Ahli Waris dan Macam-macamnya

Ahli Waris dan Macam-macamnya

Ahli Waris dan Macam-macamnya diatur dalam ilmu faraidl. Ilmu Faraidl adalah ilmu yang mengkaji tentang bagian-bagian pasti yang didapatkan ahli waris yang ketentuannya sudah ditentukan dalam al-Quran, hadits Nabi dan ijtihad para ulama’. Karena ilmu ini membahas bagian harta waris maka ilmu ini berhubungan dengan kematian (maut).

Cabang ilmu Fiqh yang lain seperti sholat, zakat, puasa, dan nikah adalah hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan (hayat), berbeda dengan cabang ilmu ini. Mempelajari ilmu Faraidl sama dengan memelajari separuh ilmu karena alasan di atas (berhubungan dengan kematian). Maka sangat penting sekali mempelajarinya.

Urgensi dari mempelajari ilmu Faraidl sangat terasa di negeri kita, karena dewasa ini masyarakat kita masih jarang yang mempraktekkan Faraidl dalam hal waris. Umumnya mereka menggunakan hukum waris konvensional ataupun hukum waris adat. Sudah barang tentu hukum waris Islam adalah hukum yang paling adil dan bila kita menjalankannya berarti kita menjalankan syariat Allah dan dengan itu kita mendapatkan ridlo-Nya.

Daftar Isi

  1. Apa itu Ahli Waris Nasabiyah dan Ahli Waris Sababiyah?
  2. Apa itu al-Furudl al-Muqaddarah dan apa saja bagian-bagiannya?
  3. Bagaimana cara mencari asal masalah?
  4. Apa itu ashhab al-furudl dan apa saja hak-haknya?
  5. Apa itu ahli waris dzawil arham?

1. Apa itu Ahli Waris Nasabiyah dan Ahli Waris Sababiyah?

Ahli waris semuanya berjumlah 17 orang, yaitu 10 orang laki-laki dan 7 orang perempuan. Adapun 10 orang laki-laki tersebut adalah anak laki-laki, anak laki-lakinya anak laki-laki dst., ayah, ayahnya ayah dst., saudara (secara mutlak), anaknya saudara laki-laki kecuali seibu, paman dari ayah kecuali seibu, anaknya paman dari ayah kecuali seibu, suami dan yang terakhir dzu wala’ (laki-laki yang memerdekakan).

Sedangkan 7 orang ahli waris perempuan adalah anak perempuan, anak perempuannya perempuan dst., ibu, nenek, saudara perempuan, istri dan dzatu wala’ (wanita yang memerdekakan).[1]

Ahli waris nasabiyah adalah para penerima waris yang disebabkan mereka memiliki hubungan nasab atau keturunan (baik itu ke atas, ke bawah maupun ke samping).

Sedangkan ahli waris sababiyah adalah para ahli waris yang menerima warisan disebabkan adanya sabab atau alasan di luar nasab.

Bila melihat para anggota ahli waris diatas maka dapat kita simpulkan bahwa ahli waris nasabiyah adalah semua anggota ahli waris baik laki-laki ataupun perempuan kecuali suami, istri, dzu wala’ dan dzatu wala’. Karena 4 orang yang disebut terakhir tadi mendapat warisan disebabkan perkawinan dan sebab memerdekakan.

2. Apa itu al-Furudl al-Muqaddarah dan apa saja bagian-bagiannya?

Al-Furudh al-Muqaddaroh adalah bagian-bagian yang sudah pasti secara syariat, bukan sisa maupun bagian dari sisa. Bagian-bagian tersebut ada 6 yaitu ½, ¼, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6. Bagian tersebut tidak ditambahi dan tidak boleh juga dikurangi saat pembagian harta kecuali ada sebab yang baru seperti ‘aul dan radd.[2]

Al-Furudh al-Muqoddaroh terdiri dari 6 macam, yaitu:

  1. Dua pertiga (2/3), adalah bagian untuk:
  • 2 anak perempuan atau lebih.
  • 2 cucu perempuan atau lebih.
  • 2 saudara perempuan sekandung atau lebih.
  • 2 saudara perempuan seayah atau lebih.
  1. Sepertiga (1/3), adalah bagian untuk:
  • Ibu jika tidak ada anak atau cucu atau tidak ada dua saudara perempuan atau lebih.
  • 2 saudara laki-laki  atau perempuan seibu atau lebih.
  1. Seperenam (1/6) , adalah bagian untuk:
  • Ibu jika ada anak atau cucu.
  • Ayah jika ada anak atau cucu laki-laki .
  • Nenek jika tidak ada ibu.
  • Cucu perempuan jika ada anak perempuan (pelengkap 2/3)
  • Saudara perempuan seayah jika ada saudara perempuan sekandung.
  • Seorang saudara perempuan atau laki-laki  seibu jika sendirian
  1. Separuh (½) , adalah bagian untuk:
  • Suami jika tidak ada anak.
  • Seorang anak perempuan jika sendirian.
  • Seorang cucu perempuan jika sendirian.
  • Seorang saudara perempuan sekandung jika sendirian.
  • Seorang saudara perempuan seayah jika sendirian.
  1. Seperempat (¼), adalah bagian untuk:
  • Istri jika tidak ada anak atau cucu.
  • Suami jika tidak ada anak atau cucu.
  1. Seperdelapan (1/8), adalah bagian istri jika ada anak atau cucu.[3]

3. Bagaimana cara mencari asal masalah?

Asal masalah adalah angka yang didapatkan dengan melihat bagian-bagian pasti (al-Furudh al-Muqoddaroh) agar setiap ahli waris bisa mendapatkan angka utuh dan bukan bilangan pecahan lagi saat perhitungan atau dapat dikatakan terbagi habis pada setiap ahli waris dan bila tidak ada bagian pasti (semua ‘ashobah) maka disesuaikan dengan bilangan yang dasar (bagi laki-laki 2 bagian dan perempuan 1 bagian).

Contoh diketahui ahli waris adalah dua istri, satu anak perempuan, dua anak perempuannya anak laki-laki, dan saudara perempuan sekandung. Dan bagian masing-masing adalah secara urut 1/8, ½, 1/6, dan ashobah ma’al ghair. Maka asal masalahnya adalah 24 karena angka 24 bisa dibagi habis kepada setiap ahli waris.

Dan bila tidak ada ahli waris bagian pasti seperti halnya muwarits meninggalkan satu anak perempuan dan satu anak laki-laki, maka asal masalahnya yaitu 3 (1+2).

4, Apa itu ashhab al-furudl dan apa saja hak-haknya?

Ashhabul Furudh adalah orang-orang yang berhak menerima waris dengan jumlah yang telah ditentukan oleh syar’i. Ashhabul furudh terdiri dari:

  1. Ashhabul Furudh Sababiyah, yaitu ahli waris yang mendapatkan harta warisan disebabkan karena hubungan pernikahan. Ashhabul Furudh Sababiyah ini terdiri dari:
    • Suami berhak mendapatkan bagian:
      • ½ jika mempunyai anak dan cucu.
      • ¼ jika bersama anak dan cucu.
    • Istri berhak menerima bagian:
      • ¼ jika tidak mempunyai anak dan cucu.
      • 1/8 jika bersama dengan anak dan cucu.
  2. Ashhabul Furudh Nasabiyah, yaitu ahli waris yang mendapatkan harta warisan disebabkan karena nasab atau keturunan. Ashhabul Furudh Nasabiyah terdiri dari:
    • Anak perempuan berhak menerima bagian:
      • ½ jika sendirian tidak bersama anak laki-laki
      • 2/3 jika dua orang atau lebih tidak bersama anak laki-laki
    • Cucu perempuan, berhak menerima bagian:
      • ½ jika sendirian, tidak bersama cucu laki-laki.
      • 2/3 jika dua orang atau lebih tidak tidak bersama cucu laki-laki.
      • 1/6 Jika bersama satu anak perempuan.
      • Mahjub (terhalang) jika ada satu anak laki-laki  atau dua anak perempuan.
    • Ibu berhak menerima bagian:
      • 1/3 jika tidak ada anak atau cucu atau tidak ada saudara dua orang atau lebih.
      • 1/6 jika ada anak atau cucu atau bersama dua orang atau lebih.
      • 1/3 dari sisa, dalam masalah Gharawain, yaitu apabila ahli waris terdiri dari suami atau istri, ibu dan bapak.
    • Bapak berhak menerima bagian:
      • 1/6 jika ada anak laki-laki  atau cucu laki-laki .
      • 1/6 ditambah sisa, jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.
    • Jika bapak bersama ibu:
      • Masing-masing 1/6 jika ada anak, cucu atau saudara dua orang atau lebih.
      • 1/3 untuk ibu, bapak menerima sisanya, jika tidak ada anak, cucu saudara dua orang atau lebih.
    • Nenek berhak menerima bagian:
      • 1/6 dalam setiap keadaan.
      • Mahjub jika ada ibu.
    • Kakek, berhak menerima bagian:
      • 1/6 Jika bersama anak laki-laki  atau cucu laki-laki.
      • 1/6 dari sisa, jika bersama anak atau cucu perempuan tanpa ada anak laki-laki.
      • 1/6 atau muqosamah (bagi rata) dengan saudara sekandung atau seayah, setelah diambil ahli waris lain.
      • 1/3 atau muqosamah (bagi rata) dengan saudara sekandung atau seayah, jika tidak ada ahli waris lain.
      • Mahjub jika ada ayah.
    • Saudara sekandung perempuan atau seayah seibu, berhak menerima bagian:
      • ½ jika seorang, dan tidak bersama saudara laki-laki  sekandung.
      • 2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama saudara laki-laki  sekandung.
      • Ashabah bil-ghair, jika bersama saudara laki-laki  sekandung.
      • Ashabah ma’a al-ghair, jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan.
      • Mahjub, jika ada ashal atau furu’ dari laki-laki, (ayah atau anak laki-laki).
    • Saudara perempuan seayah, berhak menerima bagian:
      • ½ jika seorang diri dan tidak bersama saudara laki-laki seayah.
      • 2/3  jika berdua atau lebih dan tidak bersama saudara laki-laki  seayah.
      • 1/6 jika bersama dengan satu saudara perempuan sekandung sebagai pelengkap 2/3.
      • Ashabah bil-ghair, jika bersama saudara laki-laki seayah.
      • Ashabah bil-ghair, jika bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan.
      • Mahjub, jika ada ashal atau furu’ dari laki-laki (ayah atau kakek dan anak atau cucu).
      • Mahjub juga jika ada dua saudara perempuan sekandung.
    • Saudara perempuan/ laki-laki seibu, berhak menerima bagian:
      • 1/6 jika sendirian.
      • 1/3 jika dua orang atau lebih.
      • Bergabung menerima 1/3 dengan saudara sekandung ketika bersama-sama dengan ahli waris suami dan ibu (musyarokah).
      • Mahjub jika ada ashal atau furu’ dari laki-laki.[4]

5. Apa itu ahli waris dzawil arham?

Dzawil Arham adalah mereka yang tidak mempunyai bagian tertentu dalam al-Qur’an atau Sunnah dan bukan ashabah. Mereka itu adalah kerabat yang dekat dengan mayit dan tidak mewarisi dengan cara fardlu (penentuan) atau ashabah, seperti:

  1. Cucu dari garis perempuan.
  2. Anak perempuan dan cucu perempuan saudara laki-laki.
  3. Anak dan cucu saudara-saudara perempuan.
  4. Anak perempuan dan cucu perempuan paman.
  5. Paman dari pihak ayah seibu.
  6. Anak dan cucu saudara seibu.
  7. Saudara-saudara perempuan ayah.
  8. Saudara-saudara (laki-laki/perempuan) ibu.
  9. Kakek dari pihak ibu.
  10. Ibunya kakek dari pihak ibu.[5]

Para ulama berbeda pendapat apakah dzawil arham dapat mewarisi harta peninggalan dari orang yang meninggal dunia yang sama sekali tidak mempunyai ahli waris ashhabul furudl maupun ashhabul ashabah. Atau jika orang yang meninggal dunia itu meninggalkan ahli waris ashhabul furudl, tetapi masih ada sisa harta peninggalan yang tidak dapat diberikan kepadanya sisa harta tersebut.

Pendapat pertama: Zaid ibn Tsabit, Sa’id ibn Musayyab, Imam Malik, Imam Syafi’i, al-Auza’i, dan Ibn Hazm. Dzawil arham tidak dapat mewarisi harta warisan. Apabila orang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris ashhabul furudl atau ashhabul ashabah, maka harta peninggalannya diberikan kepada Baitul Mal. Alasan mereka adalah karena dzawil arham tidak disebutkan dalam al-Qur’an seperti halnya Allah SWT menyebutkan ashhabul furudl dan ashhabul ashabah.

Pendapat kedua: Ali, Ibn Abbas, Abu Bakar, Muadz ibn Jabal, Syuraikh, Imam Abu Hanifah, dan Ahmad ibn Hanbal. Ahli waris dzawil arham dapat mewarisi harta warisan apabila orang yang meninggal tidak meninggalkan ahli waris ashhabul furudl dan ashhabul ashabah. Mereka beralasan dengan ayat al-Qur’an S. Al-Anfaal [8]: 75, An-Nisa’ [4]: 7. [6]

Adapun cara pembagian harta waris kepada dzawil arham adalah terdapat tiga kelompok:

  1. Ahlul al-qarabah

Menurut kelompok ini (madzhab Hanafi), penentuan membagikan harta pusaka kepada dzawil arham adalah sejalan dengan membagikan harta pusaka kepada para ashabah. Di dalam ashabah terdapat 4 kriteria yang diterbitkan sebagai berikut:

  • Cucu dari garis perempuan ke bawah.
  • Kakek dan nenek ghairu shahihah.
  • Anak atau cucu saudara-saudara yang bukan ashhabul furudh.
  • Anak turunannya kakek dan nenek.

Contoh kasus dan cara penyelesaian:

Ahli waris terdiri dari cucu perempuan dari anak perempuan dan istri, bagian mereka masing-masing adalah:

Istri mendapatkan bagian ¼ bukan 1/8, karena cucu perempuan dari anak perempuan. Sedangkan cucu perempuan dari anak perempuan ashabah (sisa) ¾.

  1. Ahlu at-tanzil

Menurut kelompok Ahlu at-tanzil (madzhab Syafi’i, Maliki, Hanbali, Abu Ubaidah, Alqomah dll.),  penentuan membagikan harta pusaka kepada dzawil arham adalah dengan menganggap cabang pewaris dari dzawil arham sesuai dengan kedudukan pokoknya. Mereka tidak melihat orang-orang yang ada, tetapi melihat kepada orang-orang yang bernisbah kepada mereka dari ashhabul furudh dan ashabah.

Contoh kasus dan cara penyelesaiannya:

Ahli waris terdiri dari anak perempuan, dari saudara laki-laki  ibu dan anak perempuan, dari saudara sekandung. Harta peninggalan Rp. 600 juta = Rp. 100 juta. Maka,

  • anak perempuan dari saudara laki-laki  ibu dianggap saudara seibu yaitu 1/6 x Rp. 600 juta = Rp. 100 juta.
  • anak perempuan dari saudara laki-laki  sekandung dianggap saudara laki-laki  sekandung yaitu ashabah (sisa) yaitu Rp. 500 juta.
  1. Ahlu ar-rahim

Menurut kelompok ahlu ar-rahim bahwa penentuan pembagian waris kepada dzawil arham adalah dengan membagi rata semua dzawil arham yang ada.

Contoh Kasus dan cara penyelesaiannya:

Ahli waris terdiri dari bibi, anak perempuan saudara, cucu perempuan dari anak perempuan. Harta peninggalan Rp. 150 juta. Maka bagian mereka masing-masing adalah:

  • Bibi Rp. 50 juta.
  • Anak perempuan saudara Rp. 50 juta.
  • Cucu perempuan dari anak perempuan Rp. 50 juta.[7]

Demikian Ahli Waris dan Macam-macamnya. Semoga bisa bermanfaat.


Referensi

[1] Abdullah asy-Syarqowi, Asy-Syarqowi ala at-Tahriri Juz 2, (t.tp: al-Haramain, t.th), hal. 189.

[2] Muhammad Nawawi al-Jawi, Tawsyikh ‘ala Ibn Qasim, (Surabaya: Nurul Huda, t.th), hal. 187-188.

[3] Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, (Bandung: Rosda Karya, 2007), cet. II, hal. 18-19.

[4] Ibid, hal. 19-22.

[5] Amien Husein Nasution, Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), cet. I, hal. 139-140.

[6] Ibid, hal. 141-143.

[7] Hasbiyallah, op.cit., hal. 94-98.

Tinggalkan Komentar