Dua Fi’il Ta’ajjub – Fiil yang digunakan untuk menunjukkan Ketakjuban

Dua Fi’il Ta’ajjub – Fiil yang digunakan untuk menunjukkan Ketakjuban

Dua Fi’il Ta’ajjub – Fiil yang digunakan untuk menunjukkan Ketakjuban

Pengertian Taajjub (التَّعَجُّبُ)

Di dalam Jami’u ad-Durus al-Arabiyah, diterangkan bahwa ta’ajjub adalah menganggap agung perbuatan pelaku (fi’lu fa’il) secara dhohirnya keutamaan. Sebagaimana ta’ajjub diterangkan dalam Hudlori, ta’ajjub adalah menganggap agung adanya kelebihan dalam menyifati fail yang mana kelebihan tersebut tidak jelas sebabnya, sehingga dengan kelebihan tersebut ‘muta’ajjab minhu’ atau sesuatu yang ditakjubkan berbeda dengan pembandingnya, dan sedikit yang bisa membandingi.

Sebagai contoh, ketika seseorang takjub/kagum/heran kepada wanita yang sangat cantik, dan ia berkata:

مَا أَجْمَلَ تِلْكَ الْمَرْأَةَ

Betapa cantiknya wanita itu

Maka, seseorang tersebut menganggap agung, atau menganggap adanya sesuatu hal yang luar biasa pada kecantikan wanita tersebut, sehingga orang tersebut kagum. Jikalau pun kecantikannya biasa saja dan menyamai pada kecantikan wanita lain maka orang tersebut tidak merasa heran/kagum.

Dan orang tersebut tidak mengetahui penyebab dari kecantikan tersebut karena sesuatu yang sudah jelas penyebabnya tidak bisa dikatakan ta’ajjub.

Sebagaimana Allah subhanahu wa taala yang tidak memiliki ta’ajjub, karena Allah sudah pasti mengetahui penyebab atas segala sesuatu. Sehingga semua ta’ajjub dari Allah yang ada pada al-Qur’an adalah bersifat majazi. Seperti dalam ayat:

كَيْفَ تَكْفُرُوْنَ بِاللّٰهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ

Bagaimana kalian kufur pada Allah? Padahal kalian mati lalu Aku menghidupkan kalian? (Al-Baqarah:28)

Contoh ta’ajjub yang lain adalah sebagai berikut:

سُبْحَانَ اللّٰهِ! الْمُؤْمِنُ لَا يَنْجُسُ حَيًّا وَلَا مَيِّتًا

Maha suci Allah! Seorang mukmin tidaklah najis baik ia masih hidup maupun mati. (al-hadits)

لِلّٰهِ دَرُّهُ فَارِسًا

Bagus! Penunggang kuda itu (karena kelihaiannya)

لِلّٰهِ أَنْتَ

Hebat Kamu!

Lillahi darruhu’ dan ‘lillahi’ merupakan kata umum untuk menunjukkan ta’ajjub atau kekaguman

وَاهَا لِسَلْمَى

Wah, Salma!

Waha’ merupakan isim fiil yang berarti ‘a’jabu’ atau aku kagum.

يَا لَكَ مِنْ رَجُلٍ

Hebatnya pria itu!

Yaa laka’  merupakan  kata yang umum untuk menunjukkan ta’ajjub/kekaguman juga.

حَسْبُكَ بِخَالِدٍ رَجُلًا

Cukuplah bagimu Kholid sebagai sosok/pria/tokoh

Kesimpulannya setiap kalimah yang menunjukkan tanda takjub, heran, atau kagum bisa dikatakan ta’ajjub. Namun hanya dua bentuk/shighot saja yang mempunyai dasar bahasa atau yang istilahnya yaitu maudlu’ (mempunyai pakem atau kaidah) atau mubawwab (dibahas di dalam bab).

Dua shighot tersebut adalah yang disebut sebagai dua fiil taajjub ‘فِعْلَا التَّعَجُّبِ’ yang mengikuti wazan ‘maa af’ala (مَا أَفْعَلَ)’ dan ‘af’il bi (أَفْعِلْ بِ)’.

Dua Shighot Fi’il Taajjub

Fiil Taajjub memiliki dua shighot, yakni:

  1. مَا أَفْعَلَ

Shighot Ta’ajjub yang pertama adalah ‘مَا أَفْعَلَ’. Adapun contohnya yaitu:

مَا أَحْسَنَ الْعِلْمَ

Betapa bagusnya pengetahuan itu

  1. أَفْعِلْ بِ

Shighot Ta’ajjub yang kedua adalah ‘أَفْعِلْ بِ’. Adapun contohnya yaitu:

أَقْبِحْ بِالْجَهْلِ

Betapa tercelanya kebodohan itu

Baik kedua shigot tersebut merupakan fiil madli. Walaupun shighot kedua memiliki bentuk/shighot amr namun ia bukanlah fiil amr, melainkan fiil madli.

Pendapat mengenai Maa Ta’ajjubiyyah ‘ما التعجّبيّة’

Ulama berbeda pendapat mengenai ‘maa ta’ajjubiyah’. Inilah pendapat ulama mengenai hal tersebut:

Imam Sibawaih berpendapat bahwa ‘maa ta’ajjubiyah’ merupakan nakiroh tammah, bukan nakiroh yang disifati, hal itu sesuai dengan taajjub yang sebabnya tidak jelas. Sehingga ‘maa/مَا’ men-taqdir-kan ‘syaiun/شَيْءٌ’. Sehingga مَا أَحْسَنَ الْعِلْمَ taqdir-nya adalah شَيْءٌ أَحْسَنَ الْعِلْمَ.

Adapun Imam Faro’ dan Ulama Kuffah berpendapat bahwa ‘maa ta’ajjubiyyah’ merupakan istifham yang bercampur dengan ta’ajjub yang men-taqdirkan ‘أَيُّ شَيْءٍ’, dan jumlah setelahnya menjadi khobar. Sehingga مَا أَحْسَنَ الْعِلْمَ taqdir-nya adalah أَيُّ شَيْءٍ أَحْسَنَ الْعِلْمَ.

Sedangkan Imam Ahfasy berpendapat bahwa ia merupakan isim maushul, sehingga jumlah setelahnya adalah shilah-nya. Untuk mubtada’-nya wajib dibuang, taqdir mubtada’-nya yaitu شَيْءٌ عَظِيْمٌ. Sehingga مَا أَحْسَنَ الْعِلْمَ taqdir-nya adalah شَيْءٌ عَظِيْم مَا أَحْسَنَ الْعِلْمَ.

Pendapat mengenai af’alaأَفْعَلَ’

Ulama Basrah, Imam Ibnu Malik dan Al-Kisai berpendapat bahwa ‘أَفْعَلَ’ merupakan kalimah fiil. Hal ini berdasarkan bahwa ketika ‘أَفْعَلَ’ bersama ya’ mutakallim maka harus disertai nun wiqoyah. Sebagai contoh:

مَا أَفْقَرَنِيْ إِلٰى عَفْوِ اللّٰهِ

Betapa membutuhkannya aku pada ampunan Allah

Sedangkan ulama’ kuffah berpendapat bahwa ‘أَفْعَلَ’ adalah kalimah isim, karena dalam syair ada af’ala yang di-tashghir. Seperti dalam penggalan bait berikut:

يَا مَا أُمَيْلِحَ غِزْلَانًا شَدَنَّ لَنَا

‘Wahai (temanku) betapa cantiknya anak-anak kijang yang kuat dan tumbuh kedua tanduknya bagi kita’

Pendapat mengenai ‘أَفْعِلْ بِ’

Para ulama sepakat bahwa ‘أَفْعِلْ’ merupakan fiil. Hal ini dikarenakan ia bisa kemasukan nun taukid. Namun mereka berbeda pendapat mengenai apakah ia termasuk fiil madli ataukah fiil amr.

Adapun ulama Basrah berpendapat bahwa ‘أَفْعِلْ’ adalah fiil madli yang berbentuk amr. Ba’ ziyadah dan majrur-nya yang jatuh setelahnya menjadi fa’il dari fiil madli tersebut.

Berdasarkan pendapat di atas, contoh ‘أَقْبِحْ بِالْجَهْلِ’ berasal dari ‘أَقْبَحَ الْجَهْلُ’ yang memiliki makna ‘صَارَ الْجَهْلُ ذَا قُبْحٍ’ (kebodohan menjadi tercela). Lalu dari fiil madli ‘aqbaha’ dirubah bentuknya menjadi bentuk amr ‘aqbih’ agar memunculkan makna taajjub (insyau at-taajjub). Namun karena menyandarkan ‘aqbih’ dan ‘al-jahl’ dianggap tidak baik maka perlu ditambahkan ba’ supaya ‘al-jahl’ bentuknya adalah maf’ul bih yang dibaca jarr sebab huruf jarr tambahan. Sehingga menjadi ‘aqbih bi al-jahli’.

Sedangkan al-Faro’, az-Zujaj dan Zamakhsyari berpendapat bahwa ‘أَفْعِلْ’ adalah fiil amr secara makna dan lafadh, yang memiliki dlamir mustatir di dalamnya serta ba’ berfaidah ta’diyah.

Pembahasan Mengenai Mutaajjab Minhu (المُتَعَجَّبُ مِنْهُ)

Muta’ajjab minhu adalah sesuatu yang darinya ada yang dikagumi entah sifat atau sesuatu yang ia lakukan. Dalam contoh ‘مَا أَحْسَنَ الْعِلْمَ’, muta’ajjab minhu-nya adalah ‘الْعِلْمَ’.

Hukum muta’ajjab minhu pada shighot ‘مَا أَفْعَلَ’ adalah maf’ul dari af’ala sehingga ia dibaca nashab. Adapun hamzah dari af’ala itu untuk menunjukkan arti ta’diyah. Sehingga makna dari ‘مَا أَحْسَنَ الْعِلْمَ’ adalah ‘شَيْءٌ جَعَلَهُ حَسَنًا’ (sesuatu itu menjadikan ilmu bagus).

Sedangkan muta’ajjab minhu pada shighot ‘أَفْعِلْ بِ’ secara mahall merupakan fa’il dari af’il dan secara lafadh dibaca jarr karena didahului ba’ zaidah. Ba’ zaidah yang memasuki muta’ajjab minhu pada ‘أَفْعِلْ بِ’ tidak boleh dibuang walaupun ia tambahan karena ia adalah zaidah multazimah seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Syarat Shighot (Pembentukan) Fiil Ta’ajjub

Dalam pembentukan fiil ta’ajjub sebagaimana isim tafdhil, memiliki syarat-syarat sebagai berikut:

  1. hanya dibentuk dari fiil tsulatsi (fiil yang memiliki tiga huruf);
  2. mutsbit (tidak kemasukan huruf nafi);
  3. mutashorrif tam (tidak jamid);
  4. ma’lum (tidak majhul);
  5. bisa menerima arti lebih (tafdhil);
  6. dan tidak berasal dari shifat musyabbahah yang mengikuti wazan ‘af’ala/أَفْعَلَ’.

Fiil ta’ajjub harus dibentuk dari fiil yang memiliki tiga huruf seperti ‘حَسُنَ’, ‘قَبِحَ’ dan ‘عَلِمَ’. Sedangkan fiil yang hurufnya lebih dari tiga tidak bisa dijadikan fiil ta’ajjub seperti ‘دَحْرَجَ’, ‘انْطَلَقَ’ dan ‘اسْتَغْفَرَ’.

Begitu juga kalimah yang tidak memiliki fiil tidak bisa dijadikan fiil ta’ajjub seperti ‘الصَّخْرُ’, ‘الْحِمَارُ’ dan ‘الرَّجُلُ’.

Adapun yang dimaksud mutsbit adalah fiil ta’ajjub tidak berasal dari fiil yang di-nafi-kan seperti ‘مَا حَسُنَ’ yang berarti tidak bagus, dan ‘مَا طَالَ’ yang berarti tidak panjang.

Yang dimaksud syarat ketiga yakni mutashorrif tam yakni fiil ta’ajjub tidak bisa berasal dari fiil mutashorrif naqish dan fiil jamid.

Begitu juga fiil ta’ajjub tidak berasal dari fiil berbina’ majhul seperti ‘عُلِمَ’ yang berarti diketahui.

Maka tidak bisa seseorang membentuk fiil ta’ajjub dari nushira ‘نُصِرَ’ (ditolong). Kemudian orang tersebut berkata ‘مَا أَنْصَرَ زَيْدًا’

Hal ini agar tidak terjadi kerancuan antara fa’iliyyah dan maf’uliyyah-nya. Apakah orang itu takjub pada menolong-nya Zaid atau takjub pada tertolongnya Zaid.

Dan syarat yang kelima, fiil ta’ajjub harus bisa menerima arti lebih (قابل للتفضيل). Maka ‘مَاتَ’ yang berarti mati dan ‘صَامَ’ yang berarti berpuasa tidak bisa dijadikan fiil ta’ajjub.

Dan yang terakhir, fiil ta’ajjub disyaratkan tidak berasal dari shifat musyabbahah yang mengikuti wazan ‘af’ala/أَفْعَلَ’. Contohnya yaitu: أَحْمَرَ, أَعْرَجَ, أَكْحَلَ dan أَشْيَبُ.

Fiil yang tidak memenuhi syarat untuk dijadikan fiil ta’ajjub

Fiil yang tidak memenuhi syarat yang telah disebutkan di atas masih bisa dijadikan fiil ta’ajjub dengan menambahkan ‘أَشَدَّ/أَشْدِدْ’ atau ‘أَكْثَرَ/أَكْثِرْ’  dan semacamnya. Adapun fiil yang tidak memenuhi syarat tersebut didatangkan dalam bentuk mashdar-nya serta dibaca nashab setelah ‘أَشَدَّ’ atau dibaca jarr jika jatuh setelah ba’.

Contohnya sebagai berikut:

مَا أَشَدَّ إِيْمَانُهُ

Betapa kuat imannya

أَشْدِدْ بِابْتِهَاجِهِ

Betapa rajinnya ia

مَا أَكْثَرَ دَحْرَجَتُهُ

Betapa banyaknya ia terguling

أَكْثِرْ بِتَعْلِيْمِهِ

Betapa banyaknya ia mengajar

مَا أَبْلَغَ بِسَوَادِ عَيْنَيْهِ

Betapa hitamnya kedua matanya

أَبْلِغْ بِعَوْرِهِ

Betapa julingnya ia

مَا أَعْظَمَ انْطِلَاقُهُ

Betapa agung kepergiannya

Hukum-hukum mengenai dua fiil ta’ajjub

Berikut ini adalah hukum-hukum yang berhubungan mengenai dua fiil ta’ajjub, antara lain:

  1. Muta’ajjab minhu haruslah berupa isim ma’rifat atau isim nakirah yang maushuf (mukhtash/tertentu).

Hal ini agar faidah yang dituju tercapai, yakni ta’ajjub (takjub) pada keadaan seseorang tertentu.

Dan tidak bisa mutaajjab minhu berupa isim nakiroh semisal ‘مَا أَحْسَنَ رَجُلًا’ (betapa bagusnya seorang lelaki), karena tidak ada faidahnya.

Berbeda dengan ‘مَا أَحْسَنَ رَجُلًا يَفْعَلُ الْخَيْرَ’ (betapa bagusnya seorang lelaki yang melakukan kebaikan), maka boleh menggunakan muta’ajjab minhu dengan isim nakiroh maushuf seperti contoh tersebut karena faidah ta’ajjub tercapai.

  1. Muta’ajjab minhu boleh dibuang selagi kalam bisa dipahami tanpanya.

Contohnya yaitu:

أَسْمِعْ بِهِمْ وَأَبْصِرْ

Artinya: ‘Alangkah pekanya telinga mereka dan alangkah tajamnya penglihatan mereka’. (Maryam: 38)

Maksudnya yaitu ‘وَأَبْصِرْ بِهِمْ’.

Contoh yang lain yakni syair Sayyidina Ali karamallahu wajhahu

جَزَى اللّٰهُ عَنِّي وَالْجَزَاءُ بِفَضْلِهِ # رَبِيْعَةَ خَيْرًا مَا أَعَفَّ وَ أَكْرَمَا

اي مَا أَعَفَّهُمْ وَمَا أَكْرَمَهُمْ

Semoga Allah membalas untukku pada kaum Robiah dengan kebaikan sedangkan pembalasan itu adalah keutamaan-Nya, betapa terjaganya mereka dan betapa mulianya mereka.

  1. Ketika fiil ta’ajjub dibentuk dari fiil mu’tall ‘ain maka wajib di-shahih-kan ‘ain-nya tanpa di-’ilal.

Contohnya seperti:

مَا أَطْوَلَهُ

أَطْوِلْ بِهِ

Begitu juga dengan wajibnya memisah idghom fiil mudlo’af dalam wazan ‘af’il bi/أَفْعِلْ بِ’, contohnya seperti:

أَعْزِزْ عَلَيْنَا بِأَنْ تُفَارِقُنَا

أَشْدِدْ بِسَوَادِ عَيْنَيْهِ

  1. Jumlah ta’ajjubiyyah tidak bisa dirubah susunannya dengan taqdim, ta’khir, maupun fashl. Namun boleh memisah jumlah ta’ajjubiyyah dengan fashl (pemisah) berupa dharaf, jarr majrur (dengan syarat keduanya sama-sama ber-ta’alluq pada fi’il ta’ajjub), dan nida’.

Contoh jumlah ta’ajjubiyah terpisah dengan fashl dharaf adalah:

مَا أَجْمَلَ لَيْلَةَ التَّامِّ الْبَدْرَ

Alangkah indahnya bulan purnama di malam yang sempurna

Contoh jumlah ta’ajjubiyah terpisah dengan fashl jarr majrur adalah:

لِلّٰهِ دَرُّ بَنِي سُلَيْمٍ! مَا أَحْسَنَ فِي الْهَيْجَاءِ لِقَاءَهَا! وَأَكْرَمَ فِي اللَّزَبَاتِ عَطَاءَهَا! وَأَثْبَتَ فِي الْمُكَرَّمَاتِ بَقَاءَهَا!

Alangkah banyaknya kebaikan yang dilimpahkan Allah kepada Bani Sulaim, alangkah baiknya bertemu mereka dalam peperangan, alangkah banyaknya pemberian mereka dalam masa paceklik, dan alangkah teguhnya kedudukan mereka dalam hal yang mulia. (Amr Ibn Ma’di Karib)

Contoh jumlah ta’ajjubiyah terpisah dengan fashl nida’ adalah:

أَعْزِزْ عَلَيَّ, أَبَا الْيَقْظَانِ, أَنْ أَرَاكَ صَرِيْعًا مُجَدَّلًا

Alangkah bangganya diriku, Hai Abal Yaqdhan, manakala melihat dirimu terbanting dan terlempar ke tanah. (Ali ibn Abi Thalib)

Demikian pembahasan mengenai Dua Fiil Ta’ajjub. Semoga bermanfaat.

Tinggalkan Komentar