Mengenal Ibnu Rusyd – Filsuf Islam Serba Komplit

Mengenal Ibnu Rusyd – Filsuf Islam Serba Komplit

Ibnu Rusyd Averoes The Commentator - Filsuf Muslim

Ibnu Rusyd merupakan Filsuf Muslim Barat yang sangat berpengaruh di Eropa. Atas ulasan-ulasannya pada pemikiran Aristoteles ia dijuluki sebagai asy-Syarih (Comentator). Ia seorang rasionalis sejati dan juga pengikut Aristoteles yang setia. Dirinya memposisikan dirinya sebagai pembela filsafat dan akan membalas serangan-serangan yang menyerang filsafat. Meskipun begitu Ibnu Rusyd tetaplah seorang muslim yang tidak mengingkari adanya al-Kitab dan as-Sunnah. Ia sering menggunakan ayat sebagai pendukung pendapatnya sehingga ia menjadi filsuf Islam yang serba komplit.

Daftar Isi

  1. Bagaimana riwayat hidup Ibnu Rusyd?
  2. Apa saja hasil karya Ibnu Rusyd?
  3. Bagaimana pemikiran Ibnu Rusyd?

Riwayat Hidup Ibnu Rusyd.

Nama lengkapnya adalah Abu Al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd. Ia dilahirkan di Cordoba pada 520 H/1126 M dari keluarga ulama cendikiawan dan hakim-hakim. Kakeknya Muhammad ibn Rusyd menjabat sebagai hakim agung di Andalusia. Ayahnya Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd pernah menjabat sebagai hakim di Cordoba. Nama Ibn Rusyd dipergunakan oleh ayahnya dan oleh Ibn Rusyd sendiri.[1]

            Pada waktu kecilnya Ibnu Rusyd memelajari teologi Islam menurut Asy’ariyah, mendalami ilmu fiqh menurut madzhab Maliki, dan memperluas tentang pengetahuan syair-syair arab dan kesustraannya. Di samping itu ia juga mencurahkan perhatiannya pada ilmu kedokteran, matematika, dan filsafat.[2] Dengan terbekali keagamaan, Ibnu Rusyd menduduki peranan penting dalam studi ke-Islam-an. Beliau memelajari al-Qur’an beserta penafsirannya, dan hadits Nabi. Metoda belajarnya secara lisan dari seorang ahli (‘alim). Di samping itu, beliau juga mempelajari fisika, astronomi, dan logika.[3]

            Semasa hidupnya, beliau menuliskan ulasan-ulasan atas buku-buku Aristoteles. Untuk itu dia layak disebut sebagai “Juru Ulas” dan dengan sebutan itulah dia dikenal oleh masyarakat Eropa abad pertengahan. Dante dalam karyanya Divince Comedy menyebut nama Ibnu Rusyd bersama-sama dengan Euclid, Ptolemeus, Hippocrates, Ibnu Sina dan Galen serta menjulukinya Juru Ulas yang Agung.[4] Ernest Renan, pujangga Prancis yang terkenal menyebutkan dengan lengkap segala macam sebutan dan tulisan itu di dalam bukunya “Averroes” mengenai nama panggilan panggilannya baik yang populer maupun tidak, antara lain: Averroes, Ibnu Rosdin, Filius Rosadis, Ibn Rusid, Ben Raxid, Ibn Ruschod, Ben Resched, Aben Rassd, Aben Rust, Anvenrosd, Avenryz, Adveroys, Benroist, Avenroyth, Averrpysth, Averroysta d.l.l. Sebutan nama-nama tersebut membuktikan, bahwa betapa besar pengaruhnya terhadap kehidupan di Eropa dan betapa terkenal ilmunya.[5]

            Dia lebih dikenal dan dihargai di Eropa daripada di Timur dikarenakan beberapa sebab. Pertama, tulisan-tulisannya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan diedarkan serta dilestarikan, sedangkan teksnya yang asli dalam bahasa Arab dibakar atau dilarang diterbitkan lantar dianggap membahayakan akidah. Kedua, Eropa pada zaman Renaissance dengan mudah menerima filsafat dan metoda ilmiah sebagaimana dianut oleh Ibnu Rusyd, sedangkan Timur ilmu dan filsafat mulai dikurbankan demi berkembangnya gerakan-gerakan mistis dan keagamaan. Dalam pertentangan antara agama dan ilmu filsafat, Agama memenangkannya di Timur dan Ilmu memenangkannya di Barat.[6]

            Pertentangan tersebut mengakibatkan Ibnu Rusyd dibuang dari tanah kelahirannya (593 H/1196 M) ke Lucena. Beliau bukan hanya dibuang namun karya-karyanya juga dibakar di muka umum. Pertarungan kaum agamawan dan filsuf untuk mendapatkan kekuasaan politik tidak pernah reda sejak abad ke-3 H/ke-9 M. Namun aib dan penderitaan yang dialami oleh Ibnu Rusyd tidak berlangsung lama. Al-Manshur (khalifah masa itu yang menggantikan khalifah sebelumnya Khalifah Abu Yusuf) mengampuni dan memanggilnya kembali. Ibnu Rusyd pergi ke Marrakusy, dan beliau meninggal disana pada tahun 595 H/1198 M.[7]

Hasil Karya

Ibnu Rusyd banyak mengarang buku, tetapi yang asli berbahasa Arab sampai ke tangan kita sekarang hanya sedikit. Sebagian buku-bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Yahudi.[8]

Di antara karangan-karangannya dalam soal filsafat adalah:

  1. Tahafut at-Tahafut.
  2. Risalah fi Ta’alluqi Ilmillahi ‘an ‘Adami Ta’alluqihi bi al-Juz’iyyat.
  3. Tafsiru Ma ba’da ath-Thabiat.
  4. Fashl al-Maqal fi Ma baina al-Hikmat wa asy-Syariat min al-Ittishal.
  5. Al-Kasyfu ‘an Manahijil ‘Adillat fi ‘Aqaidi Ahl al-Millat.
  6. Naqdu Kadhariyat Ibni Sina ‘an al-Mumkin Lidzatihi wal al-Mumkin li Ghairihi.
  7. Risalat fi Wujud al-‘Azali wa Wujud al-Muaqqat.
  8. Risalat fi al-Aqli wa al-Ma’quli.[9]
  9. Pemikiran Ibnu Rusyd

Pemikiran Ibnu Rusyd

Sebagai filsuf, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa Aristoteles adalah seorang “pemikir agung” yang sangat mendalami masalah-masalah falsafi. Ia adalah seorang yang benar yang tidak pernah salah dari segi apa pun. Ia adalah citra tertinggi (alshurah al-‘ulya) dari akal insani, sehingga ia digelar sebagai seorang “filosof Ilahi”. Dan dia pula termasuk di antara orang-orang yang diisyaratkan Allah dalam firmanNya, “Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendakiNya, dan barang siapa diberikan hikmah, maka ia telah diberikan banyak kebaikan” (QS. Al-Baqarah: 269). Oleh karena itu, ia memposisikan dirinya sebagai pembela filsafat.[10]

Ibnu Rusyd berdiri di pihak Ibnu Sina, versus al-Ghazali, jika pendapat Ibnu Sina sesuai dengan pendapatnya, atau dengan kata lain jika pendapat tersebut berasal dari Aristoteles. Namun jika Ibnu Sina dirasa menyalahi “Guru Pertama”, maka Ibnu Rusyd tidak membelanya serta meremehkannya seraya menjelaskan bahwa Ibnu Sina telah meberikan kesempatan bagi al-Ghazali untuk menyerang filsafat dan para filosof umumnya. Tujuan dari tulisan-tulisan Ibnu Rusyd sendiri adalah untuk mencapai kebenaran dan menjelaskannya, baik kebenaran tersebut dari pihak Ibnu Sina maupun dari al-Ghazali.[11]

  1. Pencarian Tuhan

Ibnu Rusyd membicarakan filsafat ketuhanan di berbagai karangannya, antara lain, Tahafut at-Tahafut dan Manahij al-Adillah. Ia meneliti berbagai golongan yang timbul dalam Islam. Masing-masing golongan mempunyai kepercayaan yang berlainan tentang Tuhan, dan banyak memindahkan kata-kata syara’ dari arti lahirnya kepada takwilan-takwilan yang disesuaikan dengan kepercayaannya. Kemudian mereka mengira bahwa kepercayaannya itulah yang harus dianut oleh semua orang dan barang siapa yang menyimpang darinya berarti telah kafir atau menjadi bid’ah.[12]

Menurut golongan Asy’ariyah bahwa kepercayaan tentang wujud Tuhan dapat dicapai melalui akal pikiran. Menurut Ibnu Rusyd untuk ini mereka tidak menempuh jalan yang ditunjukkan oleh syara’ karena mendasarkan baharunya alam atas tersusunnya dari bagian-bagian yang tidak terbagi-bagi, dan bagian-bagian itu adalah baru. Kalau alam ini baru, maka ia mesti ada pembuatnya yang baru, dan pembuat ini membutuhkan pembuat yang lain, dan begitu seterusnya sampai tidak berkesudahan. Kalau alam ini qadim,  maka perbuatan pembuatan yang berhubungan dengan perkara-perkara yang dibuatnya tersebut adalah qadim juga.[13]

Golongan mutakallimin Asy’ariyah akan mengatakan bahwa pembuatan yang  baru adalah karena iradah (kehendak) yang qadim. Maka Ibnu Rusyd menjawab bahwa pendapat tersebut tidak dapat diterima karena iradah itu bukan perbuatan yang berhubungan dengan perkara yang dibuat. Jika perkara tersebut baru, maka perbuatan yang berhunbungan dengannya juga harus baru, tanpa membedakan apakah iradahNya itu qadim ataukah baru, karena perbuatan itu dari dzat yang membuat, lain dari perkara yang dibuat, dan lain pula dari iradah. Lagi pula iradah tersebut hanya menjadi syarat adanya perbuatan, bukan perbuatan itu sendiri.[14]

Terhadap golongan tasawuf, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa penelitian mereka bukan pemikiran, yakni yang terdiri atas dasar-dasar pemikiran atau premis-premis dan kesimpulan, karena mereka mengira bahwa pengetahuan tentang Tuhan dan wujud-wujud lain diterima oleh jiwa ketika sudah terlepas dari hambatan-hambatan kebendaan dan ketika pikirannya tertuju kepada perkara yang dicarinya. Cara tersebut menurut Ibnu Rusyd bukanlah cara kebanyakan manusia sebagai makhluk yang memiliki pikiran.[15]

Dalam Fashl al-Maqaal Ibnu Rusyd menyatakan, bahwa mengenal pencipta itu hanya mungkin dengan mempelajari wujud alam yang diciptakan-Nya, untuk dijadikan petunjuk bagi adanya pencipta itu. Yaitu dengan dalil inayah dan dalil ikhtira’ yang ada di al-Qur’an.

Dalil inayah didasarkan pada suatu kenyataan bahwa semua yang ada ini adalah sesuai dengan kebutuhan manusia, karena semua itu telah dijadikan oleh Pencipta yang menghendaki hal yang demikian itu.

Sedangkan dalil ikhtira’ didasarkan pada segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi adalah diciptakan, bukan terjadi dengan sendirinya, dengan bukti penyaksian kita sendiri, dan dengan dalil gerak langit sebagai indikator bahwa ia diperuntukkan untuk kita.[16]

Begitu pula makhluk hidup seperti hewan, tumbuhan, dan manusia memiliki kehidupan yang berbeda dan tingkatan yang berlainan pula, hal tersebut bukanlah kebetulan, namun menunjukkan adanya Pencipta yang menghendaki hal yang demikian itu. Sehingga dengan dua dalil ini dapat dibuktikan bahwa alam semesta ini ada Penciptanya.

Imam Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah telah menyatakan kekafiran kepada para filsuf disebabkan tiga hal yaitu adanya keyakinan mereka bahwa alam adalah qadim (ada tanpa permulaan), Allah tidak mengetahui segi-segi bagian (juziyat) dan interpretasi mereka tentang kebangkitan jasmani (dari kubur) serta kehidupannya sesudah mati.

Menanggapi pernyataan itu Ibnu Rusyd berkomentar bahwa sebenarnya para filsuf berpendapat bahwa Allah mengetahui juziyyat, hanya saja dengan cara yang berbeda dengan cara kita mengetahui juziyyat. Sebab pengetahuan kita tentang juziyyat itu adalah efek dari obyek yang telah diketahui, yang efek itu tercipta bersama terciptanya obyek tersebut, serta berubah bersama perubahannya.

Sedangkan pengetahuan Allah tentang apa yang ada ini adalah kebalikannya. PengetahuanNya itu merupakan sebab bagi obyek yang diketahuiNya yakni segala wujud ini, jadi barang siapa yang menganggap sama kedua  pengetahuan itu, maka berarti telah menyamakan esensi dan sifat-sifat dari hal-hal yang berlawanan dan ini merupakan puncak kebodohan. Dan jika perkataan pengetahuan digunakan untuk memenangkan baik tentang pengetahuan ciptaan maupun pengetahuan bukan ciptaan, maka hal itu bisa terjadi hanya karena semata-mata kesamaan nama saja.[17]

  1. Qadimnya Alam

Apakah alam ini qadim ataukah baru, maka menurut Ibnu Rusyd perselisihan antara kaum teolog Asy’ariyah dan para fisuf klasik hampir bisa dikembalikan pada perselisihan mengenai penamaan saja, khususnya bagi beberapa orang filsuf saja. Sebab mereka telah sepakat adanya tiga macam wujud yaitu dua wujud yang berada di dua ujung dan yang satu berada di tengah-tengahnya.

Wujud yang pertama adalah wujud yang terjadi dari sesuatu selain dirinya dan oleh sesuatu sebab penggerak serta dari suatu bahan tertentu, dan wujud ini dalam kewujudannya didahului oleh waktu.

Wujud yang kedua adalah wujud yang adanya tidak berasal dari maupun disebabkan oleh sesuatu yang lain serta tidak pula didahului oleh waktu. Wujud ini dinamakan qadim. Adanya wujud ini telah dibuktikan melalui burhan dan itulah Tuhan Yang Maha Agung, Penggerak sekalian yang ada, Pencipta, dan Pemelihara.

Adapun wujud jenis yang menengahi adalah wujud yang tidak berasal dari sesuatu serta tidak pula didahului oleh waktu tapi terwujud oleh suatu Penggerak. Inilah alam secaraa keseluruhannya. Semua golongan tadi sepakat adanya tiga sifat tersebut bagi alam. Karena para teolog Islam mengakui bahwa tidak mendahului alam, atau pengertian ini sebagai suatu kesimpulan yang tak terelakkan bagi mereka, sebab waktu menurut mereka ialah sesuatu yang menyertai gerak dan benda. Para teolog Islam juga sepakat dengan para filsuf klasik dalam pandangan bahwa waktu mendatang adalah tak terbatas begitu pula dalam wujud mendatang.[18]

Kemudian Ibnu Rusyd menyitir ayat al-Qur’an mengenai hal ini. “Dan Dialah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, dan Arsy (singgasana)-Nya ada di atas air” (QS. Hud: 7). Ayat ini dijadikan pegangan Ibnu Rusyd di dalam melandasi pendapatnya yang menyatakan bahwa “di sana telah ada sesuatu sebelum apa yang ada sekarang ini terwujud, yaitu tahta atau singgasana dan air, dan telah ada pula waktu sebelum adanya waktu sebelum adanya waktu yang kita kenal sekarang ini, yakni suatu periode waktu yang terkaitkan dengan bentuk (form) daripada apa yang ada ini, yaitu sejumlah gerakan benda-benda langit”.[19]

  1. Kebangkitan Jasmani

Menurut al-Ghazali, salah satu unsur yang menyebakan orang menjadi kafir adalah karena mengingkari adanya kebangkitan jasmani di akhirat kelak. Hal ini banyak terjadi di kalangan filsuf.

Ibnu Rusyd menyangkal pendapat al-Ghazali tersebut, karena kebangkitan jasmani telah tersiar lebih dari seribu tahun yang lalu (dari masanya), sedangkan usia filsafat kurang dari masa itu, di mana orang pertama-tama mengatakan adanya kebangkitan jasmani ialah nabi-nabi terdahulu dari Kitab Zabur, maupun Injil.

Bagi orang yang mengimani syara’, maka mereka sepakat bahwa dasar-dasar dari syariat adalah harus diterima saja, karena bukti tentang wajibnya amalan tidak lain hanya wujudnya keutamaan-keutamaan yang diperoleh dari perbuatan akhlak dan amalan. Maka jelas pula bagi pendapat yang dikemukakan oleh para filsuf dalam masalah syariat, yaitu bahwa dasar-dasar amalan serta perbuatan-perbuatan yang syah pada setiap agama harus diambil dari nabi-nabi, dan di antara perbuatan-perbuatan tersebut yang paling baik ialah yang lebih banyak memberikan dorongan kepada orang banyak untuk melakukan amalan-amalan yang utama, seperti shalat dalam Islam yang dapat menjauhkan kemungkaran dan lebih baik daripada shalat (kebaktian) yang ditentukan agama lain, karena faktor-faktor tertentu, seperti bilangan rakaat, waktu pelaksanaan, bacaan, bersuci dan lain-lain.

Demikian pula dalam masalah kebangkitan jasmani di akhirat. Islam dalam masalah ini lebih banyak mendorong kepada amalan-amalan utama. Oleh karena itu pengambaran terhadap kebangkitan jasmani itu dengan gambaran-gambaran materiil lebih baik daripada pengggambaran-penggambaran rohani seperti yang digambarkan oleh syara’ bahwa surga diperuntukkan untuk orang-orang yang takwa dengan sungai yang mengalir di bawahnya.

       Ini semua menunjukkan bahwa alam akhirat adalah alam lain yang lebih tinggi daripada alam dunia, dan adanya saat fase yang lebih utama daripada fase di dunia. Maka Menganggap tujuan hidup manusia hanya mencapai kelezatan dzahir saja termasuk perbuatan orang-orang zindik.

  1. Kerasulan Nabi

Berbeda dengan ulama’ ilmu kalam, menurut Ibnu Rusyd, mu’jizat ada dua macam yakni,

  • Mu’jizat Luaran (al-Karrami), yakni mu’jizat yang sesuai dengan sifat mengapa seorang nabi disebut nabi, seperti menyembuhkan penyakit, dan membelah lautan.
  • Mu’jizat Sesuai (al-Immasib) dengan sifat kenabian tersebut, yakni syari’at yang dibawanya untuk kemaslahatan manusia.

Mu’jizat yang yang pertama sebenarnya hanya menjadi tanda penguat tentang adanya kerasulan. Dan mu’jizat ini adalah sebagai jalan keimanan orang awwam. Sedangkan mu’jizat yang kedua adalah merupakan tanda kerasulan yang sebenarnya, dan mu’jizat terakhir ini sebagai jalan keimanan bagi para ulama’ sekaligus orang awwam dengan kadar kemampuan akal yang dimilikinya. Di sini Ibnu Rusyd menonjolkan rasionalismenya.[20]


[1] Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), cet.I, hal. 192.

[2] Ibid, hlm. 192.

[3] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), cet.I, hlm. 284.

[4] Ibid, hlm. 286.

[5] Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan IAIN Walisongo Semarang, 2007), cet.I,  hlm. 17-18.

[6] A. Mustofa, op. cit.., hlm. 287.

[7] Ibid, hlm. 288.

[8] Ibid, hlm. 289.

[9] Ibid.

[10] Ahmad Daudy (ed), Segi-Segi Pemikiran Falsafi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), cet.I, hlm. 10-11.

[11] Ibid, hlm. 11.

[12] A. Mustofa, op. cit., hlm. 289

[13] Ibid, hlm. 290.

[14] Ibid.

[15] Ibid, hlm. 291.

[16] Ahmad Daudy (ed), op. cit., hlm. 22-23.

[17] A. Mustofa, op. cit., hlm. 294.

[18] Ibid, hlm. 297-296.

[19] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam (Abad Pertengahan), Amin Abdullah (penerj), (Jakarta: Rajawali, 1989), cet.I, hlm. 36.

[20] A. Mustofa, op. cit. hlm. 304-307.

Tinggalkan Komentar