Siapa yang Paling Berhak Menjadi Imam Shalat? Ini Kriterianya

Siapa yang Paling Berhak Menjadi Imam Shalat?

Problem Menjadi Imam Shalat

Dalam setiap pelaksanaan shalat, pemimpin shalat atau imam memegang peran penting dalam membimbing jamaah dengan khusyu’. Problematika  berebut menjadi imam sholat atau pun berebut tidak mau menjadi imam muncul sebagai dampak dari berbagai faktor, mulai dari dorongan ego pribadi hingga ambisi untuk menunjukkan keunggulan dalam bacaan Al-Qur’an atau hafalan surah.

Berebut menjadi imam sholat bukanlah semata-mata tentang kehormatan atau keistimewaan, tetapi juga melibatkan tanggung jawab besar terhadap kualitas ibadah jamaah. Berebut tidak mau menjadi imam sholat juga bisa muncul karena sebuah rasa kebingungan atas minimnya pengetahuan ilmu fiqh.

Siapa yang Harus Menjadi Imam Shalat?

Merujuk keterangan pada kitab Asy-Syarqawy ‘ala at-Tahriri, ketika ada sekumpulan orang yang sama-sama memenuhi syarat sah menjadi imam shalat (ahliyyatu al-imamah) maka yang pertama harus didahulukan untuk menjadi imam adalah al-Afqahu (yang paling paham ilmu fiqh), lalu al-Aqra’u (yang paling banyak hafalan al-Quran-nya), lalu al-Awra’ (yang paling wira’i), lalu al-Aqdam Hijratan (yang lebih dahulu hijrah), lalu al-Asannu fi al-Islam (yang lebih tua dalam memeluk Islam), lalu al-Asyrafu Nasaban (yang lebih mulia nasabnya), lalu al-Ahsanu Dzikran (orang yang paling baik reputasinya), lalu al-Andhafu Tsauban (orang yang paling bersih pakaiannya), lalu al-Ahsanu Shautan (orang yang paling bagus suaranya), lalu al-Ahsanu Khalqan (orang yang paling baik tubuhnya), lalu al-Ahsanu Wajhan (orang yang paling bagus wajahnya).

Kriteria-kriteria yang disebutkan di atas berlaku jika orang-orang yang hendak shalat berkumpul di selain masjid (ada imam) dan di selain istana (ada raja atau khalifah), sedangkan mereka tidak bersama imam besar atau penggantinya, tidak ada imam ratib (imam yang dijadwal), tidak ada shohibu al-makan (pemilik tempat), dan tidak ada al-waliy (pemimpin otoritas seperti gubernur, komandan, atau kapten) karena sudah pasti orang-orang yang disebutkan di atas lebih utama didahulukan untuk menjadi imam shalat.

Adapun penjelasan mengenai kriteria-kriteria tadi adalah:

1. al-Afqahu (yang paling paham ilmu fiqh)

Orang yang paling paham ilmu fiqh shalat lebih dahulukan dibandingkan yang lainnya. Hal ini pula yang menjadi alasan mengapa Rasulullah saw mendahulukan Abu Bakar ra untuk menjadi imam shalat sedangkan ada sahabat lain yang lebih banyak hafalan al-Quran-nya dibandingkan Abu Bakar.

Terdapat sebuah hadits riwayat Imam Bukhari yang menerangkan bahwa belum ada semasa hidup Rasulullah saw orang yang menghafalkan seluruh al-Quran kecuali empat shahabat Anshar, yakni Zaid ibn Tsabit, Ubayy ibn Ka’b, Mu’adz ibn Jabal, dan Abu Zaid ra.

Urgensi atas pemahaman fiqh shalat bagi imam itu lebih banyak karena  banyaknya momen-momen shalat yang membutuhkannya.

Berbeda dengan shalat janazah maka yang harus didahulukan pertama adalah yang paling tua (al-asannu), karena doa orang yang lebih tua lebih didengar/lebih dekat untuk di-ijabah.

2. al-Aqra’u (yang paling banyak hafalan al-Quran-nya)

Kemudian jika beberapa orang setara dalam fiqh-nya, maka yang perlu didahulukan adalah yang paling banyak hafalan al-Qura’an-nya. Yang paling banyak hafalan al-Qur’annya lebih utama menjadi imam hingga siapa yang paling banyak hafal pada qiraat as-sab’ah (7 bahasa quran).

3. al-Awra’ (yang paling wira’i)

Kemudian jika beberapa orang setara dalam fiqh dan hafalan al-Quran-nya, maka yang perlu didahulukan adalah yang paling wira’i. Wira’i adalah meninggalkan barang syubhat (tidak jelas halal dan haramnya) karena khawatir terjerumus dalam barang yang haram.

4. al-Aqdam Hijratan (yang lebih dahulu hijrah)

Kemudian jika beberapa orang setara dalam fiqh, hafalan al-Quran, dan wira’i-nya maka yang lebih dahulu hijrah itu lebih didahulukan menjadi imam shalat. Yang dimaksud dalam kriteria ini adalah siapa pun yang lebih dahulu hijrah ke Madinah atau hijrah ke dar al-Islam (kota Islam) dari dar al-harb (kota konflik).

Mungkin kriteria ini hampir tidak relevan dengan dunia modern namun kriteria ini ada pada zaman Rasulullah dan zaman shahabat.

5. al-Asannu fi al-Islam (yang lebih tua dalam memeluk Islam)

Jika kriteria-kriteria di atas setara dalam masing-masing individu maka yang lebih didahulukan adalah yang lebih lama memeluk agama Islam. Misalnya pemuda yang memeluk Islam mencapai dua tahun lebih diutamakan menjadi imam daripada orang tua yang baru sehari memeluk Islam. Namun jika pemuda dan orang tua memeluk Islam bersamaan maka yang dipilih adalah orang tua.

Kemudian orang yang memeluk Islam atas inisiatif pribadi lebih didahulukan menjadi imam dibandingkan orang yang masuk Islam karena ikut-ikutan walaupun agak lebih telat orang yang masuk Islam atas inisiatif pribadi dibanding yang ikut-ikutan. Hal ini berlaku ketika masuk Islamnya orang lebih telat tadi ada di waktu belum baligh-nya orang yang masuk islam ikut-ikutan. Adapun jika masuk Islam setelah balighnya orang yang ikut-ikutan maka lebih didahulukan orang yang ikut-ikutan sebagaimana pendapat Ibn ar-Rif’ah.

Dalam hal ini, terdapat hadits yang diriwayatkan Imam Muslim:

يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَأُهُمْ لِكِتَابِ اللّٰهِ، فَإِنْ كَانُوْا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ، فَإِنْ كَانُوْا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً، فَإِنْ كَانُوْا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِنًّا

“Sebuah kaum diimami oleh orang yang paling banyak hafalannya pada Kitabullah, lalu apabila hafalannya setara maka orang yang paling mengerti sunnah, lalu jika dalam sunnah mereka setara maka orang yang paling lebih dulu hijrah, lalu apabila dalam hijrah mereka setara maka orang yang paling tua.”

Dalam riwayat lain disebutkan ‘fa aqdamuhum silman’ yakni yang paling lama masuk Islam.

6. al-Asyrafu Nasaban (yang lebih mulia nasabnya)

Jika kriteria-kriteria di atas setara dalam masing-masing individu maka yang lebih didahulukan adalah yang lebih mulia nasabnya. Artinya orang bernasab Quraisy – misalnya – lebih didahulukan menjadi imam dibandingkan dengan orang yang bernasab selain Quraisy. Orang yang bernasab Quraisy, Bani Muthallib, Bani Hasyim lebih didahulukan menjadi imam dibanding orang Arab dan orang Arab lebih didahulukan dibanding non Arab (‘Ajam).

Begitu juga dengan orang yang memiliki nasab kepada ulama’ atau orang shalih lebih didahulukan dibandingkan orang yang tidak bernasab kepada ulama’ dan orang shalih.

7. al-Ahsanu Dzikran (orang yang paling baik reputasinya)

Jika kriteria-kriteria di atas setara dalam masing-masing individu maka yang lebih didahulukan adalah orang yang lebih baik reputasinya di hadapan manusia. Reputasi baik atau rekam jejak juga dikenal sebagai sifat adil yang tampak yang bisa dilihat dari tidak adanya kabar buruk mengenainya.

Pemilihan siapa  yang paling baik dalam hal ini ialah siapa yang paling banyak dipuji kebaikannya oleh orang-orang.

8. al-Andhafu Tsauban (orang yang paling bersih pakaiannya)

Jika kriteria-kriteria di atas setara dalam masing-masing individu maka yang lebih didahulukan adalah orang yang paling bersih pakaiannya.

9. al-Ahsanu Shautan (orang yang paling bagus suaranya)

Jika kriteria-kriteria di atas setara dalam masing-masing individu maka yang lebih didahulukan adalah orang yang paling bagus suaranya karena lebih disukai manusia.

10. al-Ahsanu Khalqan (orang yang paling baik tubuhnya)

Jika suaranya sama-sama bagus maka selanjutnya yang didahulukan adalah yang paling lengkap anggota tubuhnya, artinya yang paling tidak cacat.

11. al-Ahsanu Wajhan (orang yang paling bagus wajahnya)

Jika sama-sama baik tubuhnya maka yang didahulukan menjadi imam adalah yang paling tampan. Jikalaupun sama-sama tampan atau sama-sama jelek maka dicari yang paling cantik istrinya, kemudian dicari yang paling putih bajunya, kemudian dicari yang paling putih wajahnya.

Dan yang terakhir, jika kriteria diatas semuanya setara maka jalan terakhir adalah diundi.

Catatan lain yang tak kalah penting

Semua kriteria-kriteria yang disebutkan di atas seperti siapa yang paling memahami fiqh, siapa yang banyak hafalan al-Quran-nya dan lain sebagainya itu diberlakukan dengan catatan tidak adanya imam ratib bersama mereka. Jika ada imam ratib yang sudah dijadwalkan dan ditetapkan oleh pengurus atau takmir dengan penetapan yang sah atau imam ratib dipilih sesuai syarat pewakaf maka imam ratib harus didahulukan menjadi imam walaupun di antara makmum ada orang yang ahli fiqh, hafidz al-Quran, atau keturunan Quraisy sekalipun.

Jikalau imam ratib tidak hadir maka disunnahkan untuk dijemput supaya bisa hadir untuk mengimami. Jika dikhawatirkan tertinggal awal waktu shalat maka boleh orang lain yang menggantikan menjadi imam kecuali jika khawatir terjadi fitnah. Jika khawatir terjadi fitnah, maka jamaah bisa shalat sendiri-sendiri. (Ini jika dikhawatirkan terjadi kekacauan jika imam ratib digantikan)

Selain imam ratib, ada imam a’dham (imam besar) yang juga bisa secara langsung didahulukan menjadi imam. Begitu juga dengan shohibul makan atau pemilik tempat, semisal jika Anda bertamu di rumah seseorang maka pemilik tempat atau rumah lebih berhak untuk menjadi imam dengan catatan statusnya adalah pemilik tempat bukan penyewa atau peminjam.

Imam al-Asnawiy memberikan tebak-tebakan fiqh mengenai seseorang yang ketika berjamaah hanya boleh menjadi imam dan tidak boleh menjadi makmum. Jawabannya yaitu adalah orang buta sekaligus tuli.

Wallahu a’lamu bi ash-shawab.

Tinggalkan Komentar