Menjadi Penengah antara BANSER GP Ansor dan Jamaah Salafy

Beberapa hari yang lalu atau tepatnya 22 Februari 2024, terjadi pembubaran kajian di Masjid As-Salam Perum Puri Mas, Gunung Anyar, Surabaya oleh sekelompok BANSER. Kajian tersebut seharusnya diselenggarakan malam hari itu juga dengan pembicara Ust. Syafiq Riza Basalamah.

Beberapa cuplikan video pembubaran Kajian di Surabaya

Kejadian tersebut menjadi perhatian besar di perbincangan publik dan media sosial. Konflik tersebut berlarut-larut dan memicu perdebatan antar kelompok.

Ini bukan kali pertama BANSER membubarkan pengajian. Dalam beberapa tahun terakhir, BANSER telah terlibat dalam beberapa peristiwa serupa, yang memicu kontroversi dan perdebatan publik.

Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya permintaan minta maaf dari Ketua GP Ansor maupun elite ulama NU. Addin Jauharuddin – Ketua GP ANSOR NU – bahkan mengatakan bahwa Jamaah Salafy sebagai kelompok yang radikal dan berpotensi memecah belah identitas kebangsaan melalui kegiatan-kegiatannya. Tentu tudingan ini perlu dibuktikan benar atau tidaknya.

Sebagai warga NU, saya mencoba menjadi penengah melalui tulisan ini dengan seadil mungkin. Saya percaya bahwa NU, dengan tradisi toleransi dan moderatnya, dengan tawazun, tasamuh dan tawasuth-nya, dapat memainkan peran penting dalam menjembatani perbedaan pandangan dalam masalah furu’iyyah agama.

Sayang Seribu Sayang

Kejadian pembubaran kajian ini tentunya sangat disayangkan dan seharusnya tidak terjadi. Kejadian ini tidak hanya menimbulkan ketegangan antar kelompok agama, tetapi juga merusak citra Islam sebagai agama yang damai dan toleran.

Terlebih, ada tiga dampak negatif yang merugikan kelompok GP ANSOR sendiri atas kejadian ini, yaitu:

  1. Ada kekhawatiran bahwa tindakan BANSER dapat membatasi kebebasan beragama dan berekspresi.
  2. Tindakan BANSER dapat dilihat sebagai bentuk intoleransi terhadap kelompok lain.
  3. Tindakan BANSER dapat dipolitisasi dan digunakan untuk memperkuat narasi radikalisme.

Oleh karena itu, perlu adanya konsolidasi antar kelompok agama agar kejadian seperti ini tidak terulang kembali di masa depan. Konsolidasi ini harus dilakukan dengan tujuan untuk:

  1. Meningkatkan pemahaman antar kelompok agama: Konsolidasi dapat membantu kelompok agama untuk memahami perbedaan dan kesamaan mereka melalui dialog.
  2. Membangun rasa saling menghormati: Konsolidasi dapat membantu kelompok agama untuk membangun rasa saling menghormati dan toleransi.
  3. Mengembangkan mekanisme penyelesaian konflik: Konsolidasi dapat membantu kelompok agama untuk mengembangkan mekanisme penyelesaian konflik yang damai dan adil.

Dengan adanya konsolidasi tersebut, harapannya ukhuwah Islamiyyah semakin terjalin erat antar kelompok agama di Indonesia termasuk NU dan Salafi, sehingga kejadian-kejadian seperti ini tidak terulang kembali ke depannya.

Pencerahan untuk Kita Semua

Dari peristiwa ini, seharusnya kita semua mengintrospeksi diri atas betapa jauhnya perilaku kita dari tuntunan al-Quran.

Sebagai sesama mu’min seharusnya kita saling menjadikan saudara mukmin lainnya sebagai al-waliy (sosok teman setia, penolong, pelindung), sebagaimana yang diterangkan dalam Surat al-Maidah: 55:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَهُمْ رَٰكِعُونَ

Artinya: “Sesungguhnya “waliy“mu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allah).”

Alladzina amanu” di sini adalah umum untuk siapa saja yang beriman kepada Allah dan RasulNya tanpa melihat apapun pakaiannya, ormasnya, atau pun negaranya. Selagi masalah ushuliyyah agama kita sama, maka kita semua adalah sesama orang-orang mu’min dan harus menjadi ‘waliy’ satu sama lain.

Seharusnya kita “adzillatin ‘ala al-mu’minin” dan “a’izzatin ‘ala al-kafirin”, seharusnya kita bersikap lemah lembut kepada sesama orang mu’min dan keras terhadap orang kafir yang menjadi musuh Allah. Bukan sebaliknya, “adzillatin ‘ala al-kafirin” dan “a’izzatin ‘ala al-mu’minin”, lemah lembut kepada orang kafir dan bersikap keras kepada sesama orang mu’min.

Toleransi Perbedaan Furu’iyyah Agama

Aksi pembubaran kajian jamaah salafi dan kebencian yang tak berdasar ini sudah melewati batas. Kita terlalu keras menghadapi sesama muslim yang beda pandangan furu’iyyah agama.

Padahal yang namanya khilaf dalam suatu furu’ (cabang) agama adalah keniscayaan, karena hal tersebut membuka kesempatan para mujtahid untuk berijtihad sehingga hasil ijtihadnya bisa berbeda satu sama lain.

Sebagai contoh hukum bacaan al-Quran apakah sampai pahalanya kepada mayyit. Menurut Imam Asy-Syafi’i, pahala bacaan al-Qur’an tidak dapat sampai kepada mayyit. Mengapa? Tokoh pencetus ilmu Ushul al-Fiqh tersebut menggunakan logika al-Quran “An la taziru waziratun wizra ukhra” yang artinya bahwa seseorang tidak bisa mengemban dosa orang lain. Ketika seseorang tidak bisa mengemban dosa orang lain maka seseorang juga tidak bisa memberikan pahala kepada orang lain, misalnya seperti menghadiahkan Al-Fatihah atau Yaa Siin kepada mayyit.

Logika Qur’aniy yang digunakan Imam Asy-Syafiiy lainnya adalah “Wa an laysa li al-insaani maa sa’aa” artinya “Bahwa manusia tidak akan mendapatkan pahala kecuali dari apa yang telah dia amalkan.” (an-Najm: 39).

Salah satu ulama syafiiyah yang sangat tegas menyatakan bahwa hadiah pahala bacaan al-Quran tidak sampai kepada mayyit adalah al-Hafidz Ibnu Katsir, penulis kitab Tafsir Ibnu Katsir.

Adapun yang berpendapat bahwa menghadiahkan pahala bacaan al-Quran kepada mayyit itu sampai adalah ulama’ Syafi’iyyah lainnya seperti Imam an-Nawawi dan lain-lain, tentunya dengan penggunaan dalil yang ketat pula.

Sudah barang tentu saya tidak akan membahas khilafiyah secara mendalam tentang berbagai ‘amaliyah yang sering diperdebatkan di sini. Contoh di atas cukup dijadikan bukti bahwa satu madzhab saja sudah begitu kompleks perbedaannya. Bahkan fakta terbesarnya di sini adalah Imam Syafiiy yang madzhabnya diikuti oleh kebanyakan kita justru secara pribadi tidak mengamalkan penghadiahan bacaan al-Quran kepada mayyit.

Fakta-fakta di atas hendaknya kita jadikan sebagai pengingat bersama bahwa dalam beragama hendaknya kita tidak kaku, perbedaan kita anggap sebagai suatu kewajaran karena walaupun berbeda kita semua hakikatnya bersatu dalam kebenaran (satu kebenaran tauhid dan ajaran pokok agama).

Kita harus belajar untuk hidup berdampingan dengan damai dan toleransi. Kita harus saling menghormati perbedaan dan bekerja sama untuk membangun masa depan yang lebih baik sebagaimana telah dicontohkan oleh Salaf ash-Shalih.

Hal yang perlu dikhawatirkan

Hal yang seharusnya dikhawatirkan oleh kita, khususnya GP Ansor, adalah penurunan kualitas manusia yang ada di NU. Jangan sampai umat muslim hanya menonjol secara kuantitas namun menurun dari segi kualitas.

Barometer utama kualitas umat adalah semangat keilmuan dan ber-tafaqquh fi ad-din. Semakin tinggi keilmuan seseorang semakin tinggi pula daya toleransinya terhadap sesama, begitu pun semakin rendah keilmuan seseorang akan semakin sulit bagi dirinya untuk bisa menerima perbedaan.

Saran saya terakhir kepada GP Ansor adalah untuk mengkader anggotanya sebaik mungkin. Kaderlah anggota GP Ansor untuk bisa menghormati Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak-hak berserikat dan hak menjalankan agama.

Layangkan permintaan maaf secepatnya kepada pihak bersangkutan dan berjanji agar kejadian seperti ini tidak terulang kembali.

Dan untuk Salafi, mungkin alangkah lebih baiknya ke depannya berkolaborasi dengan membuat acara yang melibatkan tokoh-tokoh lintas ormas dan kelompok agar kesan eksklusifitas-nya semakin berkurang.

Itu dia tulisan saya semoga bisa menjembatani toleransi antar kelompok Islam di Indonesia khususnya NU dan Salafi. Semoga Indonesia semakin kompak dan tidak terpecah belah.

Penulis: Mudhofar – Santri Alumni PP Bahrul Ulum Tambakberas Jombang

Tinggalkan Komentar