Apa itu Mahram? Mengetahui Definisi Mahram, Jenis-Jenis Mahram dan Siapa Saja Mahram

Seorang wanita tampak sangat anggun dengan hijabnya berjalan menyusuri kampung, kemudian ia bertemu dengan pria yang mana ia adalah teman sekolahnya dulu. Pria tersebut menyodorkan tangannnya kepada wanita tersebut seraya memberi salam dan menyapa, “Assalamu ‘alaikum. Apa kabar?”. Lalu wanita tersebut membuat kode minta maaf dengan tangannya karena enggan bersentuhan dengan lelaki yang bukan mahramnya dan berkata, “Waalaikum salam, iya baik, maaf ya bukan muhrim”.

Kita perlu mengapreasiasi wanita tersebut karena ia benar jika dia tidak ingin bersentuhan dengan lelaki yang bukan mahram-nya untuk menghindari dosa dan juga fitnah. Walaupun, di sini terlihat ia menggunakan istilah yang salah kaprah. ‘Muhrim’ adalah orang yang berihram, seharusnya ia mengatakan dengan istilah ‘mahram’.

Terlebih dia menjawab salam dengan ungkapan yang kurang tepat, yakni ‘Waalaikum salam’. Karena ‘as-salaam’ dalam jawaban salam memiliki ‘al’ di dalamnya. Sehingga yang benar adalah ‘wa ‘alaikumus salam’ bukan ‘waalaikum salam’. Namun sekali lagi, kita perlu mengapresiasi keengganan wanita tersebut dalam bersentuhan dengan lelaki yang bukan mahram-nya karena akhlak seperti ini cukup langka untuk kita temui terlebih di zaman modern ini.

Dalam agama Islam, kita mengenal istilah ‘mahram’ dan ‘bukan mahram’ sehingga dua hal tersebut pula lah yang mendasari sejauh mana implikasi hukum dan batasan-batasan antar hubungan antara laki-laki dan perempuan. Karena syariat Islam sudah pasti menjunjung tinggi kehormatan manusia sehingga perlu adanya aturan yang mengaturnya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Definisi Mahram

Mahram adalah orang yang diharamkan untuk dinikahi yang bisa disebabkan oleh salah satu hubungan baik hubungan nasab (keturunan), hubungan mushaharah (kekerabatan karena pernikahan) dan hubungan radla’ah (sepersusuan).

Hal ini berdasarkan Surat An-Nisa’ ayat 22, 23 dan 24, Al-Baqarah 221 serta beberapa hadits di mana dalam dalil-dali tersebut disebutkan siapa saja yang termasuk mahramat (wanita-wanita yang haram dinikahi).

Siapa Saja yang Termasuk Mahram?

Sebelum mengetahui siapa saja yang termasuk mahram, perlu kita ketahui juga jenis-jenis mahram terlebih dahulu. Mahram dibagi menjadi dua macam, yakni: mahram ta’bidi, dan mahram ghairu ta’bidi.

Mahram ta’bidi adalah mahram yang bersifat selamanya sedangkan mahram ghairu ta’bidi adalah mahram yang tidak selamanya orang tersebut menjadi mahram jika ada sebab yang mengubah kemahramannya.

Mahram Ta’bidi

Untuk memahami tulisan ini maka pembaca harus memposisikan diri sesuai jenis kelaminnya. Contoh: Jika disebutkan ibu adalah mahram, maka pembaca yang laki-laki memposisikan diri sebagai anak sehingga ia membayangkan ibunya sebagai mahram yang haram ia nikahi. Sedangkan pembaca perempuan membayangkan dirinya sebagai sosok ibu yang memandang anak laki-lakinya sebagai mahramnya.

Yang termasuk mahram ta’bidi adalah sebagai berikut:

  1. Ibu

Ibu kandung adalah mahram bagi anak lelakinya sebab keturunan (mahram bi an-nasab). Dalam surat An-Nisa’: 23, ibu disebutkan dengan ungkapan ‘ummahaatukum’. Kata ‘ummahaatukum’ juga mewakili ‘al-jaddaat’ atau nenek baik dari pihak ayah atau pihak ibu.

  1. Anak perempuan

Anak perempuan adalah mahram bagi ayah kandungnya sebab keturunan (mahram bi an-nasab). Dalam surat An-Nisa’: 23, anak perempuan disebutkan dengan ungkapan ‘banaatukum’. Kata ‘banaatukum’ juga mewakili ‘banat al-awlaad’ atau cucu baik dari anak laki-laki maupun perempuan.

  1. Saudara Perempuan (Kakak atau Adik Perempuan)

Saaudara perempuan baik kakak atau adik adalah mahram bagi saudara laki-lakinya sebab keturunan (mahram bi an-nasab). Dalam surat An-Nisa’: 23, saudara perempuan disebutkan dengan ungkapan ‘akhawaatikum’ yang artinya saudara perempuan baik ‘ukhtun syaqiqah’ yang sekandung (ayah ibunya sama) dan ‘ukhtun li ab’ yang seayah atau ‘ukhtun li umm’ yang seibu adalah mahram bagi saudara laki-lakinya.

  1. Bibi

Bibi atau saudara perempuan orang tua adalah mahram bagi keponakan lelakinya sebab keturunan (mahram bi an-nasab). Dalam surat An-Nisa’: 23, bibi disebutkan dengan ungkapan ‘’ammaatikum’ dan ‘khaalaatikum’. ‘’Ammaatikum’ merujuk kepada saudara perempuan ayah sedangkan ‘khaalaatikum’ merujuk kepada saudara perempuan ibu. Bibi adalah mahram secara mutlak entah itu dia sekandung atau hanya seayah atau hanya seibu dengan ayah atau ibu.

’Ammatikum’ dan ‘Khaalaatikum’ juga mewakili ‘akhawaat al-ajdaad’ yaitu saudara perempuan kakek dan ‘akhawaat al-jaddaat’ saudara perempuan nenek.

  1. Keponakan perempuan

Keponakan perempuan atau anak-anak dari saudara adalah mahram bagi pamannya sebab keturunan (mahram bi an-nasab). Dalam surat An-Nisa’: 23, keponakan disebutkan dengan ungkapan ‘banaat al-akhi’ yang memiliki arti anak-anak perempuan dari saudara laki-laki dan ‘banaat al-ukhti’ yang memiliki arti anak-anak perempuan saudara perempuan. Termasuk mahram yaitu anak-anak perempuan dari keponakan dan keturunan di bawahnya seterusnya yang artinya posisi laki-laki tersebut adalah saudara kakek atau saudara nenek.

  1. Ibu radla’/Ibu yang menyusui

Seorang anak belum tentu disusui oleh ibu kandungnya, terkadang ada perempuan lain yang menyusui anak. Perempuan tersebut akhirnya menjadi ibu radla’ sekaligus mahrambagi anak yang disusuinya sebab penyusuan (mahram bi arradla’ah). Hal ini didasari dengan An-Nisa’: 23 dengan ungkapan ‘ummahaatukumullaati ardla’nakum’.

  1. Saudara-saudara perempuan radla’ah/sepersusuan

Saudara perempuan radla’ah baik anak kandung ibu radla’ atau anak-anak perempuan lain yang juga menyusu kepadanya adalah mahram bagi saudara laki-laki radla’ah-nya sebab penyusuan (mahram bi ar-radla’ah). Dalam surat An-Nisa’: 23, saudara perempuan radla’ah disebutkan dengan ungkapan ‘akhawaatukum min ar-radla’ah’.

Termasuk mahram juga adalah para bibi, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki radla’ah atau dari saudara perempuan radla’ah dan anak perempuan dari saudara mereka, sebagaimana hadits Nabi saw, “diharamkan dari radla’ah sesuatu yang diharamkan sebab nasab” (HR. Bukhari dan Muslim).

  1. Ibu mertua

Ibu mertua adalah mahram bagi menantunya sebab kerabat pernikahan (mahram bi ash-shihri). Dalam surat An-Nisa’: 23, ibu mertua diungkapkan dengan kata ‘ummahaatu nisaaikum’ atau ibu-ibunya istri-istrimu.

  1. Anak tiri dari istri

Anak tiri dari istri adalah mahram bagi ayah sambungnya sebab kerabat pernikahan (mahram bi ash-shihri). Dalam surat An-Nisa’: 23, anak tiri dari istri diungkapkan dengan ‘rabaaibukumullaatii fii hujuurikum min an-nisaaikumullaatii dakhaltum bihinna’ yang artinya anak-anak tirimu yang ada dalam rumahmu dari istri-istrimu yang kamu sudah berhubungan badan dengannya.

Secara gamblang disebutkan bahwa walaupun anak tiri bukanlah anak kandung namun mereka bisa menjadi mahram bagi ayah sambungnya jika ayah sambungnya sudah berhubungan badan dengan ibu anak tersebut. Namun jika sang ayah sambung belum berhubungan badan dengan istrinya maka anak istrinya tersebut tidak menjadi mahram.

  1. Istrinya anak kandung

Istri anak kandung atau menantu wanita adalah mahram bagi bapak mertuanya sebab kekerabatan pernikahan (mahram bi ash-shihri). Dalam surat An-Nisa’: 23, istri anak kandung disebutkan dengan ungkapan ‘halaailu abnaaikumulladziina min ashlaabikum’ yakni istri-istri anak-anakmu yang berasal dari tulang rusukmu. Sehingga, hal ini tidak termasuk dengan istri anak angkat.

  1. Istri ayah

Istri ayah atau ibu sambung adalah mahram bagi anak tirinya sebab kekerabatan pernikahan (mahram bi ash-shihri). Hal ini diungkapkan dalam surat An-Nisa’: 22 dengan ungkapan ‘maa nakaha aabaaukum min an-nisa’’.

Semua mahram yang telah kami sebutkan di atas adalah mahram ta’bidi sehingga mereka akan menjadi mahram untuk selama-lamanya sehingga haram pula menikah dengan mereka. Beberapa hukum yang berkaitan dengan mahram ta’bidi contohnya adalah tidak batalnya wudhu jika bersentuhan kulit dengan mereka (An-Nisa’: 43). Semisal menantu pria bersalaman dengan ibu mertuanya maka wudhunya tidak batal.

Mahram Ghairu Ta’bidi

Mahram ghairu ta’bidi antara lain:

  1. Saudara perempuan istri

Saudara perempuan istri baik kakak ipar maupun adik ipar, baik kandung, seayah atau seibu dan juga saudara perempuan radla’nya istri adalah mahram ghairu ta’bidi bagi sang suami sehingga haram menikah dengan mereka selama ia belum berpisah dengan istrinya.

Mereka dikatakan ghairu ta’bidi karena hukum keharaman menikah tersebut tidaklah selamanya karena jika seorang lelaki sudah bercerai atau berpisah dengan istrinya maka ia boleh menikahi kakak atau adik iparnya (saudara perempuan istri).

Hal ini diungkapkan dalam An-Nisa’: 23 dengan ungkapan ‘wa an tajma’u  baina al-ukhtaini’ yang artinya “dan (diharamkan) kamu mengumpulkan dua saudara perempuan (dinikah dalam satu masa yang sama)”.

Lalu disamakan dengan status saudara perempuan istri anggota keluarga istri yang lain yaitu para bibi istri dengan adanya hadits dari Rasulullah.

  1. Perempuan yang masih bersuami

Perempuan yang masih bersuami adalah mahram ghairu ta’bidi bagi lelaki-lelaki lain karena mereka masih dalam hubungan pernikahan dengan suaminya maka mereka tidak bisa dinikahi. Sehingga mereka halal untuk dinikahi ketika mereka sudah berpisah/bercerai dengan suami mereka dan menjalankan masa iddah-nya.

Hal ini berdasarkan An-Nisa’: 24 dengan ungkapan ‘al-muhshanaat min an-nisaa’’.

  1. Wanita musyrik

Wanita musyrik adalah orang yang haram untuk dinikahi oleh orang mu’min. Orang musyrik adalah orang yang menyekutukan Allah dengan tuhan lainnya, termasuk orang yang tidak percaya bahwa Allah adalah tuhan, orang yang tidak percaya Nabi Muhammad adalah utusan Allah dan orang yang mengingkari ketetapan al-Quran seperti menganggap shalat lima waktu adalah tidak wajib dan berzina tidaklah haram.

Tentu saja keharaman ini tidaklah bersifat selamanya karena jika mereka beriman maka mereka menjadi boleh untuk dinikahi. (Al-Baqarah: 221)

  1. Lelaki musyrik

Sama dengan wanita musyrik, lelaki musyrik adalah orang yang haram untuk dinikahi oleh wanita mu’minah. Dan menjadi halal untuk dinikahi jika mereka beriman/masuk Islam (Al-Baqarah: 221).

Mahram ghairu ta’bidi adalah mahram yang tidak selamanya haram untuk dinikahi jika ada syarat yang terpenuhi, sehingga mereka tetap membatalkan wudlu jika bersentuhan kulit.

Berjabatan tangan misalnya dengan kakak ipar, adik ipar, bibinya istri adalah membatalkan wudlu. Namun seperti di awal kami sebutkan bersentuhan dengan ibu mertua tidak membatalkan wudlu karena ia adalah mahram ta’bidi.

Penutup

Mahram bisa disebabkan oleh tigal hal yaitu: nasab, mushaharah dan radlaah. Lalu mahram dibagi menjadi dua, yaitu: mahram ta’bidi dan mahram ghairu ta’bidi.

Sehingga yang bukan mahram disebut dengan ghairu mahram atau ajnabiyyah. Mereka wanita selain yang disebutkan sebagai mahram adalah wanita-wanita yang boleh untuk dinikahi ‘wa ahalla lakum maa waraaa dzaalikum (An-Nisa’: 24)’.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa di dunia ini lebih banyak jumlah wanita ghairu mahram dengan wanita yang mahram. Termasuk ghairu mahram adalah sepupu atau anak dari paman atau bibi (Bahasa Jawa: misanan), sehingga boleh menikahi sepupu dan wudlu menjadi batal apabila bersentuhan kulit dengan mereka. (al-Majmȗ’ Syarhul Muhadzdzab, [Kairo, Darul Hadis: 2010], juz XVI, halaman 495).

Begitu juga dengan hukum menikah antara besan dengan besan, menikahi anak angkat/adopsi yang bukan anak kandung atau anak istri yang sudah disetubuhi, kemudian pernikahan antara saudara tiri yang ayah sekaligus ibunya berbeda adalah boleh karena pada dasarnya mereka bukanlah mahram.

Itu dia penjelasan mengenai mahram, jenis-jenis mahram dan siapa saja yang termasuk mahram. Semoga bermanfaat.

Tinggalkan Komentar