Pentingnya Pemahaman Kontekstual dibandingkan Pemahaman Tekstual

Pemahaman kontekstual dalam sebuah teks menjadi hal yang sangat penting dan krusial dalam membaca suatu bacaan. Hal ini sangat berbeda dengan pemahaman tekstual yang hanya berfokus pada pemahaman kata demi kata dalam sebuah teks. Pemahaman kontekstual memerlukan analisis yang lebih dalam terhadap teks secara keseluruhan, meliputi makna kata-kata, penggunaan bahasa, gaya bahasa, serta konteks sosial, budaya dan sejarah yang melatarbelakangi sebuah teks.

Di dalam sebuah kitab berjudul ad-Dakwah at-Tammah Wa at-Tadzkiroh karangan Sayyid Abdullah ibn Alwi al-Haddad, terdapat kisah seorang raja yang melakukan hubungan badan dengan istrinya di siang hari bulan Ramadhan.

Raja tersebut kemudian mengumpulkan para ulama untuk mendengarkan fatwa mereka terkait konsekuensi yang harus dijalani raja akibat perbuatannya tersebut. Akhirnya salah seorang ulama yang terkenal akan kealimannya memberikan fatwa kepada sang raja bahwa hukuman yang harus dijalaninya adalah dengan berpuasa selama dua bulan berturut-turut.

Mendengar hal itu, sontak seluruh ulama lain yang juga ikut hadir dibuat bingung. Hal ini karena berdasarkan dalil yang ada, hukuman yang seharusnya dijalani oleh raja adalah dengan memerdekakan budak terlebih dahulu, kemudian baru berpuasa selama dua bulan berturut-turut sebagai opsi lanjutan jikalau raja tidak mampu melakukan opsi pilihan yang pertama tadi.

Hal ini merujuk pada sabda Nabi saw;

 أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَتَى رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ، وَقَعْتُ عَلَى أَهْلِي فِي رَمَضَانَ، قَالَ: أَعْتِقْ رَقَبَةً قَالَ: لَيْسَ لِي، قَالَ: فَصُمْ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ: لاَ أَسْتَطِيعُ، قَالَ: فَأَطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا

“Abu Hurairah meriwayatkan, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah lantas berkata, “Celakalah aku! Aku mencampuri istriku (siang hari) di bulan Ramadhan. Beliau bersabda, “Merdekakanlah seorang hamba sahaya perempuan.” Dijawab oleh laki-laki itu, “Aku tidak mampu.” Beliau kembali bersabda, “Berpuasalah selama dua bulan berturut-turut.” Dijawab lagi oleh laki-laki itu, “Aku tak mampu.” Beliau kembali bersabda, “Berikanlah makan 60 orangmiskin”.(HR.Bukhari).

Ketika hal ini diperkarakan oleh para ulama yang lain, seorang ulama yang alim itupun membeberkan alasannya bahwa apabila ia memberitahu raja bahwa hukuman yang harus ia jalani adalah memerdekakan budak, maka raja memiliki banyak budak sehingga hal itu adalah hal yang mudah saja baginya sehingga ada kemungkinan raja tidak menjadi jera dan ada kemungkinan mengulangi kembali perbuatannya itu.

Padahal tujuan dari adanya sebuah hukuman ialah memberikan efek jera bagi pelakunya. Oleh sebab itu ulama tadi mengeluarkan fatwa bahwa hukuman yang harus dijalani sang raja adalah dengan berpuasa dua bulan berturut-turut. Karena disamping dapat memberi efek jera bagi si raja, puasa juga dapat menundukkan pandangan raja dalam mengekang nafsu birahinya.

Perbuatan ulama ini, tentunya tidak hanya didasari oleh pemahaman teks secara mendalam, tapi juga mengerti konteks yang ada. Hal ini seharusnya patut dicontoh oleh kaum muslimin di dalam mengambil sebuah keputusan. Karena memutuskan tanpa memahami konteks yang ada, hanya akan mengantarkan kepada jurang kesesatan.

Dari contoh kasus fatwa ulama di atas, kita dapat memahami bahwa pemahaman kontekstual sangat penting dalam membaca sebuah teks. Pemahaman yang baik dan benar terhadap konteks sosial, budaya, dan sejarah suatu teks dapat membantu kita menghindari kesalahpahaman dalam memahami teks tersebut, serta memberi solusi yang lebih baik dalam menghadapi persoalan yang kompleks.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita juga perlu mengaplikasikan pemahaman kontekstual untuk membantu kita dalam mengambil keputusan yang tepat dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam situasi yang kompleks dan memerlukan pertimbangan yang matang. Dengan memahami konteks dan situasi secara holistik, kita dapat mengambil keputusan yang tepat dan berdampak positif bagi diri sendiri dan orang lain.

Penulis: Rahmat Taufik – Asal Gorontalo dan Mahasantri di Ma’had Aly Salafiyyah Syafiiyyah Takhassus Fiqh Wa Ushulihi.

Tinggalkan Komentar