Surga Adam dan Hawa: Perbedaan Pandangan Ulama’

Sudah tak asing lagi di telinga kita sebuah pemahaman bahwa manusia yang pertama kali diciptakan adalah Adam as. Dengan tanah, Allah menciptakannya dan dari tulang rusuknya Allah menciptakan pasangannya, yakni Hawa. Lalu Allah memerintahkan kepada keduanya untuk menetap di jannah (surga). Terdapat ayat yang menegaskan akan hal itu, namun perihal surga Adam dan Hawa memunculkan banyak interpretasi. Dimanakah surga Adam itu? Apakah ia sama dengan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa? Jika orang bertakwa kelak kekal di dalamnya, mengapa Adam dikeluarkan darinya?
Adapun ayat yang kami maksud adalah ayat berikut:
وَقُلْنَا يٰٓاٰدَمُ اسْكُنْ اَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَاۖ وَلَا تَقْرَبَا هٰذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُوْنَا مِنَ الظّٰلِمِيْنَ
“Dan Kami berfirman, “Wahai Adam! Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, dan makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu. (Tetapi) janganlah kamu dekati pohon ini, nanti kamu termasuk orang-orang yang zalim!” (al-Baqarah 2:35)
Dari ayat di atas, kita akan mengkaji perihal surga Adam as. Apakah surga yang ditempati Nabi Adam dulu sama dengan surga yang kelak orang mukmin tempati?
Pertanyaan ini menghasilkan silang pendapat antar ulama. Syaikh Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsirul-Munir menjelaskan silang pendapat itu. Beliau mengatakan bawa pendapat terbanyak mengatakan surga Nabi Adam sama dengan surga orang mukmin kelak. Bedahalnya dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam al-Maturidi, mereka mengatakan bahwa surga Nabi Adam ada di dunia, sekitar daerah ‘Adn, Palestina atau tempat antara Persi dan Kirman.
Senada dengan hal itu, Syekh Mutawalli As-Sya’rawiy menerangkan bahwa surga yang dihuni Nabi Adam bersama Sayyidatina Hawa bukanlah surga pembalasan sebagaimana yang di akhirat kelak. Sebab, surga pembalasan hanya akan dimasuki manusia setelah melalui proses hisab. Sehingga dengan hisab tersebut, surga hadir sebagai balasan bagi orang yang melakukan kebaikan. Itu alasan yang pertama.
Kedua, di surga tidak dikenal dengan taklîf atau tuntutan macam-macam berupa perintah maupun larangan. Orang boleh melakukan apa pun dan makan minum apa pun sehingga minum khamr yang di dunia diharamkan, di surga menjadi halal. Kita tahu, Nabi Adam mendapatkan perintah dan larangan saat di surga waktu itu. Nabi Adam perlu menikah menggunakan mahar. Ia juga dilarang mendekat ke salah satu pohon. Ini bukti bahwa ada taklîf di sana yang secara umum hal tersebut tidak ada jika di surga pembalasan manusia.
Dan ketiga, di surga tidak ada gangguan setan. Sedangkan Nabi Adam saat di surga malah digoda oleh setan.
Silang pendapat ini tentu juga dengan argumen yang sama-sama kuat. Imam ar-Razi dalam tafsirnya mengutip pendapat Abul-Qasim al-Balkhi dan Abu Muslim al-Asfahani bahwa surga Nabi Adam bukanlah surga khuld (kekal) yang kelak akan ditempati oleh orang mukmin. Sebab jika demikian, seharusnya Nabi Adam tidak akan dikeluarkan dari surga, sesuai dengan firman Allah di surat al-Hijr ayat 48 yang berbunyi: “Mereka tidak akan dikeluarkan dari dalam surga”
Namun pendapat ini ditolak oleh Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya, bahwa mungkin saja Allah memberi izin pada makhluk-makhluk tertentu untuk keluar-masuk surga. Misalnya malaikat yang memiliki kekuasaan untuk keluar-masuk surga. Begitu pula dengan Nabi Muhammad yang masuk lalu keluar lagi dari surga saat peristiwa isra’.
Lantas bagaimana dengan iblis yang sudah dikeluarkan dari surga, akan tetap masih bisa mengganggu Nabi Adam yang ada di dalam surga?
Syaikh Wahbah az-Zuhaili menukil dari salah satu pendapat bahwa iblis tidak mengganggu Adam dengan memasuki surga, melainkan dengan perantara sifat waswas yang Allah berikan kepadanya. Atau mungkin bisa mengikuti pendapat yang dinukil oleh Imam as-Suyuthi dalam tafsir ad-Durrul Mantsur fi Tafsiril Ma’tsur bahwa iblis masuk ke surga dengan mengelabuhi malaikat melalui perantara ular. Iblis meminta tolong pada ular agar memasukkannya ke dalam surga melalui mulutnya.
Meski begitu, harusnya Nabi Adam tidak tidak tertaklif atas larangan memakan buah khuldi. Sebab di surga tidak ada taklif!
Imam al-Qurtubi lagi-lagi menjawab bahwa mungkin saja saat itu Nabi Adam terkena taklif. Sebab tidak berlakunya taklif kelak ketika semua penduduk surga telah masuk ke dalamnya.
Walhasil, dari semua silang pendapat yang kami tuturkan di atas, jawaban yang paling aman adalah diam dari perdebatan tentang hal itu (al-waqf). Sebab tidak ada yang mutlak kebenarannya. Imam Ibnu Katsir dalam kitab Qasasul-Anbiya mengatakan:
وَاللّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ مِنْ ذَلِكَ هَذَا كَلَامُهُ فَقَدْ تَضَمَّنَ كَلَامُهُ حِكَايَةَ أَقْوَال ثَلَاثَة وَأَشْعُرُ كَلَامَهُ أَنَّهُ مُتَوَقف فِي اْلمَسْأَلَةِ
“Allahlah yang lebih tahu kebenarannya. Dari perdebatan ini menuntut pendapat yang ketiga. Saya rasa pendapat itu adalah diam dari membahas masalah.”
Penulis: Ghazali