Af’al al-Madhi dan Af’al adz-Dzamm (ni’ma wa bi’sa, habbadza)

Af’al al-Madhi dan Af’al adz-Dzamm (ni’ma wa bi’sa, habbadza)

Di dalam kitab-kitab yang membahas ilmu nahwu, ada kalanya judul yang membahas kedua fiil ini diberi judul “Ni’ma wa Bi’sa (نِعْمَ وَبِئْسَ)” dan adakalanya di kitab yang lain membahas kedua fiil ini dalam judul “Af’al al-Madhi wa Af’al adz-Dzamm (أَفْعَالُ الْمَدْحِ وَأَفْعَالُ الذَّمِّ)“. Dan hal ini tidak menjadi masalah karena keduanya sama saja.

Daftar Isi:

Af’al al-Madhi (أَفْعَالُ الْمَدْحِ)

Af’al al-Madhi adalah fiil yang digunakan untuk menunjukkan arti pujian yang mana susunan jumlah-nya merupakan insyaiyyah ghairu thalabiyyah dan bukan khabariyah.

(Yang dimaksud insyaiyyah ghairu thalabiyyah yakni berarti ia tidak memiliki kemungkinan kebenaran atau kebohongan di dalamnya namun tidak juga memiliki tuntutan. Maka dari itu, af’alal-madhi tidak termasuk jumlah khabariyah yang memungkinkan adanya kebenaran dan kebohongan di dalamnya.)

Adapun fiil yang termasuk af’al al-madhi adalah:

نِعْمَ

حَبَّ

حَبَّذَا

Contoh:

نِعْمَ الرَّجُلُ خَالِدٌ

Sebaik-baik pria adalah Khalid

(arti dari contoh di atas tidak sama dengan ‘Khalid adalah Pria yang paling baik’ karena ni’ma itu bukan af’alu at-tafdlil yang mengunggulkan satu dengan yang lain. Yang benar adalah ungkapan pujian atas kebaikan Khalid, jadi artinya lebih seperti ‘Baiknya Khalid sebagai lelaki’ atau ‘Hebatnya lelaki itu! Ialah Khalid’)

Af’al adz-Dzamm (أَفْعَالُ الذَّمِّ)

Sedangkan af’al adz-Dzamm adalah fiil yang digunakan untuk menunjukkan arti celaan yang mana susunan jumlah-nya merupakan insyaiyyah ghairu thalabiyyah dan bukan khabariyah.

Adapun fiil yang termasuk af’al adz-Dzam adalah:

بِئْسَ

سَاءَ

لَا حَبَّذَا

Contoh:

بِئْسَ الرَّجُلُ فُلَانٌ

Sejelek jelek pria adalah Fulan

(arti dari contoh di atas tidak sama dengan ‘Fulan adalah Pria yang paling jelek’ karena bi’sa bukan af’al at-tafdlil. Yang benar adalah ungkapan celaan atas kejelekan Fulan, jadi artinya lebih seperti ‘Jeleknya Khalid sebagai lelaki’ atau ‘Jeleknya lelaki itu! Ialah Si Fulan’)

Baik af’al al-madhi dan af’al adz-Dzamm keduanya termasuk fiil ghairu mutasharrif, sehingga ia tidak bisa ditashrif. Kedua fiil ini hanya memiliki bentuk fiil madli saja.

Penjelasan mengenai fiil نِعْمَ وَبِئْسَ وَسَاءَ

نِعْمَ (ni’ma) seperti penjelasan sebelumnya adalah fiil yang digunakan untuk melontarkan pujian, sedangkan بِئْسَ dan سَاءَ (bi’sa dan sāa) adalah fiil yang digunakan untuk melontarkan celaan.

Masing-masing fiil ini memerlukan dua hal yakni: fa’il dan makhshush bil madhi (jika ia af’al al-madhi) atau makhshush bil dzamm (jika ia af’al al-Dzamm). Untuk lebih jelasnya silahkan lihat contoh berikut:

Afa’al al-Madhi dan Af’al adz-Dzamm (ni’ma wa bi’sa, habbadza)

نِعْمَ الرَّجُلُ خَالِدٌ

Dalam contoh di atas, ni’ma merupakan af’al al-madhi, sedangkan ar-rajulu adalah failnya sedangkan khalidun adalah makhshush bi al-madhi.

Begitu juga dengan contoh بِئْسَ الرَّجُلُ فُلَانٌ

Bi’sa adalah af’al adz-Dzamm dan ar-rajulu  adalah failnya sedangkan fulanun adalah makhshush bi adz-Dzamm.

Asal Mula Bentuk Fiil نِعْمَ وَبِئْسَ وَسَاءَ

Mungkin Anda akan sulit membayangkan adanya fiil seperti نِعْمَ وَبِئْسَ dimana ia berwazan فِعْلَ (fi’la). Namun hal itu akan tercerahkan ketika mengetahui asal muasal dari fiil tersebut.

نِعْمَ (ni’ma), asal muasalnya adalah manqul (dipindah) dari نَعِمَ (na’ima) yang berarti إِذَا أَصَابَ النِّعْمَةَ (mendapat nikmat).  Sedangkan بِئْسَ merupakan manqul dari بَئِسَ (baisa) yang artinya إِذَا أَصَابَ بَئْسًا (mendapat keburukan). Karena bentuk نِعْمَ وَبِئْسَ menyerupai huruf maka kedua fiil ini tidak mutasharrif

Adapun سَاءَ (sāa) merupakan manqul dari سَاءَ يَسُوْءُ سَوَاءً yang berarti إِذَا قَبُحَ (jelek). Namun karena sāa sudah dinukil/dipindahkan untuk menunjukkan dzamm (celaan) maka ia tidak bisa ditashrif lagi sebagaimana bi’sa.

نِعْمَ وَبِئْسَ (ni’ma dan bi’sa) sendiri memiliki empat lughat (bahasa). Antara lain:

  1. نِعْمَ وَبِئْسَ

Lughat ini adalah yang paling fashih/afshah. Ialah bahasa yang digunakan dalam al-Quran al-Karim.

  1. نِعِمَ وَبِئِسَ

Ini adalah versi lughat yang lain dari نِعْمَ وَبِئْسَ yakni dengan membaca kasrah pada fa’ dan ‘ain fiil-nya. Namun نِعِمَ biasanya setelahnya terdapat مَا. Sebagaimana contoh pada ayat al-Quran (An-Nisa:58):

نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ

  1. نَعْمَ وَبَئْسَ

Ini adalah versi lughat yang lain dari نِعْمَ وَبِئْسَ yakni dengan membaca fathah pada fa’ fiil dan sukun pada ‘ain fiil-nya.

  1. نَعِمَ وَبَئِسَ

Adapun na’ima dan baisa ini sama dengan asal fiil-nya.

حَبَّ حَبَّذَا لَا حَبَّذَا (habba, habbadzā dan lā habbadzā)

Habba dan habbadzā juga adalah dua fiil yang digunakan untuk melontarkan pujian (Af’al al-Madhi).

Habba berasal dari habuba (حَبُبَ) yang bermakna ‘menjadi dicintai’ (صَارَ مَحْبُوْبًا). Hal ini pula menjadi alasan diperbolehkannya membaca dlummah pada ha’-nya habba menjadi hubba. Dan hubba secara umum banyak digunakan.

نحو:

حُبَّ زَيْدٌ رَجُلًا

Al-Makhshush bi al-madhi pada habba adalah fa’il-nya itu sendiri. Maka pada contoh

حَبَّ زُهَيْرٌ رَجُلًا

زُهَيْرٌ adalah fail sekaligus al-makshshush.

Terkadang fail-nya habba ini kemasukan huruf jarr ba’ zaidah. Seperti dalam syair berikut:

فَقُلْتُ اقْتُلُوْهَا عَنْكُمْ بِمِزَاجِهَا # وَحُبَّ بِهَا مَقْتُوْلَةً حِيْنَ تُقْتَلُ

Maka aku berkata: “Musnahkanlah khamr itu dari kalian dengan mencampurkannya (dengan air), alangkah baik khamr dengan dimusnahkan manakala benar-benar dimusnahkan”

Adapun habbadzā (حَبَّذَا) tersusun dari habba (حَبَّ) dan dza isim isyarah (ذَا).

Contohnya:

حَبَّذَا رَجُلًا خَالِدٌ

Hebat ini! Yakni lelaki, Khalid./Alangkah Khalid ini Lelaki Hebat!

Habba adalah fiil madli, dzā adalah isim isyarah, lalu rajulan adalah tamyiz dan khalidun adalah mubtada’ muakkhar.

Tidak diperbolehkan mendahulukan makhshush bil madhi-nya atau tamyiznya. Maka contoh seperti di bawah ini tidak diperbolehkan:

خَالِدٌ حَبَّذَا رَجُلًا ᵡ

رَجُلًا حَبَّذَا خَالِدٌ ᵡ

Adapun mendahulukan tamyiz atas makhshush bil madhi, maka boleh seperti halnya contoh pertama.

Dzā pada habbadzā diharuskan mufrad dan mudzakkar di segala kondisi, walaupun makhshush-nya tidak demikian. Contohnya seperti dalam syair bahr khafif berikut:

 حَبَّذَا أَنْتُمَا خَلِيْلَيَّ إِنْ لَمْ # تَعْذُلَانِيْ فِيْ دَمْعِيَ الْمُهْرَاقِ

Alangkah baiknya kalian berdua ini, kedua kekasihku, jikalau kalian berdua tidak mencelaku saat tangisku bercucuran

Dalam contoh tersebut, makhshush bil madhi-nya berbentuk mutsanna (antumā) dan dzā tetap dalam bentuk mufrad.

(لَا) terkadang memasuki habbadzā (حَبَّذَا) sehingga seperti halnya bi’sa (بِئْسَ), ia menunjukkan makna adz-dzamm (celaan).

Contoh:

لَا حَبَّذَا هِنْدٌ

Hindun itu tidak baik ini!

(Dalam contoh tersebut dzā tetap ifrad dan mudzakkar walaupun al-makhshush-nya muannats sebagaimana hukum yang telah dijelaskan sebelumnya.)

Adapun nawasikh al-mubtada wa al-khabar (seperti kana wa akhwatuha, dhanna wa akhwatuha, dan inna wa akhwatuha) tidak diperbolehkan memasuki makhsush-nya habbadzā. Maka contoh seperti di bawah ini tidak boleh diucapkan:

حَبَّذَا رَجُلًا كَانَ خَالِدٌ X

حَبَّذَا رَجُلًا ظَنَنْتُ خَالِدًا X

Hukum Fail-nya Af’al al-Madhi dan Af’al adz-Dzamm (ni’ma wa bi’sa dll)

Fa’il dari fi’il ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:

Yang pertama, Isim dhahir yang dimakrifatkan dengan al jinsiyyah (أل الجنسية) yang secara haqiqi ber-faidah istighraq (mencakup semua jins), atau isim yang di-idlafah-kan pada isim bersama al jinsiyyah, dan atau mudlaf pada isim yang di-idlafah-kan pada isim bersama al-jinsiyyah.

Contoh yang failnya ma’rifat dengan al jinsiyah

نِعْمَ التِّلْمِيْذُ زُهَيْرٌ

بِئْسَ الشَّرَابُ الْخَمْرُ

Contoh yang failnya di-idlafah-kan pada isim bersama al-jinsiyyah

وَلَنِعْمَ دَارُ الْمُتَّقِيْنَ (النحل: ٣٠)

فَبِئْسَ مَثْوَى الْمُتَكَبِّرِيْنَ (النحل: ٢٩)

Contoh yang failnya mudlof pada isim yang di-idlafahkan pada isim bersama al jinsiyyah

نِعْمَ حَكِيْمُ شُعَرَاءِ الْجَاهِلِيَّةِ زُهَيْرٌ

Yang kedua, failnya berupa isim dlomir mustatir yang ditafsirkan dengan isim nakirah yang dibaca nashab dan menjadi tamyiz.

Tamyiz ini wajib diakhirkan dari fiil dan didahulukan dari makhshush serta mengikuti keduanya dari segi ifrad, tatsniyah, jama’, mudzakkar dan muannats-nya.

Adapun makhshush bil madhi atau bil dzamm di sini dibaca rafa’ dan menjadi mubtada’ sedangkan jumlah sebelumnya menjadai khabar muqaddam.

Contoh:

نِعْمَ رَجُلًا زُهَيْرٌ

Terkadang isim nakirah yang menjadi tamyiz tersebut menggunakan maa (مَا) yang mana ia juga isim nakirah bermakna syaiun (شَيْءٌ) atau sesuatu. Contoh:

نِعِمَّا التَقْوَى

إِنْ تُبْدُوْا الصَّدَقٰتِ فَنِعِمَّا هِيَ (البقرة: ٢٧١)

نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ (النساء: ٥٨)

Ketika fail-nya af’al al-madhi dan af’al al-dzamm berupa dlomir maka ada tiga hal yang wajib di dalamnya, yakni:

Yang pertama dan kedua, harus mufrad dan mustatir.

Yang ketiga, dlomir tersebut harus ditafsirkan oleh isim nakiroh yang disebutkan setelahnya dan dibaca nashab menjadi tamyiz.

Ketika fail-nya berupa muannats maka boleh fiil diberi ta’ ta’nits atau tidak. Contoh:

نِعْمَتِ الْمَرْأَةُ فَاطِمَةُ

نِعْمَ الْمَرْأَةُ فَاطِمَةُ

Boleh juga meniadakan ta’ ta’nits karena sudah ada tamyiz mufassar. Contoh:

نِعْمَ امْرَأَةً فَاطِمَةُ

Demikian pula sebagaimana makhsus muannats dengan fail mudzakkar. Maka boleh menggunakan ta’ ta’nits pada fiilnya. Contoh:

نِعْمَ / نِعْمَتِ الثَّوَابُ الْجَنَّةُ

بِئْسَ / بِئْسَتِ الشَّرَابُ الْخَمْرُ

Hukum Makhsush bi al-madhi dan Makhsush bil adz-Dzamm-nya Af’al al-Madhi dan Af’al adz-Dzamm

Makhshush bil madhi maupun bil dzamm haruslah ma’rifat sebagaimana contoh yang sudah dibahas sebelumnya. Isim nakirah yang bisa menjadi makhshush hanyalah nakirah yang mufidah (memiliki naat atau shifat), seperti contoh:

نِعْمَ الرَّجُلُ رَجُلٌ يُحَاسِبُ نَفْسَهُ

Sebaik lelaki yakni lelaki yang mengintrospeksi diri

Tidak boleh membuat makhshush dari isim nakirah yang tidak mufidah seperti:

نِعْمَ العَامِلُ رَجُلٌ

Makhshush ini hukumnya dibaca rofa’ selamanya. Adakalanya ia menjadi mubtada’ dan jumlah sebelumnya adalah khabarnya.

Adakalanya juga ia menjadi khabar dari mubtada’ yang harus dihapus dan tidak boleh disebut. Taqdirnya seperti contoh berikut:

نِعْمَ الرَّجُلُ زُهَيْرٌ

Taqdirnya yaitu

نِعْمَ الرَّجُلُ هُوَ زُهَيْرٌ

Namun terkadang makhshush dibuang ketika ada dalil yang menunjukkannya. Seperti halnya Allah berfirman:

نِعْمَ الْعَبْدُ ۖ إِنَّهٗ أَوَّابٌ (ص: ٣٠)

أي: نعم العبد أيوب

وَالْأَرْضَ فَرَشْنٰهَا فَنِعْمَ الْمَاهِدُوْنَ (الذاريات: ٤٨)

أي: فنعم الماهدون نحنُ

Salah satu haknya makhshush adalah sejenis dengan fail. Jika ia tidak sejenis dengan fail maka ia menjadi majaz bi al-hadzfi dalam kalam. Langsung saja pada contohnya yaitu:

نِعَمْ عَمَلًا زُهَيْرٌ

Sebaik perbuatan! Yakni (perbuatan) Zuhair

Contoh di atas memiliki mudlof ilaih yang dibuang serta telah digantikan oleh mudlofnya, taqdirnya adalah:

نِعَمْ عَمَلًا عَمَلُ زُهَيْرٍ

Sebaik perbuatan! Yakni perbuatan Zuhair

Begitu juga contoh ayat pada al-Quran:

سَاٙءَ مَثَلًا الْقَوْمُ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِئَايٰتِنَا (الأعراف: ١٧٧)

Taqdirnya adalah:

سَاٙءَ مَثَلًا مَثَلُ الْقَوْمِ

Makhshush boleh bertemu dengan amil nawasikh, baik makhshush-nya didahulukan atau diakhirkan.

Contoh yang didahulukan:

كَانَ زُهَيْرٌ نِعْمَ الشَّاعِرُ

Contoh yang diakhirkan:

نِعْمَ الرَّجُلُ ظَنَنْتُ سَعِيْدًا

Hukum tamyiz pada bab ini (Tamyiz Ni’ma wa Bi’sa)

Hukum tamyiz pada bab ni’ma wa bi’sa ada 5, yaitu:

  1. Tidak boleh didahulukan dalam artian tamyiz terletak setelah fiil. Maka contoh berikut ini adalah salah:

رَجُلًا نِعْمَ زُهَيْرٌ (ᵡ)

Yang benar adalah

نِعْمَ رَجُلًا زُهَيْرٌ

Dan terkadang tamyiz diakhirkan dan ditaruh di belakang namun hukumnya langka (nadir). Contoh:

نِعْمَ زُهَيْرٌ رَجُلًا

  1. Tamyiz harus sesuai dengan makhshush dari segi mufrad, tatsniyah, jama’, mudzakkar dan muannats-nya. Contoh:

نِعْمَ رَجُلًا زُهَيْرٌ

نِعْمَ رَجُلَيْنِ زُهَيْرٌ وَأَخُوْهُ

نِعْمَ رِجَالًا أَنْتُمْ

نِعْمَتْ فَتَاةً فَاطِمَةُ

نِعْمَتْ فَتَاتَيْنِ فَاطِمَةُ وَسُعَادُ

نِعْمَتْ فَتَيَاتٍ الْمُجْتَهِدَاتُ

  1. Tamyiz merupakan isim yang bisa menerima al (ال). Karena ia sebenarnya dipindahkan dari fail bersama al.

Maka contoh:

نِعْمَ رَجُلًا زُهَيْرٌ

adalah pindahan dari contoh:

نِعْمَ الرَّجُلُ زُهَيْرٌ

Tamyiz tidak boleh dibuang ketika failnya fiil ini berupa dlomir yang kembali kepadanya.

Namun terkadang ia juga dibuang. Akan tetapi hukumnya langka (nadir). Sebagaimana hadits Nabi SAW:

مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ

Barang siapa berwudlu di hari Jumat maka ia telah mengambil kesunnahan dan sebaik kesunahan ialah wudlu.

أي فَبِالسُّنَّةِ أَخَذَ وَنِعْمَتْ سُنَّةً سُنَّةُ الْوُضُوْءِ

Demikian pembahasan mengenai Af’al al-Madhi dan Af’al adz-Dzamm atau Bab Ni’ma wa Bi’sa baik dari segi fiilnya, failnya, makhshushnya dan tamyiznya. Semoga bermanfaat bagi sahabat-sahabat semua.

Tinggalkan Komentar