Perempuan dan Lelaki, Seks dan Gender dalam al-Quran

Perempuan dan Lelaki, Seks dan Gender dalam al-Quran

Perempuan dan Lelaki, Seks dan Gender dalam al-Quran

Isu seks dan gender sepertinya menjadi pembahasan kuno namun abadi yang menggiring banyak diskusi, perdebatan dan pertentangan. Seperti halnya Karen Armstrong yang pernah mengungkit kata ganti Tuhan sebagai “Huwa/Him” dengan kata ganti laki-laki bukan dengan “Hiya/She” semakin membuat isu ini menjadi nyata. Seakan-akan posisi perempuan jauh di bawah laki-laki.

Faktanya, ketika seseorang menjumpai suatu permasalahan yang bertentangan dengan akalnya, maka ia harus menemukan sisi lain dari hal serupa yang dapat diterima oleh akalnya. Oleh karena itu, sesuatu yang diperselisihan harus dikembalikan pada sesuatu yang dapat merekonsiliasi perbedaan yang telah terjadi. Ini merupakan langkah untuk menjembatani adanya gesekan-gesekan yang bisa menyebabkan adanya sikap saling curiga yang terus menerus dan pertengkaran yang tiada henti.

Kata “perempuan/imra`ah/untsā” merupakan lawan dari kata “laki-laki/rajul/dzakar”. Jika direnungkan, maka bisa didapati persamaan di antara keduanya, yakni “manusia/insan”. Jadi perempuan dan laki-laki memiliki kesamaan sebagai manusia.

Sehingga saat membicarakan dan menanyakan tentang satu jenis kata yang dapat menghimpun antara kata perempuan dan lelaki, tentu kata tersebut adalah insan (manusia). Sebab di situlah perempuan dan lelaki bermuara.

Jadi ketika ada satu jenis tertentu yang terbagi menjadi dua macam, maka di situ harus diyakini bahwa tidak mungkin terjadi suatu pembagian jika tidak untuk menunjukkan adanya fungsi dan tujuan khusus dalam masing-masing pembagian itu. Di samping ada benang merah yang menyatukannya sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya.

Jika tidak, maka untuk apa ada pembagian itu? Sehingga di sini dapat dipahami bahwa dalam masing-masing nau’ atau spesia (macam) terdapat suatu karakter esensial (khushūshiyyah dzātiyyah) yang memiliki keistimewaan tersendiri.

Seperti Siang dan Malam, Harus Ada Laki-laki dan Perempuan

Di sini saya akan menunjukkan perumpamaan “waktu”, waktu adalah satu jenis yang mencakup siang dan malam. Mungkin sebagian orang akan beranggapan bahwa keduanya saling bertentangan dan berlawanan disebabkan oleh adanya cahaya di waktu siang dan kegelapan di waktu malam. Namun sesungguhnya cahaya datang bukan untuk melawan kegelapan dan kegelapan ada bukan untuk memusuhi cahaya.

Oleh karena itu membenturkan antar keduanya adalah sebuah kekeliruan. Sebab masing-masing dari keduanya memiliki keistimewaan tersendiri yang tidak dimiliki oleh selainnya.

Waktu sebagai sebuah eksistensi memiliki makna tersendiri, ia merupakan sebuah kondisi yang menampung beberapa peristiwa. Ia adalah sesuatu yang bersifat umum. Dan setelah itu kemudian muncul waktu siang dan juga waktu malam. Siang memiliki keistimewaan tersendiri dan begitu juga dengan waktu malam.

Hal tersebut telah diungkapkan secara terang dalam QS. Yunus ayat 67:

هُوَ ٱلَّذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلَّيۡلَ لِتَسۡكُنُواْ فِيهِ وَٱلنَّهَارَ مُبۡصِرًاۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٍ لِّقَوۡمٍ يَّسۡمَعُونَ  ٦٧

Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kamu mencari karunia Allah). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar.

Demikian jelas al-Quran menggambarkan alasan adanya malam, yaitu untuk ketenangan, kedamaian, kenyamanan, dan kesetabilan. Adapun siang ia diciptakan untuk bekerja dan beraktivitas. Maka dari itu, dunia bukanlah tentang siang saja atau malam saja. Begitu pula bahwa siang lebih berfaedah ketimbang malam atau sebaliknya. Jika ada yang berpandangan demikian, maka jauh-jauh hari al-Quran telah menepis pandangan tersebut.

قُلۡ أَرَءَيۡتُمۡ إِن جَعَلَ ٱللَّهُ عَلَيۡكُمُ ٱلَّيۡلَ سَرۡمَدًا إِلَىٰ يَوۡمِ ٱلۡقِيَٰمَةِ مَنۡ إِلَٰهٌ غَيۡرُ ٱللَّهِ يَأۡتِيكُم بِضِيَآءٍۚ أَفَلَا تَسۡمَعُونَ  ٧١ قُلۡ أَرَءَيۡتُمۡ إِن جَعَلَ ٱللَّهُ عَلَيۡكُمُ ٱلنَّهَارَ سَرۡمَدًا إِلَىٰ يَوۡمِ ٱلۡقِيَٰمَةِ مَنۡ إِلَٰهٌ غَيۡرُ ٱللَّهِ يَأۡتِيكُم بِلَيۡلٍ تَسۡكُنُونَ فِيهِۚ أَفَلَا تُبۡصِرُونَ  ٧٢

71.  Katakanlah: “Apakah kau tidak melihat, jika Allah menjadikan untukmu malam itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepadamu? Maka apakah kamu tidak mendengar?” 72.  Katakanlah: “Apakah kau tidak melihat, jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” [Al Qasas:71-72]

Ayat-ayat tersebut memberikan pemahaman betapa waktu sebagai sebuah jenis tertentu yang kemudian terbagi menjadi siang dan malam berikut karakter dan keistimewaannya merupakan rahmat Allah swt.

Demikian pula dengan manusia. Jika manusia adalah jenis tertentu sebagaimana telah disinggung sebelumnya, kemudian dari jenis itu muncul laki-laki dan perempuan, maka keduanya tidak bisa dibenturkan dan dibanding-bandingkan. Sebab terdapat persamaan universal sekaligus katakteristik unik pada masing-masing dari mereka sebagai jenis dan macam manusia yang berperan besar dalam tercapainya tatanan dunia hingga saat ini.

Allah swt sengaja memunculkan perumpamaan siang dan malam berikut karakteristiknya sebagai model dasar untuk memudahkan manusia dalam memahami perkara-perkara yang “tampaknya” paradoksikal dan kontradiktif. Jika kita bisa menerima alasan logis dari pemaparan al-Quran tentang masing-masing peran atau tugas siang dan malam, maka apakah demikian dengan lelaki dan perempuan? Sementara al-Quran telah menjelaskan hal itu dengan sangat indah dan terang.

وَٱلَّيۡلِ إِذَا يَغۡشَىٰ  ١ وَٱلنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ  ٢

1.  Demi malam apabila menutupi (cahaya siang) 2. Dan siang apabila terang benderang [al-Lail: 1-2]

وَمَا خَلَقَ ٱلذَّكَرَ وَٱلۡأُنثَىٰٓ  ٣ إِنَّ سَعۡيَكُمۡ لَشَتَّىٰ  ٤

3.  dan penciptaan laki-laki dan perempuan, 4.  Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. [al-Lail: 3-4]

Sebagaimana malam dan siang yang memainkan perannya masing-masing. Maka perempuan dan lelaki juga demikian. “Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda” (al-Lail: 4). Oleh karena itu tidak sepatutnya terjadi kecemburuan dan ketegangan antar keduanya. Dalam QS. an-Nisa ayat 32 diterangkan.

وَلَا تَتَمَنَّوۡاْ مَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعۡضَكُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٍۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا ٱكۡتَسَبُواْۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌ مِّمَّا ٱكۡتَسَبۡنَۚ وَسۡئَلُوْاْ ٱللَّهَ مِن فَضۡلِهِۦٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٗا  ٣٢

32.  Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Oleh karena itu, langkah ke depan yang harus ditempuh oleh laki-laki dan perempuan dalam menjalin sebuah hubungan adalah saling melengkapi dan berbagi peran sesuai kapasitas masing-masing. Al-Quran telah menjelaskan kepada manusia bahwa segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan.

وَمِن كُلِّ شَيۡءٍ خَلَقۡنَا زَوۡجَيۡنِ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ  ٤٩

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (adz-Dzariyat: 49)

سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡأَزۡوَٰجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْبِتُ ٱلۡأَرۡضُ وَمِنۡ أَنفُسِهِمۡ وَمِمَّا لَا يَعۡلَمُونَ  ٣٦

Maha Suci Dzat yang telah menciptakan semuanya pasangan-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (Yasin: 36)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ ….  ١

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. (an-Nisa: 1)

Isu Kesetaraan Yang digembar-gemborkan

Seks dan gender merupakan dua istilah yang sering diangkat oleh politisi, publik figur dengan konotasi yang negatif. Kedua istilah ini sering disalahpahami dan dipolitisasi.

Perlu dipahami dalam penggunaan kedua istilah tersebut memiliki perbedaan. Istilah seks mengacu pada karakterisitik biologis dan fisiologis yang berbeda antara laki-laki dan perempuan seperti organ reproduksi, kromosom, hormon dll.

Adapun gender mengacu pada karakteristik yang dibangun secara sosial dari perempuan dan laki-laki – seperti norma, peran dan hubungan antara kelompok perempuan dan laki-laki. Ini bervariasi dari masyarakat ke masyarakat dan dapat diubah. Konsep gender mencakup lima elemen penting: relasional , hierarkis, historis, kontekstual, dan institusional.

Sementara itu kebanyakan orang dilahirkan baik laki-laki atau perempuan, mereka diajarkan norma dan perilaku yang sesuai – termasuk bagaimana mereka harus berinteraksi dengan orang lain yang berjenis kelamin sama atau berlawanan dalam rumah tangga, komunitas, dan tempat kerja. Ketika individu atau kelompok yang tidak “sesuai” dengan norma gender yang mapan, mereka sering menghadapi stigma, praktik diskriminatif, atau pengucilan sosial – yang semuanya berdampak buruk pada kesehatan.”

Contoh frasa ‘perempuan harus pintar memasak’ adalah sebuah nilai yang dipahami oleh masyarakat kita sebagai salah satu peran wanita dalam keluarga sebagai sosok yang bisa menjadi andalan dalam mengolah makanan dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga untuk bertahan hidup melalui makan. Maka kasus ini tidak masuk dalam isu seks secara biologis, namun masuk dalam isu gender. Yang mana peran ini memang disandarkan pada wanita, namun pada prakteknya siapa pun tanpa melihat jenis kelaminnya yang bisa mengemban peran ini maka dia sudah memenuhi kebutuhan keluarganya.

Ketika sudah dipahami adanya peran berbeda antara laki-laki dan perempuan sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran, maka tidak ada ketimpangan yang perlu diperselisihkan dalam isu kesetaraan laki-laki dan perempuan, baik dipandang dari segi seks maupun gender.

Seperti halnya ketika ada siang maka harus ada malam, maka begitu pula ketika ada laki-laki maka harus ada perempuan. Ketika siang menjadi pusat cahaya sehingga segala aktivitas bisa berlangsung dengan maksimal, maka harus ada penyeimbang yakni malam sebagai waktu yang tepat untuk beristirahat.

Namun tidak berarti juga manusia tidak bisa beristirahat di waktu siang atau beraktivitas di malam hari. Karena hal itu juga bisa dilakukan, hanya saja hal tersebut tidak bisa menggantikan hukum ideal yang ada, yakni “siang untuk aktivitas dan malam untuk istirahat”.

Hal yang paling mudah dipahami dari hal tersebut adalah harus ada waktu dimana kita beraktivitas dan berkarya dan ada juga waktu dimana kita beristirahat, sehingga terciptalah kehidupan seimbang. Pertanyaannya adalah kapankah waktu yang ideal.

Begitu pula penetapan yang ada mengenai posisi laki-laki dan perempuan. Keduanya memerankan perannya masing-masing. Laki-laki menjadi ‘pakaian’ bagi wanita dan begitu pula sebaliknya. Sekarang Indonesia malam dan Amerika siang. Namun setelah Indonesia memasuki siang, Amerika bergantian memasuki malam.

Malam tidak bisa iri kepada siang, mengapa engkau begitu terang? Begitu pula siang tidak bisa iri dengan malam, mengapa engkau begitu tenang, nyaman dan sunyi.

Perempuan tidak boleh iri dengan pembagian warits yang lebih sedikit (dalam beberapa kasus perempuan bisa mendapatkan bagian lebih besar) dibanding laki-laki, tidak  bisa ikut berperang, atau pun kesaksiannya separuh dari kesaksian laki-laki. Karena di sisi lain perempuan lebih diuntungkan. Perempuan mendapatkan mahar ketika dikhitbah, bukan yang memberikannya. Perempuan juga berhak disantuni ketika menjadi janda, bukan duda, dsb.

Perempuan bisa mendapatkan kemuliaan tinggi dan pahala yang lebih besar dengan menjalankan perannya sebagai perempuan, baik seorang ibu, seorang istri, seorang single parent, ataupun seorang pendidik. Laki-laki itu memiliki derajat lebih tinggi dari seorang perempuan itu adalah teori ideal. Namun, Rabiah al-Adawiyah sudah pasti lebih mulia derajatnya dibanding laki-laki pada umumnya, dan sudah pasti Penulis pribadi.

Adanya laki-laki dan perempuan memerankan peran yang berbeda, semuanya sama di hadapan Allah karena yang membedakan manusia di hadapanNya adalah ketakwaan. Kesuksesan pun bukanlah monopoli satu pihak saja, karena kembali lagi ‘lil rijali nashibun mimma ktasabu, wa lin nisai mimma ktasabna‘.

Ubaidil Muhaimin – Ayah dari dua gadis lucu

Tinggalkan Komentar