Al-Qur’an Sebagai Ladang Bisnis – Mengambil Upah dari al-Quran

Ilmu Pengetahuan
Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali dalam karya magnum opus-nya, Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa sesuatu yang berharga dan disenangi oleh manusia secara umum terbagi menjadi tiga bagian.
Pertama, sesuatu yang secara esensial (dzatiyyah) benar-benar berharga, sehingga niscaya dibutuhkan dan disenangi oleh manusia. Oleh karenanya, manusia harus memilikinya.
Kedua, benda berharga yang sifatnya tidak esensial atau dalam arti lain, seseorang merasa butuh dan suka terhadap benda tersebut bukan karena bendanya, namun karena ada alasan lain yang menjadikan dia merasa harus memilikinya.
Dan ketiga, sesuatu yang mencakup kedua-duanya.
Dari tiga klasifikasi tersebut, klasifikasi pertama merupakan yang paling utama dan mulia. Karena tanpa hal itu seseorang tidak akan mungkin hidup mulia dan bahagia. Dan hal yang berharga dan sangat penting bagi manusia itu tidak lain adalah ilmu pengetahuan.
Oleh sebab itu, tidak diragukan lagi bahwa menuntut ilmu merupakan suatu kewajiban yang harus ditempuh oleh seorang muslim. Tinggi rendahnya derajat seseorang di sisi Allah ditentukan dengan kadar ilmu yang dia miliki. Ketika seseorang berjuang dengan segala daya dan upaya yang dia miliki dalam menuntut ilmu, berarti di saat yang sama dia juga telah berusaha untuk membuka jalan menuju surga.
Kedudukan Ilmu Pengetahuan
Ilmu merupakan perhiasan, keutamaan, dan sekaligus penanda bagi pemiliknya. Sumber kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat adalah ilmu. oleh karena itu, sebagaimana dijelaskan di atas, tidak ada sesuatu yang lebih penting dan berharga yang harus diraih seseorang selain ilmu.
Namun sebaliknya, tanpa ilmu, seseorang tidak mungkin bisa menempuh jalan terang. Langkah-langkahnya terjerembab dalam ruang kegelapan tanpa ada tepi ujungnya. Semua yang dia lakukan berada dalam kesesatan karena tidak ada pedoman yang menuntun.
Oleh sebab itu, segala bentuk amal-amal perbuatannya menjadi sia-sia di sisi Allah. Dan derajatnya tidak lebih tinggi atau bahkan lebih rendah dibanding dengan hewan-hewan yang tidak berakal. Dan pada akhirnya, tidak ada kebaikan sama sekali yang terdapat padanya. Kehidupannya senantiasa dirundung penyesalan dan kerugian, baik dalam urusan dunia maupun akhirat.
Sejalan dengan pentingnya membekali diri dengan ilmu pengetahuan dalam segala aspek kehidupan manusia, baik itu untuk prospek kebahagiaan dunia maupun kebahagiaan akhirat.
Di sisi lain, syariat juga telah menetapkan kewajiban menyebarkan ilmu. Ilmu yang telah dikuasai seseorang tidak boleh berhenti di orang tersebut. Namun, ilmu itu harus menyebar secara merata kepada seluruh orang yang ada di sekitarnya. Agama secara eksplisit telah melaknat seseorang yang dengan sengaja menyembunyikan ilmu yang dia miliki.
Ilmu yang paling penting untuk dipelajari
Salah satu ilmu yang penting untuk dikuasai oleh seseorang adalah ilmu al-Quran dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Sebab Nabi Muhammad yang selalu jujur dalam seluruh sabdanya menuturkan bahwa semulia-mulianya hamba adalah seseorang yang mempelajari al-Quran dan yang mengajarkannya.
Salah satu bentuk dedikasi seseorang dalam mempelajari atau mengajarkan al-Quran adalah upayanya untuk melakukan perbaikan (tahsin) dalam membaca ayat-ayat suci tersebut.
Terdapat banyak sekali metode membaca al-Qur’an yang beredar di kalangan Muslim Indonesia, seperti Iqro’, Tilawatiy, al-Baghdad, An-Nahdliyyah, Metode Jibril, at-Tahsin, Ummiy dan Qiroatiy. Yang kesemuanya memiliki kantor pusat dan kepengurusan dan memiliki peta persebarannya sendiri-sendiri.
Qiroatiy sendiri baru-baru ini melaunching jilid terbaru yang hanya berjumlah 4 jilid di samping ia masih mempertahankan yang 6 jilid. Tampaknya ini sebagai opsional untuk lembaga pendidikan al-Quran yang tidak cocok dengan Qiroatiy enam jilid, sehingga berpindah ke metode yang lain. Sehingga saat ini, Pengurus Pusat Qiroatiy masih sangat getol-getolnya membuat sosialisasi mengenai 4 jilid terbarunya, agar ada pilihan lain selain 6 jilidnya yang dianggap oleh beberapa terlalu lama untuk diajarkan.
Di samping pentingnya perbaikan atau penyempurnaan bacaan al-Quran, ada satu ilmu penting lagi yang berkaitan dengan urusan bacaan. Ilmu tersebut adalah ilmu maqamat (langgam atau irama).
Karena idealnya, dalam membaca maupun menghafal al-Quran, setiap muslim harus memperhatikan aspek maqamat yang digunakan. Ironisnya, ilmu ini belum begitu populer di kalangan umat bahkan terkadang dianggap kurang penting.
Dalam hal ini, Ustadz Kristriono, lelaki kelahiran Batang, 18 Oktober 1987 yang saat ini menetap di kota Bandung merasa tergugah untuk ikut andil di dalamnya. Selain juga atas dorongan dan masukan untuk mengajarkan langgam ini kepada masyarakat secara umum.
Dan pada akhirnya berdirilah PLQM (Pembelajaran Langgam al-Quran Mingguan). PLQM adalah sebuah lembaga yang bergerak di bidang motivasi, edukasi, dan training materi langgam atau irama al-Quran. Lembaga ini digawangi langsung oleh ustadz Kristriono.

Salah satu bentuk dakwah Ustadz Kris adalah dengan melakukan suatu terobosan baru atau inovasi supaya proses penyebaran ilmu langgam ini berjalan dengan efektif. Dengan bantuan beberapa rekan dan tim media, Ustadz Kris berhasil memproduksi rekaman-rekaman yang berkualitas yang digarap oleh para profesional terkait kegiatan pembelajaran yang kemudian dimasukkan ke dalam flashdisk dan setelah itu dipasarkan ke masyarakat secara umum.
Ilmu pengetahuan menjadi komoditi?
Di sini kemudian muncul pertanyaan yang mendasar dan cukup pelik. Semisal, ilmu kok dijual? Ustadz tidak ikhlas ya? Kalau dijual kok mahal sih? Kira-kira itulah pertanyaan yang muncul sebagai reaksi atas pemasaran jilid-jilid metode membaca al-Quran dan produk pelatihan langgam.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sebagai umat Islam sudah merupakan barang wajib agar selalu merujuk pada sumber-sumber yang terpercaya dan dapat dijadikan sebagai pegangan. Sumber-sumber tersebut adalah pendapat-pendapat para ulama yang dengan ikhlas telah berijtihad dalam memahami isi kandungan al-Quran maupun sunnah. Untuk itu, demikian kami paparkan pendapat mereka dan beberapa alasan logis agar bisa memberi jawaban yang memuaskan dan menenangkan.
Di kalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum menerima upah, bayaran, atau gaji dalam mengajar. Sebagian ulama ada yang berpendapat menerima upah atau bayaran dalam mengajar hukumnya adalah haram. Namun kemudian setelah berkembangnya kondisi zaman mayoritas ulama memilih hukum sebaliknya. Yakni boleh bagi seorang pengajar untuk memungut upah atas jasanya.
Ulama yang membolehkan berargumen, jika seorang mengajar bukan karena profesi, atau hanya sekedar sambilan atau hobi, sedangkan ia mempunyai waktu luang untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidupnya, sebaiknya ia tidak perlu minta balasan dan upah.
Sebaliknya, jika seseorang mengajar karena profesi, mencurahkan segenap waktu, tenaga, pikiran, dan lainnya untuk mengajar serta tidak memiliki waktu lain untuk mencari nafkah, maka sebaiknya ia perlu mendapatkan upah atau balasan atas jerih payahnya dalam mengajar. Dengan cara demikian ia akan dapat melaksanakan tugasnya dengan tenang, tanpa harus menghadapi kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya.
Sebagian ulama lain berpendapat, antara mengajar dan upah sebenarnya dua hal yang terpisah, keduanya merupakan dua hal yang tidak boleh disejajarkan. Mengajar terkait dengan mengamalkan ilmu. sedangkan upah terkait dengan sarana atau pembiayaan agar tugas menyebarkan ilmu tersebut dapat berjalan dengan baik.
Ini sama dengan orang yang mengerjakan ibadah haji. Dalam ibadah haji seseorang dituntut harus ikhlas. Namun, ibadah haji tersebut tetap membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ibadah haji secara ikhlas hubungannya dengan Allah, sedangkan biaya hubungannya dengan sarana prasarana yang memungkinkan ibadah haji yang ikhlas itu dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Pro Kontra Upah dan Gaji dalam Mengajar
Terkait pro dan kontra seputar status upah atau biaya dalam proses transfer ilmu. dalam sebuah buku karya Abu Hafsh Sirajuddin Umar ibn Ali ibn Adil al-Hanbaliy yang berjudul al-lubab fi ulumi al-kitab vol. 2 halaman 19, Imam Malik, Syafii, Ahmad, dan mayoritas ulama membolehkan bagi seorang pengajar al-Quran untuk mengambil bayaran atau upah atas pengajarannya berdasarkan hadits ruqyah sebagai berikut:
«إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْراً كِتَابُ الله» أخرجه البُخَاري
Artinya: “Sesuatu yang paling berhak untuk kalian ambil upah adalah kitabullah (al-Quran)”. Hadits dikeluarkan oleh al-Bukhariy.
Dalam kitab tafsir Ruh al-bayan karya Ismail Haqqi ibn Mushthafa al-Istanbuliy al-Hanafiy vol. 1 halaman 121 juga dijelaskan tentang bolehnya mengambil upah dalam mengajarkan al-Quran dengan alasan apabila tidak ada yang mengajarkannya, dihawatirkan ilmu tersebut akan terbengkalai sia-sia. Selain itu, Syekh Ismail juga menjelaskan tentang bolehnya menjual mushaf al-Quran. Menjual mushaf tidak sama dengan menjual al-Quran. Karena untuk proses penjilidan sebuah mushaf diperlukan alat-alat produksi dan juga kertas, selain itu juga ada tenaga atau orang yang bekerja dalam proses produksi. Yang semua itu memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Dalam kitab-kitab tarikh, dijelaskan bahwa ketika para ulama berhasil menulis sebuah buku maka buku tersebut oleh para pemimpin atau khalifah akan ditimbang, setelah diketahui bobotnya maka khalifah akan memberikan imbalan berupa emas seberat kitab tersebut. Fakta ini menunjukkan betapa orang-orang terdahulu begitu sangat menghargai sebuah ilmu pengetahuan dan ahlinya. Dalam kitab monumental Ta’limu al-muta’allim karya Syekh al-Zarnujiy di dalam pembahasan memuliakan ilmu dan ahlinya (fi ta’dhimi al-ilmi wa ahlihi), beliau menjelaskan salah satu cara menghormati ahli ilmu adalah dengan menghadiahkan satu dirham untuk satu huruf yang telah diajarkan guru kepada murid.
Kesimpulan
Keterangan-keterangan tersebut sudah cukup sebagai landasan dan jawaban atas tiga pertanyaan di atas. Bahwa profesi yang dilakukan oleh Ustadz Kris dan lembaga PLQM dalam memasarkan flashdisk tidak bertentangan dengan syariat agama Islam. Bahkan ada ulama yang mengatakan profesi yang paling mulia di dunia adalah mengajar. Sebab selain mendapat pahala di akhirat pengajar juga mendapat balasan (baca: upah atau gaji) di dunia.
Dus, Keikhlasan dalam mengajar tidak boleh dibenturkan dengan besaran biaya yang ditetapkan. Ini sudah clear sebagaimana keterangan sebelumnya. Yang perlu digaris bawahi dari jawaban atas tiga pertanyaan tersebut adalah bahwa biaya merupakan hal lain yang harus dipenuhi oleh seseorang sebagai penopang keberlangsungan dan kelancaran kegiatan mengajar yang ikhlas tersebut.
Di sini bukan berarti telah terjadi komersialisasi atau ladang bisnis, namun sekali lagi perlu kami tegaskan, betapa sarana dan prasarana dalam segala aspeknya memerlukan suatu pembiayaan, baik berupa pengadaan mushaf al-Quran, kitab-kitab rujukan, buku pegangan, gaji bagi para pengajar dan yang berperan di dalamnya untuk mencapai sebuah kemaslahatan bagi semua. Maka semua konten berkualitas mengenai keilmuan al-Quran berhak mendapatkan penghargaan.
Demikian penjelasan singkat yang bisa kami sampaikan kepada seluruh kawan dan saudara seiman di manapun kalian berada. Semoga Allah senantiasa memberikan pertolongan kepada kita dalam ikhlas beramal, memberkahi segala urusan-urusan kita. Amin ya rabbal alamin.
Barakallah fikum jamian.

Oleh: Ubaidil Muhaimin