Mencintai Nabi Muhammad Ala al-Urjuzah al-Mi’iyyah PART 3 Bait 9 – 15 Blog Series

Mencintai Nabi Muhammad Ala al-Urjuzah al-Mi’iyyah PART 3 Bait 9 – 15 Blog Series

Mencintai Nabi Muhammad Ala al-Urjuzah al-Mi’iyyah PART 3 Bait 9 – 15 Blog Series

Melanjutkan pembahasan yang lalu di Part 2, kami lanjutkan blog series ‘Mencintai Nabi Muhammad Ala al-Urjuzah al-Mi’iyyah PART 3’. Kali ini kita akan membahas bagaimana Baginda Rasulullah diasuh oleh ibundanya, kakeknya, pamannya, hingga bertemu dengan Khadijah. Bagi Anda yang belum membaca tulisan kami sebelumnya, silahkan untuk dibaca terlebih dahulu.

Ibunda Tercinta, Aminah

وَبَعْـــدَ سِــتٍّ مَعَ شَـهْرِ جَاءِ (٩) وَفَـاةُ أُمِّـــــــهِ عَلَى الْأَبْــــوَاءِ

enam tahun satu bulan usianya, di daerah Abwa` wafat ibundanya

Setelah enam tahun sebulan usia Muhammad saw, ibundanya wafat di daerah al-Abwa.

Bait ini menerangkan tentang wafatnya ibunda Rasulullah, ketika itu beliau masih dalam usia yang sangat belia yakni enam tahun satu bulan.

Ibunda Aminah mengasuh Rasulullah setelah Halimah mulai khawatir dengan keamanan Rasulullah setelah peristiwa ‘pembelahan dada’ yang tampak seperti ‘percobaan pembunuhan’, walaupun kenyataannya tidak. Dengan berat hati, Halimah mengembalikan Muhammad kepada Ibundanya. Dan diasuhlah Nabi Muhammad oleh ibundanya saat itu.

Ibunda Rasulillah wafat setelah beliau diajak berkunjung kepada paman-pamannya dari Bani an-Najjar dan berziarah ke makam ayahanda Abdullah di Yatsrib (Madinah Lama). Dalam perjalanan pulang ke Makkah, ibunda Aminah wafat di daerah al-Abwa’ (kota di antara Makkah dan Madinah).

Dalam sirah Ibnu Hisyam, setelah menjelaskan tentang kembalinya Rasulullah kepada ibu Aminah setelah masa susuan di bawah asuhan ibu Halimah, Ibnu Ishaq mengatakan bahwa Rasulullah hidup bersama ibu dan kakeknya – Abdul Muththalib – dalam perlindungan dan penjagaan Allah. Allah menumbuhkannya dengan baik, hal ini merupakan karamah yang Allah berikan kepada beliau. Ibunda beliau – Aminah bintu Wahb – wafat ketika Rasul berusia enam tahun.

Kasih Sayang Sang Kakek

وَجَـــدُّهُ لِلْأَبِ عَبْدُ الْمُطَّـلِبْ (١٠) بَعْدَ ثَمَانٍ مَــاتَ مِنْ غَيْرِ كَذِبْ

“Abdul Muththalib kakek jalur lelaki, wafat usia delapan sang nabi”

Kakek Rasulullah saw dari jalur ayah adalah Abdul Muththalib. Abdul Muththalib wafat saat Rasullah saw berusia delapan tahun (Sang Nadhim menceritakannya) tanpa berdusta.

Bait ini menjelaskan tentang kakek Rasul dari jalur ayah, namanya adalah Abdul Muththalib. Setelah Ibunda Rasul meninggal dunia, Abdul Muththalib adalah orang yang mengasuh, menanggung, dan menjamin kehidupan beliau.

Abdul Muththalib sangat memuliakan dan menyayangi Rasulullah melebihi putra-putranya sendiri. Pernah Muhammad kecil duduk dan bermain di tempat duduk khusus milik Abdul Muththalib di samping Ka’bah. Hal ini memicu paman-pamannya untuk menarik beliau untuk tidak bermain-main di situ. Namun melihat hal itu, Sang Kakek Abdul Muththalib justru berkata “Biarkan dia, Demi Allah, Anak ini memiliki kedudukannya sendiri”.

Kakek Rasul Abdul Muththalib ibn Hasyim ibn Abdi Manaf, memiliki nama asli Syaibat al-Hamd. Julukannya Abdul Muththalib ia dapatkan dari masyarakat Makkah karena mengira Syaibah adalah budaknya al-Muththalib ibn Abdi Manaf yang sebenarnya adalah pamannya.

Buyut Rasul yakni Hasyim meninggal saat Syaibah masih kecil, lalu ia hidup bersama ibunya. Setelah Syaibah tumbuh besar, Al-Muththalib mengambil Syaibat al-Hamd (Abdul Muththalib) dari ibunya lalu mengasuhnya. Meskipun al-Muththalib sudah memperkenalkan Syaibah kepada masyarakat Makkah bahwa ia bukanlah budak melainkan anak dari saudaranya, namun masyarakat Makkah sudah terlanjur terbiasa memanggilnya ‘Abdul Muththalib’.

Ibnu Ishaq berkata: Abdul Muththalib ibn Hasyim wafat ketika Rasulullah berusia delapan tahun.

Bersama Sang Paman, Berdagang, dan Ramalan Nubuwwah

ثُمَّ أَبُــو طَـالِبٍ الْعَـــمُّ كَفَـلْ (١١) خِدْمَــتَهُ ثُــمَّ إِلَى الشَّــامِ رَحَلْ

“Lalu paman Abu Thalib yang merawat, ke negri Syam Rasulullah berangkat,”

وَذَاكَ بَعْــدَ عَــامِ اثْنَيْ عَشَرْ (١٢) وَكَانَ مِنْ أَمْرِ (بَحِــيرَا) مَا اشْتَهَرْ

“Pada saat duabelas usianya, bertemu dengan pendeta Bahira.”

Kemudian paman Abu Thalib yang merawatnya, kemudian Abu Thalib membawa beliau rihlah (bepergian) ke Syam. Hal itu terjadi di usia Rasul yang ke dua belas, dan saat itu pula terjadi perjumpaan dengan pendeta Bahira yang masyhur.

Dua bait di atas menjelaskan tentang masa kecil Rasul di bawah asuhan paman Abu Thalib. Sepeninggalan Abdul Muththalib, Abu Thalib menerima wasiat dari Abdul Muththalib untuk mengasuh baginda Rasulullah. Ia adalah saudara kandung Abdullah, ayah Rasulullah. Ia terkenal sangat peduli dan perhatian terhadap kemenakannya itu.

Pada masa ini, Rasulullah melakukan perjalanan yang kali pertamanya ke Syam. Abu Thalib membawa serta beliau dalam perjalanan dagang ke negeri Syam lantaran ia tidak tega jika kemenakannya itu ditinggal sendirian tanpa sepengawasannya. Jadi keberangkatan Rasulullah ke Syam ini bukan untuk dijadikan Abu Thalib sebagai pembantunya dalam misi dagang, melainkan karena rasa sayang Abu Thalib kepada beliau.

Tanpa diduga-duga, di tengah perjalanan rombongan Abu Thalib mengalami beberapa peristiwa yang sangat menakjubkan. Seperti naungan awan yang selalu menyertai Nabi Muhammad. Dan yang paling mencengangkan adalah perjumpaan dengan seorang pendeta Bahira, ia menyampaikan ramalan-ramalan nubuwwah kepada Abu Thalib terkait anak saudaranya tersebut (Nabi Muhammad). Pesan terpenting dari pendeta Bahira adalah agar rombongan ini segera menarik diri dari perjalanan, sebab ada bahaya yang menghadang yang sudah dinanti-nanti oleh orang-orang Yahudi untuk mencelakai baginda Rasulullah jika perjalanan tersebut tetap dilanjutkan.

Pedagang Jujur, Sukses, dan Cinta Pertama

وَسَارَ نَحْوَ الشَّـامِ أَشْرَفُ الْوَرَى (١٣) فِي عَامِ خَمْسَـــةٍ وَعِشْرِينَ اذْكُرَا

Dan  berangkat ke Syam manusia mulia, di usia ke duapuluh lima

لِأُمِّـــنَا خَــدِيجَـــةٍ مُتَّجِــرَا (١٤) وَعَادَ فِيهِ رَابِحًـــا مُسْتَبْشِـــــرَا

Untuk menjual barang dari Khadijah, pulang bawa untung dengan wajah cerah

فَكَانَ فِيـــــهِ عَقْــدُهُ عَلَيْـهَا (١٥) وَبَعْدَهُ إِفْضَــــــاؤُهُ إِلَيْــــــهَا

Kemudian melangsungkan akad nikah, lalu memutuskan tinggal satu rumah

Dan berangkatlah Asyraf al-Wara (manusia termulia yakni Nabi Muhammad saw) ke Syam pada usia dua puluh lima tahun, dalam misi perdagangan milik Khadijah dan kemudian kembali penuh bahagia dengan membawa keuntungan. Di saat itulah, beliau melaksanakan akad nikah dengan Khadijah dan beliau tinggal bersamanya.

Dalam tiga bait ini penadham menjelaskan tentang perjalanan Rasulullah yang kedua ke Syam, yakni di usia yang ke-25. Ini adalah misi kerjasama dagang yang beliau jalani dengan Ibu Khadijah. Ibu Khadijah menaruh kepercayaan besar kepada baginda rasul setelah mendengar informasi bahwa Nabi Muhammad adalah sosok yang mulia, jujur, amanah, dan selalu menepati janji. Dan hal ini terbukti dengan keuntungan besar yang diperoleh Rasul dalam misi dagang tersebut.

Al-Hafidh Ibn Katsir menceritakan: Rasulullah melakukan rihlah keduanya ke negeri Syam untuk memasarkan barang dagangan Khadijah binti Khuwailid disertai seorang ghulam yang bernama Maysarah melalui akad qiradl.

Menurut pendapat lain, akad di antara Rasul dan Khadijah bukan akad qiraadl melainkan akad mudlarabah di mana salah seorang dari pelaku akad ini sebagai pemilik modal dan yang lainnya sebagai pekerja atau yang menjalankannya.

Dalam misi dagang tersebut, Maysarah menyaksikan sesuatu yang menakjubkan pada diri Rasulullah. Sekembalinya dari perjalanan ini Maysarah menceritakan hal-hal hebat tersebut kepada majikannya, Khadijah. Mendengar penuturan tersebut, muncullah rasa kagum (cinta) di hati Khadijah, sehingga kemudian ia berniat untuk menikah dengan Rasulullah. Kemudian Rasulullah mempersunting Khadijah di usia dua puluh lima tahun dan Khadijah waktu itu berusia empat puluh tahun.

Khadijah adalah perempuan pertama yang dipersunting Rasulullah, dan beliau tidak menikah lagi hingga Khadijah wafat. Khadijah adalah sosok perempuan yang sangat hebat dan memiliki banyak sekali keutamaan. Sebagaimana dijelaskan dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Ibu Aisyah yang artinya.

“Tak ada seorangpun istri Rasulullah yang aku cemburui melebihi kecemburuanku terhadap Khadijah, padahal aku tak pernah berjumpa dengannya, akan tetapi baginda Nabi sering menyebut-nyebutnya. Ketika beliau menyembelih seekor kambing, maka beliau kemudian memotongnya sebagian untuk kemudian dibagikan sebagai sedekah atas Khadijah. Seringkali aku mengungkapkan hal ini kepada Nabi, seakan-akan tak ada perempuan lain di dunia ini selain Khadijah? Beliau berkata: sesungguhnya dia selalu ada, darinya aku memiliki anak (keturunan).”

Dalam syair ini ibu Khadijah ra disebut sebagai “umminā”, padahal dalam peristiwa itu ia belum menjadi istri Rasul. Alasan kenapa syair ini menyebut dengan “umminā” adalah karena beliau akan menjadi istri Rasul setelahnya. Istri-istri Rasulullah dipanggil sebagai “ibu” atau “ummu al-mu’minin” berdasarkan ayat dalam QS. al-Ahzab: 6:

ۗوَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ …

“…. dan isteri-isterinya (Nabi) adalah ibu-ibu mereka…”

Bersambung.

‘Mencintai Nabi Muhammad Ala al-Urjuzah al-Mi’iyyah’ diampu langsung oleh Ust. Ubaidil Muhaimin. Nantikan update selanjutnya eksklusif hanya di insantri.com.

Tinggalkan Komentar