Bagaimana Sejarah, Asal Mula, dan Pencetus/Penemu Ilmu Nahwu?
Ilmu Nahwu kerap dipelajari di dunia pesantren. Ia sangat penting sekali karena dengan mempelajarinya, santri bisa membaca kitab yang gundul (tidak berharakat) tentu saja dengan dibantu ilmu Shorof dan penguasaan kosa kata bahasa Arab.
Nahwu sering disebut sebagai ilmu alat karena ilmu nahwu menjadi alat perantara menuju ilmu lain seperti Fiqh, Tasawwuf, Tafsir dll. Maka dari itu, ilmu nahwu biasanya dipelajari pertama kali oleh santri sebelum ke ranah keilmuan yang lain.
Siapakah Penemu Ilmu Nahwu?
Pencetus Ilmu Nahwu adalah Abu al-Aswad ad-Duali (ابو الأسود الدؤلى). Beliau lahir di kota Kuffah lalu tinggal di kota Bashrah dan meninggal di sana. Dua kota tersebut sekarang ada di negara Irak. Beliau menjadi orang pertama yang mencetuskan ilmu nahwu atas perintah Sayyidina Ali karramallahu wajhahu.
Semua bermula ketika Abu al-Aswad ad-duali bersama putrinya di teras rumah sembari menikmati pemandangan langit yang gelap dengan bintang-bintang yang menghiasinya. Lalu putrinya tersebut bermaksud untuk memuji keindahan pemandangan langit itu. Berkatalah sang putri kepada ayahnya:
Putri: يا أبت ما أحسنُ السماءِ (Yaa abati, maa ahsanus samaai)
Sebagai catatan, arti dari perkataan tersebut adalah “Wahai Ayahku, Apa yang paling indah dari langit?”. Padahal yang dimaksud oleh putrinya adalah kata-kata takjub “Wahai Ayahku, betapa indahnya langit itu” dengan bahasa yang benar “Maa ahsana as-sama’a“, bukan pertanyaan seperti tadi “Maa ahsana as-sama’i“. Lantas saja ayahnya menjawab.
Ayah: “Indahnya langit adalah bintang-bintangnya.”
Putri: “Wahai Ayahku, bukan seperti itu yang ku maksud. Melainkan yang ku maksud adalah ketakjubanku akan keindahan langit!”.
Dari sini ayahnya mulai paham lalu ia memperbaiki dan menasehati putrinya.
Ayah: “Ucapkanlah maa ahsanas samaa a (ما أحسنَ السماءَ) dengan membaca fathah.”
Lalu keesokan harinya Abu al-Aswad menemui Sayyidina Ali karamallahu wajhahu guna melaporkan kejadian semalam. Lalu terjadilah percakapan di antara keduanya.
Abu al-Aswad: “Wahai Amir al-Mu’minin, telah terjadi pada putriku suatu hal yang tidak aku mengerti mungkin engkau bisa memberi jalan keluarnya”
Kemudian Abu al-Aswad menceritakan kejadian semalam bersama putrinya. Kemudian Sayyidina Ali pun menjawab.
Ali: “Ketahuilah Wahai Abu al-Aswad, semua itu terjadi karena bercampurnya orang ‘ajam (non-arab) dengan orang arab.“
Lalu Sayyidina Ali menyuruh Abu al-Aswad untuk membeli kertas. Selang beberapa hari kemudian, beliau mengajarkan Abu al-Aswad pembagian-pembagian kalam, bahwasanya kalam itu ada isim, fi’il, dan huruf. Sayyidina Ali juga mengajarkan kepadanya kalimat-kalimat dari bab ta’ajub.
Ilmu Nahwu pun kian berkembang setelah itu, banyak ulama’ yang mengajarkannya hingga terdapat dua madzhab di dalamnya, yakni madzhab kuffah dan bashrah. Semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam maka semakin besar pula kebersinggungan orang arab dan ajam sehingga menuntut agar ilmu nahwu bisa dipelajari oleh orang banyak. Tak heran banyak kitab-kitab ilmu nahwu yang dikarang oleh orang non-arab (ajam) seperti al-Ajrumiyyah (jurumiyyah) yang dikarang oleh Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Dawud Al-Shinhâji (Maroko) dan Alfiyyah Ibn Malik oleh Muhammad Ibn Abdillah Ibn Malik (Andalusia)
Dibalik Penamaan Ilmu Nahwu
Lantas mengapa ilmu nahwu disebut nahwu adalah karena isyarat dari Sayyidina Ali yang berkata kepada Abu al-Aswad “Samakanlah contoh ini Wahai Abu al-Aswad (انح هذا النحو يا أبا الأسود)”. Yang dimaksud adalah agar membuat contoh-contoh lain yang sama dengan contoh yang sudah diberikan. Lantas kata nahwu tersebut lah yang diambil sebagai nama ilmu ini sebagai bentuk tabarruk kepada Sayyidina Ali karramallahu wajhahu.
Begitulah kurang lebihnya sejarah asal mula Ilmu Nahwu, seterusnya ilmu Nahwu berkembang dengan adanya ulama’-ulama’ selanjutnya yang meneruskan pembahasan ilmu tersebut dan dituangkan di dalam kitab. Beberapa kitab yang membahas ilmu nahwu adalah al-Ajrumiyyah, al-‘Imrithi, dan Alfiyah Ibnu Malik. Kitab-kitab tersebut kerap ditemui dan dipelajari oleh para santri di pondok pesantren. Masih banyak lagi kitab-kitab lainnya yang membahas ilmu Nahwu seperti Jazariyah, Jami’ ad-Durus al-‘Arabiyah, al-Kannasy, Kitab Sibawaihi dll.