai menimbulkan pertumpahan darah antar umat beragama. Tentu akan sangat berbahaya apabila suatu agama mengajarkan pemeluknya untuk membenci atau menyerang pemeluk agama lain yang tidak bersalah.
Seharusnya kita memahami bahwa penggunaan istilah “kafir” tidaklah selalu negatif dan menyinggung. Istilah ini digunakan untuk menyebut perbedaan keyakinan dan pandangan, dan bukan untuk menunjukkan inferioritas atau superioritas agama tertentu. Dalam konteks toleransi dan pluralisme, kita perlu memahami dan menerima perbedaan keyakinan dan pandangan antara umat beragama, tanpa merendahkan atau merendahkan orang lain.
Oleh karena itu, sebagai individu yang hidup dalam masyarakat multikultural, kita perlu memahami dengan baik istilah-istilah keagamaan dan menciptakan lingkungan yang toleran dan menghargai perbedaan. Kita harus memahami bahwa setiap agama memiliki keyakinan dan pandangan yang berbeda-beda, dan bukan untuk kita menilai atau merendahkan pandangan orang lain. Sebaliknya, kita harus saling menghormati dan saling menghargai, dengan tetap memegang teguh keyakinan dan pandangan kita masing-masing. Wallahu a’lam.
Penulis: Ahmad Yaafi Kholilurrohman – Alumni Santri Pon. Pes. Al-Amien Jember, Instagram: @Yaafie_17