3 Kunci Fundamental yang Harus Dimiliki oleh Santri

Pendidikan di pondok pesantren memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan pemahaman agama bagi para santri. Dalam tulisan ini, penulis ingin membagikan pendapatnya mengenai tiga kunci fundamental yang harus dimiliki oleh seorang santri. Entah pembaca mau setuju atu tidak? Namun, menurut penulis kemerosotan kualitas pendidikan di pesantren yang terjadi saat ini dari kompetensi santri hingga kredibilitas pengelolanya (pengasuh atau kyai) tidak lepas dari tiga kunci fundamental yang akan penulis sebutkan.

Seperti yang kita ketahui, meskipun kesempatan belajar di pondok pesantren dapat berbeda dan bervariasi bagi setiap individu dari segi waktu dan fasilitas, setidaknya ada tiga kunci fundamental yang harus dimiliki oleh seorang santri agar ia tetap berkembang dan mampu berkontribusi dengan baik dalam masyarakat.

Tiga kunci fundamental ini akan menjadi modal dasar bagi para santri untuk tetap bisa mengembangkannya ilmunya serta beradaptasi pada perubahan tren, budaya dan teknologi. Ketiga kunci fundamental tersebut antara lain:

  1. Logika yang Sehat

Logika yang sehat menjadi dasar penting bagi seorang santri untuk dapat memahami ajaran agama dengan baik dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam belajar agama, kemampuan untuk menganalisis, memahami, dan merenungkan ajaran-ajaran agama secara logis akan membantu santri dalam menghadapi berbagai tantangan dan pertanyaan yang muncul dalam kehidupan nyata. Logika yang sehat juga memungkinkan santri untuk melihat hubungan antara ajaran agama dengan realitas sosial dan konteks zaman yang berbeda.

Al-Quran secara umum juga berulang kali mengajak manusia untuk menggunakan daya pikir, rasio dan logikanya melalui ayat-ayat yang sangat banyak jumlahnya seperti “afalaa ta’qiluuna”, “afalaa tatafakkaruuna”, “la’allakum tatafakkaruuna”, “la’allakum ta’qiluuna”, dan “in kuntum ta’qiluuna”.

Artinya dalam beragama juga memperlukan pemahaman logis. Daya pikir akal menjadi krusial dalam beragama karena tidak mungkin seseorang bisa beragama tanpa menggunakan akal pikirnya.

Dalam hal ini, Imam al-Ghazali berpendapat bahwa, “Barangsiapa yang tidak mempunyai pengetahuan tentang Ilmu Mantiq maka ilmunya tidak dapat dipertanggungjawabkan” (مَنْ لَا مَعْرِفَةَ لَهُ بِالمَنْطِقِ لَا وُثُوقَ بِعِلْمِهِ).

Nash-nash dan pendapat ulama menguatkan pentingnya logika yang sehat dalam hidup dan beragama sehingga sudah semestinya santri harus memiliki logika yang sehat dengan mempelajari ilmu manthiq, dan mengasah logikanya melalui ilmu-ilmu lain seperti ilmu fiqh dan ilmu bahasa.

  1. Akhlak yang Baik

Akhlak yang baik adalah pondasi utama santri dalam berinteraksi dengan siapa pun di sekitarnya. Meskipun sudah tidak berada di lingkungan pesantren, sikap dan perilaku yang baik tetap harus dijaga. Seorang santri yang memiliki akhlak yang baik akan mampu memberikan contoh yang positif bagi masyarakat sekitar.

Sikap jujur, amanah, ikhlas, dan kasih sayang terhadap sesama manusia adalah beberapa aspek penting dari akhlak yang harus diinternalisasi oleh seorang santri. Kemampuan dalam mengontrol hawa nafsu, tidak hasud, tidak sombong dan cinta pada ilmu dan ulama juga tak kalah penting untuk menjadi akhlak mulia yang menuntun santri dalam hidup bermasyarakat.

Semua ini akan masuk akal ketika kita mengingat Nabi Muhammad sendiri mengatakan bahwa diri beliau diutus oleh Allah hanya untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia. Sedangkan upaya para santri dalam mencari ilmu itu sama dengan mewarisi warisan Nabi Muhammad saw termasuk tanggung jawab moral menjadi pribadi berakhlakul karimah.

  1. Kemampuan dalam Melakukan Penggalian Informasi dalam Sumber-Sumber Ilmu Agama yang Berbahasa Arab

Penguasaan bahasa Arab dan kemampuan dalam menggali informasi dari sumber-sumber ilmu agama berbahasa Arab menjadi fundamental penting bagi seorang santri. Di sini, saya ingin mengutip Yusuf 12: 2:

إِنَّآ أَنزَلْنَٰهُ قُرْءَٰنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Artinya: Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.

Berbagai disiplin ilmu Bahasa Arab seperti nahwu, sharaf, ma’ani dan balaghah adalah kunci untuk memahami teks-teks suci Al-Quran dan hadis, serta literatur-literatur agama yang berharga. Dengan kemampuan ini, seorang santri memungkinkan diri untuk melihat sumber ajaran Islam secara langsung serta dapat terus belajar dan mengembangkan pemahaman agamanya secara mandiri maupun kelompok, serta dapat berkontribusi dalam mengajarkan ajaran agama kepada masyarakat sekitar.

super santri insantri.com

Santri yang baik tidak dilihat sekedar dari peci, sorban dan sarung yang ia kenakan. Santri yang baik juga tidak dilihat dari berapa lamanya ia mondok dan berapa ratus kitab yang ia pelajari dan koleksi. Namun, bagi saya dan pembaca yang setuju dengan pendapat saya, santri yang baik adalah mereka yang mau memegang ketiga kunci ini.

Apa yang terjadi jika santri tidak memiliki salah satu atau ketiga kunci fundamental ini?

Jika seorang santri tidak memiliki salah satu atau ketiga kunci fundamental yang telah disebutkan sebelumnya, ini dapat berdampak negatif dan menjadi bencana pada perkembangan masyarakat. Mari kita lihat dampak dari ketidakberadaan masing-masing fundamental ini:

  1. Tidak Memiliki Logika yang Sehat:

Ketika seorang santri tidak memiliki logika yang sehat, ia mungkin mengalami kesulitan dalam memahami ajaran agama dengan benar. Pemahaman yang dangkal atau salah terhadap ajaran agama dapat mengarah pada praktik-praktik yang tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai agama. Selain itu, dalam berinteraksi dengan masyarakat yang memiliki beragam pandangan, seorang santri tanpa logika yang sehat mungkin sulit memahami dan merespons perbedaan pendapat dengan bijak.

Terlebih tanpa adanya logika yang sehat, santri bisa menjadi korban atas informasi-informasi baru yang menjerumuskan karena kesesatan dalam pola pikirnya. Lebih parah lagi, ia juga bisa menyesatkan atau merugikan orang lain dengan kedangkalan berpikirnya yang jauh dari pemikiran Islam dan terjerembab pada praktek-praktek yang jauh dari syariat.

  1. Tidak Memiliki Akhlak yang Baik:

Ketidakberadaan akhlak yang baik dapat menyebabkan seorang santri menjadi pribadi yang tidak bertanggung jawab, tidak jujur, atau tidak memiliki empati terhadap orang lain. Hal ini dapat merusak citra agama dan menimbulkan ketidakpercayaan dari masyarakat sekitarnya. Kurangnya akhlak yang baik juga dapat membuat seorang santri sulit berintegrasi dalam komunitas dan berkontribusi secara positif dalam berbagai aktivitas sosial.

  1. Tidak Memiliki Kemampuan dalam Melakukan Penggalian Informasi dalam Sumber-Sumber Ilmu Agama yang Berbahasa Arab:

Tidak memiliki kemampuan dalam mengakses dan memahami sumber-sumber ilmu agama berbahasa Arab dapat membuat seorang santri terbatas dalam memperdalam pemahaman agamanya, mengakses sumber-sumber rujukan tidak langsung seperti terjemah, potongan video atau dalil yang ada di kalender yang riskan dari kerancuan tanpa pemahaman yang menyeluruh. Ketidakmampuan ini mungkin menghambat kemampuan untuk menjawab pertanyaan atau merespons tantangan terkait agama yang muncul di masyarakat. Selain itu, kurangnya penguasaan bahasa Arab juga dapat menghambat kemampuan untuk berdiskusi dan berkomunikasi dengan ulama atau cendekiawan agama.

Secara keseluruhan, ketidakberadaan salah satu atau ketiga fundamental tersebut dapat mengakibatkan seorang santri memiliki pemahaman agama yang dangkal, perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama, dan keterbatasan dalam berkontribusi dalam lingkungan masyarakat atau dalam istilah paling gampang bisa disebut sebagai “santri yang melompong” dan na’udzu billah jika ia menjadi pemuka agama maka ia menjadi pemuka agama yang kosong tanpa isi serta tersesat dan menyesatkan. Oleh karena itu, penting bagi seorang santri untuk berupaya mengembangkan dan memperkuat ketiga kunci fundamental ini guna membangun fondasi yang kuat dalam menjalani kehidupan di masyarakat.

Dalam menghadapi tantangan dunia modern, tiga kunci fundamental ini tetap relevan dan penting bagi seorang santri. Dengan logika yang sehat, akhlak yang baik, dan kemampuan dalam mengakses sumber-sumber ilmu agama berbahasa Arab, seorang santri dapat menjadi pribadi yang positif dan mampu memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat.

Mudhofar – X @Mudhoffarun

Tinggalkan Komentar