Apa itu niat?

Apa itu niat?

Niat (نِيَّةٌ/niyyat) secara bahasa adalah tujuan (al-qashdu) atau maksud secara umum. Maka dalam arti bahasa—baik niat bersamaan dengan pekerjaan atau jatuh sebelumnya—tetap dinamakan niat.

Sedangkan niat secara syariat adalah menuju atau menyengaja suatu ibadah bersamaan dengan melakukan ibadah tersebut. Seperti halnya niat wudlu yang dilakukan ketika membasuh wajah dan niat sholat yang dilakukan ketika takbiratul ihram.

Adapun tempat niat adalah hati sedangkan waktu niat adalah awal mengerjakan ibadah.

Tempat niat adalah hati maka niat hanyalah bisa dilakukan dengan hati bukan dengan lisan. Dan waktu niat adalah awal mengerjakan ibadah kecuali niat puasa yang dilakukan sebelumnya karena mustahil melakukan niat di awal puasa yaitu ketika fajar kedua terbit (awal masuk waktu subuh). Sehingga niat puasa dilakukan di malam hari sebelum berpuasa bukan di awal puasa.

Adapun tujuan atau menyengaja perbuatan sebelum dilakukannya perbuatan dalam fikih disebut dengan azam. Seperti halnya ketika seseorang bertujuan untuk melakukan sholat isya’ pada tengah malam ketika mendengar adzan sholat isya’.

Dasar atau dalil niat

Dasar atau dalil dalam niat adalah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim sebagai berikut:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ

Artinya: “Sesungguhnya sahnya amal-amal itu berdasarkan niyat.”

Suatu amal tidak sah tanpa niat karena unsur ibadah tidak terlepas dari dua hal yakni perbuatan hati dan perbuatan fisik.

Dengan niat suatu ibadah akan bisa dibedakan dari suatu kebiasaan (‘adah), semisal mandi junub dan mandi biasa (yang juga dilakukan oleh non-muslim dan binatang).

Juga dengan niat suatu ibadah bisa dibedakan berdasarkan tingkatannya, seperti sholat shubuh dan sholat fajar.

Niat dalam bahasa yang paling mudah Anda mengerti

Karena niat adalah perbuatan hati maka niat bukanlah ucapan lisan seperti ‘ushalli’ dan ‘nawaitu’. Melainkan, ia adalah bahasa hati yang tidak terbatas pada bahasa mana pun. Bahasa hati hanya bisa dimengerti oleh pemilik hati itu sendiri, ia tidak memiliki suara dan tidak memiliki huruf (Bahasa Jawa: krendek).

segelas kopi

Semisal ada sebuah kopi di dalam gelas. Kemudian Anda berkehendak untuk meminumnya. Anda angkat gelas itu lalu Anda menempelkan bibir Anda ke mulut gelas dengan tujuan untuk meminum kopi tersebut.

Kesengajaan Anda untuk meminum kopi tersebut di saat minuman itu mulai mengalir dan membasahi kerongkongan Anda adalah niat. Dan bisa kita katakan bahwa niat Anda sah dalam meminum kopi dengan analogi jika meminumnya adalah ibadah.

Tanpa merapalkan dan tanpa berkata dalam hati ketika minuman kopi tersebut mengalir di tenggorokan Anda, “Saya berniat minum kopi dua tegukan agar tidak mengantuk lillahi ta’ala”, hal itu sudah dinamakan niat. Karena sebenarnya hati Anda sudah berkata dengan bahasa hati. Walaupun ia tidak berupa suara dan huruf namun Anda bisa memahaminya.

Untuk mempermudah lagi kami berikan contoh yang semisal dengan kejadian di atas, namun yang membedakannya adalah Anda hendak minum teh, sedangkan jelas-jelas yang ada di dalam gelas tersebut adalah kopi. Tentu niat Anda tidak akan sah karena dibutuhkan kesadaran, kesengajaan, dan ketepatan dalam meminum teh.

Sama halnya dengan ibadah, wudhu misalnya. Ketika membasuh wajah, orang yang berwudhu secara sadar menyengaja pekerjaan ‘wudhu’ itu untuk menghilangkan hadats kecil. Baik wudhu tersebut untuk sholat, membaca al-Quran, atau secara mutlak ingin berwudhu untuk ibadah apa saja, itu semua tergantung motif si pelaku. Itulah yang disebut niat.

Istilah ‘nawaitu’ dan ‘usholli

Seperti yang kita ketahui  bahwa ‘nawaitu’ dan ‘usholli’ merupakan terobosan fiqh yang tidak kita temui dalam al-Quran dan Hadits secara letterlijk. Sebelum dikenalnya istilah ‘nawaitu’ dan ‘usholli’, para sahabat pun berniat dalam beribadah.

Fiqih hanya memberikan gambaran dari bahasa niat tersebut dengan bahasa yang lebih mudah dipahami. Tujuannya untuk mempermudah pemahaman serta memberikan gambaran dan batasan pada apa yang harus ada dalam niat.

Semisal niat sholat dhuhur yang andai kata diucapkan menjadi ‘ushalli fardla adh-dhuhri’ atau ‘saya sedang sholat fardlu dhuhur’.

Dengan ungkapan tersebut, fikih menunjukkan adanya tigal hal yang wajib ada pada niat sholat fardlu yaitu menyengaja perbuatan sholat, menyadari sholat yang dilaksanakan adalah berhukum fardlu dan menentukan sholat itu sebagai sholat dhuhur.

Tujuan niat

Niat memiliki tujuan untuk membedakan ibadah yang serupa dengan kebiasaan (عادة) atau juga untuk bisa membedakan derajat-derajat ibadah yang satu dengan yang lainnya.

Contoh tujuan niat untuk membedakan ibadah yang serupa dengan kebiasaan adalah duduk di dalam masjid. Dengan adanya niat, maka bisa menjadi berbeda antara i’tikaf yang bermuatan ibadah dan duduknya orang pada umumnya.

Contoh yang lain adalah mandi. Jika mandi diniatkan untuk membersihkan tubuh dari kotoran atau untuk menyegarkan badan maka ia menjadi ‘adah (kebiasaan).  Adapun jika ia diniatkan untuk kesunnahan hari jumat maka menjadi bermuatan ibadah.

Adapun tujuan niat untuk membedakan antara derajat-derajat ibadah satu dengan yang lain contohnya adalah mandi wajib, mandi sunnah, dan mandi mubah. Dengan niat yang berbeda maka menghasilkan sesuatu yang berbeda pula tergantung pada niatnya.

Apakah semua ibadah membutuhkan niat?

Seperti halnya keterangan mengenai tujuan niat di atas. Maka tidak semua ibadah mewajibkan niat untuk sah.

Ada dua ibadah yang tidak mewajibkan niat yaitu, ibadah yang tidak menyerupai kebiasaan dan ibadah yang bersifat meninggalkan.

Ibadah yang tidak menyerupai kebiasaan seperti membaca al-Quran, membaca shalawat dan berdzikir. Maka tidak disyariatkan niat di dalamnya.

Adapun ibadah yang bersifat meninggalkan juga tidak mewajibkan niat. Contohnya seperti meninggalkan zina, mencuri, berjudi, dan minum khamr. Karena tanpa niat pun sudah tercapai hal yang dituju.

Sedangkan dalam contoh menghilangkan najis, terdapat dua unsur di dalamnya yakni, pekerjaan dan meninggalkan. Dan mayoritas ‘ulama berpendapat pada tidak adanya keharusan niat di dalamnya karena lebih menyerupai pada ibadah meninggalkan.

Begitu juga dengan memandikan mayyit. Pendapat yang paling shahih (al-ashah) adalah tidak adanya keharusan niat. Adapun niat dalam memandikan mayyit menjadi berhukum sunnah.

Tinggalkan Komentar