6 Wirid Berdasarkan Derajat Pelakunya Menurut Imam al-Ghazali. Kamu Termasuk yang Mana?

6 Wirid Berdasarkan Derajat Pelakunya Menurut Imam al-Ghazali. Kamu Termasuk yang Mana?

6 Wirid Berdasarkan Derajat Pelakunya Menurut Imam al-Ghazali. Kamu Termasuk yang Mana?
Oleh: Mudhofar

Wirid merupakan aktivitas ibadah baik fisik maupun metafisik, jasmani maupun rohani, yang dilakukan berulang kali dan kontinyu. Maka dari itu wirid bukan hanya melulu tentang dzikir dan memutar tasbih. Ia memiliki arti yang lebih luas.

Pengertian bahwa wirid-an dengan komat-kamit baca dzikir sambil menggelengkan kepala merupakan penyempitan makna yang tidak bisa menggambarkan arti wirid seutuhnya.

Definisi Wirid

Wirid adalah ibadah (di luar ibadah wajib) yang dilakukan secara terus menerus (continue). Wirid berasal dari kata warada – yaridu – wirdan yang artinya terus menerus.

Maka dari itu, berdzikir ‘Subhanallahu’ – semisal – sebanyak 1000 kali dalam sehari kemudian tidak diulangi lagi pada hari berikutnya dan seterusnya tidak bisa dikatakan sebagai wirid.

Sedangkan berpuasa senin – kamis secara terus menerus setiap minggunya bisa dikatakan wirid meskipun khusus pada bulan Ramadhan orang tersebut meninggalkannya karena ibadah puasa tersebut dilanggengkan oleh pelakunya.

Bagi seorang murid li harts al-akhirah (orang yang menginginkan ladang akhirat), wirid adalah sebuah perjalanan (suluk) untuk menuju Allah subhanahu wa taala.

6 Wirid Berdasarkan Derajat Pelakunya Menurut Imam al-Ghazali. Kamu Termasuk yang Mana?

Karena wirid memiliki arti yang luas, maka wirid akan berbeda bentuknya menyesuaikan siapa pelakunya. Menurut Imam al-Ghozali dalam Ihya’ Ulumuddin, ada 6 Wirid berdasarkan derajat pelakunya, yakni:

  1. Abid
  2. Alim
  3. Mutaallim
  4. Muhtarif
  5. Wali
  6. Muwahhid

1. Abid

Abid adalah orang yang mendedikasikan seluruh kehidupannya hanya untuk beribadah sehingga ia tidak memiliki kesibukan sama sekali selain beribadah. Jikalau seorang abid meninggalkan satu ibadah maka ia akan menyesalinya.

Seorang abid menghabiskan kebanyakan waktunya untuk beribadah. Ada yang kebanyakan dari waktunya ia gunakan untuk sholat, ada juga yang membaca al-Quran, atau bisa saja kebanyakan waktunya ia habiskan untuk bertasbih. Hal ini kembali lagi pada ibadah yang digemari oleh seorang Abid.

Pada masa sahabat, terdapat di antara mereka yang berwirid 12.000 tasbih setiap harinya dan ada yang 30.000 tasbih.

Ada pula sahabat yang menggemari sholat, bilangannya pun bermacam-macam ada yang 300, 600, hingga 1000 rakaat. Paling minim dari sahabat yang gemar sholat, mereka membiasakan 100 rakaat sehari semalam.

Di antara shahabat ada juga yang wirid terbanyaknya adalah membaca al-Quran. Di antara mereka adanya yang mengkhatamkan al-Quran sekali dalam sehari semalam, ada yang khatam dalam sehari dua kali, tujuh hari sekali, dan sebulan sekali. Serta ada pula shahabat yang mengkhususkan dalam satu hari dengan bertafakkur pada satu ayat dengan cara mengulanginya terus menerus.

BACA JUGA: Cara Mengkhatamkan al-Qur’an dengan Rumus Famibisyauqin

Diriwayatkan bahwa Karz ibn Wabrah (salah satu wali abdal) bermukim di Makkah untuk berthawaf, ketika siang ia berthawaf 70 putaran dan ketika malam ia berthawaf 70 kali putaran. Dalam kesempatan itu juga, ia mengkhatamkan al-Quran dalam sehari semalam sebanyak dua kali. Dan dalam setiap putaran thawafnya, ia menyertakan dua rakaat sholat sehingga totalnya adalah 180 rakaat kali dua dalam sehari semalam.

Jika Kamu bertanya, mana yang lebih utama untuk menghabiskan waktu dengan wirid-wirid di atas? Imam al-Ghazali menjawab, bahwa membaca al-Quran dalam keadaan berdiri ketika sholat sambil men-tadabbur-i maknanya itu sudah mencakup keseluruhan (sholat, qiroah, dan tafakkur). Namun untuk melakukan dan membiasakan hal tersebut sangatlah sulit bagi seseorang, maka yang terbaik adalah melihat pada kemampuan orang tersebut. Wirid paling utama bagi tiap orang berbeda-beda menyesuaikan kondisi orangnya.

Karena tujuan wirid di atas adalah membersihkan dan menyucikan hati, berhias (tahalli) dengan dzikir kepada Allah dan menikmati (enjoy) dengan dzikir tersebut. Maka dari itu, bagi ‘murid li harts al-akhirah’ diharapkan untuk bisa melihat hatinya, apa sih yang berdampak lebih dalam tujuan tersebut maka lakukanlah.

Imam al-Ghazali juga memberikan tips untuk para abid. Yakni, jika mulai merasa bosan pada suatu ibadah maka berpindahlah atau gantilah dengan ibadah yang lain. Contoh dari sholat berpindah ke membaca al-Quran sambil duduk, bosan membaca al-Quran kemudian berdzikir sambil berbaring, bosan berdzikir terus sholat lagi. Kebosanan adalah sifat yang lumrah bagi manusia karena keadaan manusia yang bisa berubah-ubah. Sehingga dibutuhkan sedikit inovasi dalam melakukan wirid.

Dan yang terakhir, jika kamu merasakan tersentuh hatinya pada sebuah ayat atau kandungan makna dzikir maka justru itulah yang perlu dijadikan wirid, selagi hati masih ada kesenangan dan condong pada bacaan tersebut dan belum menemukan penggantinya.

Tidak mengapa jika semisal kamu suka dengan Surat Yasin lalu mengulanginya terus menerus, atau kamu masih kagum dengan makna tasbih sehingga kamu terus mengulanginya. Karena kembali lagi pada tujuan wirid yaitu kita bisa menikmati wirid tersebut.

2. Alim

Alim adalah orang yang bermanfaat ilmunya bagi orang lain baik itu berupa fatwa (memberi solusi hukum), tadris (mengajar), atau tashnif (membagikan ilmu dengan tulisan). Tentunya, kedudukan wirid seorang alim sangat berbeda dengan seorang abid. Karena ibadah orang alim berguna bagi diri sendiri dan orang lain, sedangkan ibadah abid hanya berguna untuk dirinya sendiri.

Selain itu, seorang alim membutuhkan pada penelaahan kitab-kitab, buku-buku dan referensi, sebelum mem’bagi’kan ilmunya kepada publik. Ia juga, mau tidak mau, membutuhkan waktu untuk melakukan hal tersebut. Ini belum ditambah waktunya untuk berfatwa, mengajar atau menulis. Maka menurut Imam al-Ghazali, menghabiskan waktu untuk hal tersebut lebih baik baginya. Tentunya hal itu dilakukan setelah melakukan ibadah wajib beserta rawatibnya.

Maka tidak lain wirid terbaik seorang alim adalah seperti dengan muthalaah dan murajaah kitab-kitab yang berisi ilmu yang bermanfaat,  berfatwa, mengajar, dan menulis setiap hari.

Adapun ilmu yang dimaksud Imam al-Ghazali di sini adalah ilmu yang membuat manusia cinta akhirat dan berzuhud pada dunia, atau ilmu yang digunakan untuk ber-suluk kepada akhirat. Bukan ilmu yang menambah kecintaan manusia pada harta, pangkat jabatan, dan popularitas.

Adapun tips yang diberikan oleh Imam al-ghazali kepada seorang alim adalah untuk membagi waktunya untuk tidak melulu pada hal-hal yang berkutat dengan keilmuan. Contoh, dari subuh hingga terbit ia gunakan untuk melakukan wirid-wirid yang telah dijelaskan sebelumnya (dzikr dan qiraah). Lalu dari terbit hingga dluha untuk ber-ifadah dan ta’lim (mengajar). Itupun kalau ada muridnya. Kalau tidak ada muridnya, maka digunakan untuk bertafakkur pada sesuatu ilmu agama yang masih musykil (sulit) baginya.

Bertafakkur setelah berdzikir ini untuk memanfaatkan bersihnya hati setelah berdzikir dan bersihnya hati digunakan untuk bertafakkur. Sebelum hati sibuk dengan urusan duniawi, maka dzikir setelah subuh lalu kemudian digunakan untuk bertafakkur mumpung hati masih belum sibuk dan masih bersih. Inilah sebuah terobosan yang masuk akal dari Imam al-Ghazali.

Lalu setelah dluha sampai ashar digunakan untuk menulis dan mutholaah, tentunya sudah dikurangi dengan waktu makan, bersuci, sholat wajib, dan tidur qailulah.

Lalu dari ashar sampai hampir matahari kekuning-kuningan, digunakan untuk menyimak bacaan baik berupa tafsir, hadits, dan ilmu yang bermanfaat yang lain. Dan dari matahari kekuning-kuningan sampai maghrib digunakan untuk berdzikir, beristighfar, dan bertasbih.

Untuk urusan malam, maka Imam al-Ghazaali menyarankan untuk mengikuti pembagian Imam asy-Syafii. Yakni, sepertiga untuk muthalaah dan hal yang berkaitan dengan keilmuan, sepertiga lagi untuk sholat, dan sepertiga terakhir untuk tidur. Inilah urutan wirid orang alim yang disukai oleh Imam al-Ghazali.

3. Mutaallim

Jika alim adalah orang yang mengajar, maka jodohnya adalah dengan muta’allim atau orang yang belajar dan mengambil manfaat dari seorang alim. Bahkan, Imam al-Ghazali menegaskan bahwa menyibukkan diri dengan belajar (ta’allum) lebih baik dari pada sibuk dengan dzikir dan ibadah sunnah.

Adapun urutan wirid seorang mutaallim sama dengan urutan seorang alim. Yakni ketika seorang alim sibuk dengan mengajar, maka seorang mutaallim sibuk dengan mengonsumsi pembelajaran. Ketika seorang alim sibuk dengan menulis, maka mutaallim sibuk dengan menyalin tulisan tersebut atau menulis keterangan.

Seperti halnya jenjang karir, seorang muta’allim akan menjadi seorang alim pada waktunya. Jika tidak ada seorang mutaallim (yang memperkaya keilmuannya agar menjadi penerus orang alim), namun hanya ada orang-orang awwam, maka menghadiri majlis dzikr, pengajian dan ilmu itu lebih baik daripada menyibukkan diri dengan wirid. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abi Dzarr ra yang artinya, “Sesungguhnya menghadiri majlis dzikr itu lebih utama daripada shalat seribu rakaat, syahidnya seribu jenazah, dan menjenguk seribu orang sakit.

4. Muhtarif

Muhtarif adalah orang yang membutuhkan pekerjaan untuk membiayai keluarganya. Maka tidak mungkin seorang muhtarif menelantarkan keluarganya dengan menyibukkan diri dengan ibadah (ibadah mahdloh/murni).

Wirid dari seorang muhtarif yaitu pekerjaannya itu sendiri. Seperti halnya pedagang yang ke pasar setiap hari, petani yang melakukan pekerjaannya di sawah, dan karyawan yang setiap hari kerja dikantor, sesungguhnya mereka melakukan wiridnya.

Namun Imam al-Ghazali tetap menyarankan bagi muhtarif untuk tidak melupakan dzikir kepada Allah meskipun mereka sibuk dengan pekerjaannya, baik dengan tasbih, dzikir, dan qiraat al-Qur’an, karena hal itu masih memungkinkan untuk dilakukan dengan pekerjaan. Adapun sholat memang susah sekali dilakukan bersamaan dengan pekerjaan, kecuali pekerjaan-pekerjaan tertentu seperti penjaga kebun.

Dan yang terakhir, jika sudah selesai dari pekerjaannya, hendaknya muhtarif memperhatikan waktu luangnya tersebut untuk melakukan wirid-wirid yang lain.

Adapun jika muhtarif menyisihkan hartanya di luar kebutuhannya untuk disedekahkan maka itu lebih utama daripada wirid-wirid yang telah disebutkan di atas. Karena ibadah mutaaddiyah (yang berdampak kepada yang lain) itu lebih utama dari pada ibadah lazimah (tidak berdampak).

Karena dengan bekerja untuk keluarga lalu bersedekah itu bisa menjadi jalan bagi muhtarif untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan dampaknya, baik nafkah maupun sedekah, bisa bermanfaat bagi penerimanya dan bisa mendatangkan berkah doa yang mustajab dan pahala yang berlipat-lipat.

5. Wali

Yang dimaksud wali di sini adalah seorang pemimpin pemerintahan atau penguasa. Wali adalah orang yang kepadanya diserahkan berbagai urusan, seperti imam, mutawaali, qadli, khalifah, raja, perdana menteri, sultan, presiden, gubernur dan sebagainya. Menyelesaikan masalah-masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang ada di masyarakat merupakan wirid bagi seorang wali dan lebih utama daripada dzikir-dzikir yang telah disebutkan di atas.

Maka sudah menjadi haq bagi seorang wali untuk menyibukkan diri dengan hak-hak rakyatnya di waktu siang (jam kerja), dengan tidak menolak bertemu rakyat dan menutup diri dari rakyat. Dan seorang wali tidak berlama-lama ibadah kecuali membuatnya ringkas agar tidak ada urusan rakyat yang terbengkalai, lalu ketika malam barulah ia bisa melaksanakan wirid yang telah disebutkan di atas (sholat, dzikir, qiroah, tafakkur).

Umar ibn Khattab ra pernah menerangkan bahwa dirinya selama menjadi khalifah susah sekali tidur, jika ia tidur di siang hari urusan rakyat terbengkalai, sedangkan jika ia tidur di malam hari justru urusannya sendiri (ibadah) yang terbengkalai. Itu menunjukkan bahwa seorang pemimpin benar-benar memperhatikan urusan rakyatnya di atas kepentingan dirinya.

Dari sini dapat diketahui bahwa ada dua hal yang bisa didahulukan atas ibadah badaniyah (ibadah mahdloh) yakni yang pertama adalah ilmu, dan kedua adalah urusan rakyat.

Dua hal ini lah yang membuat ibadah secara umum bisa berlangsung karena tidak mungkin seseorang bisa beribadah semisal tidak ada pengetahuan yang mengajarkan hal tersebut, dan seseorang tidak bisa beribadah jika kestabilan keamanan nasional sedang terganggu.

6. Muwahhid

Dan yang terakhir adalah muwahhid bi al-Wahid ash-Shamad (Dzat Yang Maha Esa dan Yang Maha Mencukupi Kebutuhan). Ia adalah orang yang tenggelam pada Allah al-Wahid ash-Shamad dan hanya memiliki satu tujuan. Ia tidak mencintai kecuali kepada Allah, ia tidak takut kecuali padaNya, ia merasa tidak ada rizki yang datang dari selain-Nya, dan ia tidak melihat pada sesuatu kecuali ia juga melihat Allah Taala di dalamnya.

Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa siapa saja yang tingkatannya sudah mencapai derajat ini sudah tidak membutuhkan pada pembagian wirid dan membeda-bedakannya. Akan tetapi wiridnya setelah melaksanakan ibadah maktubat hanyalah satu, yakni kehadiran hati (hudlur al-qalb) bersama Allah di setiap kondisi.

Maka tidak terbersit dalam hatinya satu pun urusan, tidak terdengar dalam pendengarannya satu pun bunyian, dan tidak tampak pada penglihatannya satu pun penampakan kecuali baginya terdapat ibrah (gambaran), fikrah (pemikiran) dan mazid (cahaya). Maka dari itu, tidak ada yang menggerakkan dirinya dan tidak ada yang mendiamkannya kecuali Allah.

Setiap keadaannya adalah baik serta menjadi sebab bagi izdiyad-nya (yakni bertambah kuatnya mata batin dengan menghilangkan tampilan luar dan memunculkan makna yang dituju), maka seorang muwahhid tidak membedakan satu ibadah dengan ibadah yang lain. Dialah orang berlari kepada Allah.

Sebagaimana Allah berfirman:

لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ ۝ فَفِرُّوْا إِلَى اللّٰهِ …

“… . agar kalian mengingat. Maka berlarilah (berlindunglah) kepada Allah … .” (adz-Dzariyat: 49, 50)

Kemudian Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa derajat ini (muwahhid) adalah tingkatan terakhir para ash-shiddiqin. Dan untuk bisa mencapai derajat ini tidak ada jalan lain kecuali dengan berwirid secara teratur dan menekuninya dalam waktu yang lama.

Kesimpulan

Meskipun manusia beribadah dengan cara yang berbeda-beda, wiridnya pun berbeda-beda, namun mereka semua benar dengan caranya masing-masing sebagaimana Allah berfirman:

قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلٰى شَاكِلَتِهٖ ؕ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدٰى سَبِيْلًا ۝

Katakanlah! (Wahai Muhammad) Setiap orang berbuat dengan pembawaannya masing-masing, maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih banyak hidayahnya yakni jalannya” (al-Isra’: 84).

Demikian 6 Wirid Berdasarkan Derajat Pelakunya Menurut Imam al-Ghazali. Banyak jalan menuju Allah. Semoga bermanfaat.

Mudhofar

Penulis: Mudhofar

Hanya seorang santri

Tinggalkan Komentar