Tayamum dan Sholat di Pesawat Terbang
Di mana pun seorang muslim berada, akan dikenai kewajiban sholat tepat pada waktunya. Tidak terkecuali di dalam pesawat terbang, hukum sholat tetap wajib untuk dilaksanakan. Namun yang menjadi polemik ialah bagaimana cara bersuci apakah dengan berwudlu atau tayamum dan bagaimana mendirikan sholat di dalam pesawat terbang, mengingat begitu minimnya fasilitas air dan terbatasnya ruang di dalam pesawat.
Apakah mungkin kita menggunakan debu yang (mungkin) melekat di sandaran kursi? Mungkinkah melakukan sholat berjamaah dengan rombongan dalam pesawat? Bolehkah kita tunda saja sholatnya ketika turun di pesawat? Atau bagaiamana yang benar? Mari kita simak runut penjelasan dari Kiai Sahal mengenai hukum, syarat, hingga hal-hal yang perlu diketahui dari sholat dan tayamum.
Tata Cara Sholat dalam Pesawat Terbang
KH. MA Sahal Mahfudh dalam bukunya “Dialog Problematika Umat” menerangkan bahwa dalam kondisi apa dan bagaimanapun seorang muslim tetap terkena kewajiban menunaikan sholat fardu lima waktu pada waktunya secara sempurna. Namun dalam kondisi tertentu seperti sakit, sedang berada di perjalanan, tidak mendapatkan sesuatu yang digunakan untuk bersuci, atau karena faktor yang lain, seseorang diperkenankan menunaikannya sesuai dengan kemungkinan dan kemampuan yang ada saat itu. Ini sebagaimana firman Allah SWT. dalam al-Qur’an:
لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Artinya: “Allah tidak akan memberikan beban kewajiban kepada seseorang kecuali berdasarkan kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Sholat Mensyaratkan Suci dari Hadats
Salah satu praktiknya seperti yang dialami oleh jemaah haji di dalam pesawat ketika sudah masuk waktu sholat. Salah satu syarat sahnya sholat adalah suci dari hadas besar dan kecil serta najis. Untuk menjaga dari hadas besar dan najis, barangkali banyak orang yang bisa melakukannya, tapi sebaliknya sedikit orang yang bisa menjaga diri tetap suci dari hadas kecil sehingga untuk menjalankan sholat mereka harus berwudhu dengan air yang mensucikan atau tayamum dengan debu terlebih dahulu.
Melihat fasilitas air di pesawat dengan kapasitas penumpangnya, rasanya tidak mungkin para jemaah haji mendapatkan air wudlu, begitu pula ketika akan tayamum, sulit mendapatkan debu meski di sandaran kursi sekalipun sesulit mendapatkan air di pesawat.
Dengan demikian tayamum di pesawat memang belum memenuhi syarat, dengan kata lain tidak sah karena tidak terdapat debu yang bisa digunakan untuk bersuci.
Kondisi semacam itu di mana seseorang tidak bisa mendapat alat untuk bersuci (air dan debu) dalam terminologi Fiqh disebut faqidu al-thahurain. Dalam kondisi ini seseorang tetap wajib menjalankan sholatnya sendiri-sendiri karena hurmat al-waqti bukan liada’i al-fardhi. Oleh karena itu mereka diwajibkan i’adah (mengulang sholatnya) ketika sudah memungkinkan bersuci.
Sholat Berjamaah dalam Pesawat Terbang
Adapun masalah berjamaah di pesawat maka di sana terdapat dua asumsi. Asumsi pertama, semua penumpang baik yang menjadi imam atau makmum dalam keadaan faqidu al-thahurain. Jamaaah dengan imam yang faqidu al-thahurain tidak sah karena sholatnya wajib i’adah.
Asumsi kedua, dalam pesawat penumpang masih dalam keadaan suci karena masih memiliki wudlu, mereka dapat menjalankan sholat sendiri atau berjamaah. Bolehkah menjalan sholat dengan duduk? Menurut Syafi’iyah apabila tidak mungkin sholat dengan berdiri karena kesulitan atau kepayahan (‘ajzu) atau kemungkinan mabuk udara maka boleh sholat dengan duduk. (Al Fiqhu al-Islami: II, 826)
Kalau diteliti lebih lanjut, ‘ajzu itu tidak bisa dilihat dari faktor internal individu ansich, tetapi juga faktor eksternal meliputi ruang dan jalannya tumpangan, dalam hal ini pesawat yang tidak memungkinkan seseorang sholat dengan berdiri.
Jadi, jemaah dengan duduk bagi penumpang pesawat boleh-boleh saja sepanjang syarat-syaratnya terpenuhi yang meliputi, Pertama, niat makmum bagi makmum. Kedua, sholat imam dan makmum adalah sholat yang sama. Ketiga, makmum tidak berada di depan imam, yang dalam praktiknya yang menjadi standar adalah pantat imam (makmum tidak maju melebihi pantat imam). Keempat, jamaaah berada di satu tempat sehingga makmum bisa melihat dan mendengarkan suara imam. Melihat dan mendengar imam tidak harus secara langsung karena syarat itu bisa terpenuhi dengan melihat makmum di depan atau sampingnya yang secara bersambungan dapat melihat imam. Dan yang kelima, makmum mengikuti sholatnya imam. (Al Fiqhu al-Islami: I, 1240-1252)