Perjalanan Imam Asy-Syafi’i dalam Menuntut Ilmu pada Imam Besar Malik ibn Anas

Perjalanan Imam Asy-Syafi’i dalam Menuntut Ilmu pada Imam Besar Malik ibn Anas

Perjalanan Imam Syafi'i Menuntut Ilmu pada Imam Besar Malik ibn Anas
illustrated by Mudhofar

Biografi Imam Syafii

Sebagai umat muslim dan sebagai penganut madzhab syafii, kurang afdhol rasanya jika tidak mengetahui kisah atau sejarah perjalanan kehidupan salah satu empat imam besar madzhab fiqh ini. Setidaknya dengan membaca tulisan ini, semoga kita menjadi penganut madzhab yang mengenali imamnya sendiri dan bisa menghargai perjuangan, jerih payah, dan proses agung yang telah dilalui oleh Imamuna Asy-Syafii rahimahullahu dalam mendalami al-Quran dan as-Sunah, ber-istiqra’, dan ber-ijtihad. Lahu al-Fatihah.

Profil Imam Syafii

Imam Syafii memiliki nama laqob yakni Abu Abdillah dengan nama lengkap Muhammad ibn Idris ibn al-Abbas ibn Utsman ibn Syafi’ ibn as-Sa’ib ibn Ubaid ibn Yazid ibn al-Muthalib ibn Abdi Manaf. Nasab beliau bertemu dengan Rasulullah shollallahu alaihi wa sallama pada kakeknya yang bernama Abdu Manaf. Dan dalam nasabnya ini terlihat bahwa nisbat asy-Syafi’iy ternyata diambil dari kakek cicitnya yang bernama Syafi’.

Beliau Lahir pada tahun yang sama ketika Imam Abu Hanifah meninggal yakni pada tahun 150 H. dan beliau wafat pada umur 54 tahun ketika waktu Isya’ di malam Jum’at dan dikuburkan pada waktu ashar hari Jum’at. Hari itu adalah hari akhir di bulan Rajab tahun 204 H.

Perjalanan Menuntut  Ilmu

Para ahli sejarah menyebutkan bahwa Imam Asy-Syafi’i adalah orang yang sangat miskin sewaktu kecil. Ketika keluarganya menitipkannya di salah satu maktab untuk menimba ilmu, mereka tidak memiliki ongkos untuk diberikan kepada guru yang mengajar di maktab tersebut hingga guru tersebut tidak menunaikan tugasnya dengan baik. Ketika guru tersebut mengajarkan anak-anaknya, Imam Asy-Syafi’i kecil diam-diam memperhatikan betul apa yang diajarkan hingga ia bisa memahami dengan cepat pelajaran tersebut. ketika sang guru beranjak dari tempatnya, maka Imam Asy-Syafi’i  mengajarkan kembali pelajaran tersebut kepada anak-anak sang guru.

Melihat hal ini, sang guru lalu berpikir bahwa Imam Asy-Syafi’i cukup baginya sebagai pengganti untuk mengajarkan anak-anaknya dan ia pun berhenti untuk mengharapkan imbalan dari keluarga Imam Asy-Syafi’i. Sang guru pun mengajar Imam Asy-Syafi’i hingga beliau dapat menghafalkan al-Quran pada saat umur tujuh tahun.

Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ketika saya telah mengkhatamkan al-Quran, maka saya pun mulai masuk ke dalam masjid untuk belajar kepada ulama-ulama dan menghafal hadits. Saya adalah orang yang miskin hingga saya kesulitan untuk membeli kertas, maka saya pun mengambil tulang-tulang sebagai pengganti kertas dan juga  menggunakan kertas-kertas yang telah dibuang namun masih bisa dimanfaatkan.”

Ar-Rabi’ ibn Sulaiman menukilkan bahwa Imam Asy-Syafi’i sudah mulai memberikan fatwa ketika beliau berumur lima belas tahun. Abdullah ibn az-Zubair al-Humaidi berkata, “Muslim ibn Khalid az-Zanji berkata kepada Imam Asy-Syafi’i: “Mulailah berfatwa, Wahai Muhammad ibn Idris karena telah datang masamu untuk berfatwa.” Sedangakan Imam Asy-Syafi’i pada saat itu masih berumur di bawah dua puluh tahun.

Perjalanan Imam Asy-Syafi’i dalam berguru kepada Imam Besar Malik ibn Anas

Guru pertama Imam Syafii adalah Muslim ibn Khalid az-Zanji, setelah itu Imam Asy-Syafi’i mendengar seorang ulama besar yang bernama Malik ibn Anas. Imam Asy-Syafi’i berkata:

Ketika saya mendengar ada seorang ulama besar yang bernama Malik ibn Anas, maka hati ini pun terdorong untuk menuntut ilmu kepada ulama tersebut. Kemudian saya meminjam kitab al-Muwatha’ dari salah satu orang yang tinggal di Makkah dan saya pun menghafal kitab tersebut. Setelah itu saya pergi menuju rumah gubernur Makkah untuk meminta surat izin menemui Imam Malik di kota Madinah. Ketika saya mendapatkan surat tersebut, maka saya langsung bergegas menuju kota Madinah.

Sesampainya di sana, saya pun langsung menuju rumah wali kota Madinah dan menyerahkan surat tersebut. Wali kota Madinah pun berkata, “Wahai anak muda! Jika engkau menyuruhku berjalan kaki dari kota Madinah menuju Makkah, itu lebih ringan bagiku daripada harus berjalan menuju pintu rumah Imam Malik,” Saya pun berkata, “Walaupun seorang gubernur yang memerintahkanmu?” lalu ia berkata, “Marilah kita pergi ke majlisnya Imam Malik.”

Kemudian saya pergi bersamanya menuju kediaman Imam Malik, sesampainya di sana, wali kota tersebut mengetuk pintu rumah Imam Malik, tidak lama kemudian keluarlah sang budak perempuan hitam. Sang wali kota berkata kepadanya, “Katakanlah kepada tuanmu, wali kota datang menemuimu,” lalu sang budak itu pun masuk, tidak lama kemudian ia keluar lagi dan berkata, “Tuanku berkata bahwa jika engkau memiliki suatu pertanyaan, maka tulislah pertanyaan itu pada secarik kertas hingga nanti tuanku akan menjawabnya, jikalau engkau datang untuk suatu urusan yang penting, maka sungguh engkau telah mengetahui hari dibukanya majlis tuanku, maka pulanglah kalian!”

Lalu sang wali kota madinah berkata, “Saya membawa surat dari gubernur untuk suatu urusan yang penting,” maka sang budak masuk kembali sembari membawa kursi untuk diletakkan sebagai tempat duduk Imam Malik. Kemudian keluarlah sang Imam yang memiliki postur tubuh yang cukup tinggi dengan wibawa yang sangat besar, lalu sang wali memberikannya surat itu. Sang Imam pun membaca surat tersebut, hingga ketika ia sampai pada kalimat “Sungguh Muhammad ibn Idris adalah seorang pemuda yang mulia…” maka sang Imam pun melempar surat tersebut dan berkata, “Subhanallah! Mengapa sekarang ilmu yang diwarisi Rasulullah harus dituntut dengan suatu surat.” Lalu Imam Asy-Syafi’i berkata, “Semoga Allah selalu menunjukkan kebenaranNya keepadamu. Saya adalah seorang laiki-laki dari keturunan Bani al-Muthalib,” saya juga menceritakan kepadanya akan kisah saya yang cukup panjang. Setelah sang Imam meendengarkan kisahku, maka ia pun melihat kepada saya sejenak dan sebagaimana yang kita ketahui bahwa Imam Malik mempunyai firasat yang kuat, lalu ia berkata kepadaku, “Siapakah namamu?” Saya menjawab, “Muhammad ibn Idris,” Ia berkata kepadaku, “Wahai Muhammad, bertakwalah selalu kepada Allah dan jauhilah kemaksiatan karena engkau akan menjadi orang yang berilmu,” lalu saya berkata, “Baik”, lalu ia berkata lagi, “Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah engkau redupkan cahaya itu dengan kemaksiyatan.” Sang Imam meneruskan ucapannya, “Jika engkau besok  datang di majlisku, maka panggillah seseorang yang dapat membacakan al-Muwattha’ kepadamu,” lalu saya berkata kepada sang Imam, “Sungguh saya telah menghafal kitab tersebut dan dapat membacakannya untukmu dari hafalanku.”

Keesokan harinya, saya pun kembali menemui Imam Malik dan mulai membacakan kitab tersebut kepadanya dan setiap saya ingin menghentikan bacaanku agar Imam Malik tidak merasa bosan, akan tetapi Imam Malik terkesima mendengar bacaan saya sehingga ia berkata, “Wahai anak laki-laki! Teruskan bacaanmu,” lalu saya membacakan kitab tersebut untuknya hingga saya menyelesaikannya dalam beberapa hari saja. Saya pun memutuskan untuk tinggal di kota Madinah hingga ajal menjemput Imam Malik radliyallahu anhu.

Guru-guru Imam Syafii

Dari kota Makkah

Di antaranya adalah Sufyan ibn Uyainah, Muslim ibn Khalid az-Zanji, Sa’id ibn Salim al-Qaddah, Daud ibn Abdurrahman al-‘Aththar, dan Abd al-Majid ibn Abd al-Aziz ibn Daud.

Dari kota Madinah

Di antaranya adalah Malik ibn Anas, Ibrahim ibn Sa’ad al-Anshari, Abd al-Aziz ibn Muhammad ad-Dawardi, Ibrahim ibn Abi Yahya al-Aslami, Muhammad ibn Ismail ibn Abi Fudaik, dan Abdullah ibn Nafi’ Ash-Shayigh.

Para ulama’ sepakat bahwa Ibrahim ibn Abi Yahya adalah ulama’ dari kalangan Mu’tazilah, namun hal ini tidak berpengaruh buruk terhadap Imam Asy-Syafi’I karena beliau mengambil ilmu hadits dan fikih saja, dan tidak mengambil ilmu akidah darinya.

Dari kota Yaman

Di antaranya adalah Mutharrif ibn Mazin, Hisyam ibn Yusuf, Amru ibn Abi Salamah, Yahya ibn Hassan.

Dari Irak

Di antaranya adalah Waqi’ ibn al-Jarrah, Abu Usamah Hamad ibn Usamah, Ismail ibn Alyah, dan Abd al-Wahhab ibn Abd al-Majid

Penutup

Imam Syafi’i banyak belajar kepada ulama-ulama yang cukup banyak. Ada pun yang disebutkan di sini adalah guru-guru beliau yang masyhur dari kalangan ahli fikih, fatwa dan ilmu.

Beliau menjadi sosok yang istimewa dan memiliki keunggulan dari berbagai sisi tidak lain karena beliau secara dasar adalah orang yang bekerja keras dan semangat dalam menuntut ilmu. Dan juga beliau hidup pada zaman yang tepat sekali yaitu setelah lewatnya masa perdebatan teologi Islam, dan setelah kemunculan dua madzhab besar yang memiliki karakteristik berbeda yakni madzhab Hanafi (madzhab yang mengedepankan logika) dan madzhab Maliki (madzhab yang bersifat lebih tekstual), bahkan Imam Syafi’i sangat beruntung bisa belajar dari Imam Malik ibn Anas sebagai ulama hadits dan fiqh terbesar saat itu sehingga Imam Syafi’i bukan hanya kuat dalam segi ijtihad tapi juga dari segi sanad. Maka tak heran jika penganut madzhab terbesar adalah penganut madzhab Syafi’i, karena Imam Syafi’i merupakan ‘paket komplit’ sebagai ulama’ Mujtahid Muthlaq.

ditulis oleh: Mudhofar

sumber referensi: Manaqib Imam Syafii

Tinggalkan Komentar