Apakah Pewarna Alami Karmin Berhukum Haram atau Halal?

Pewarna alami karmin, juga dikenal sebagai cochineal atau E120 dalam kode makanan, adalah zat pewarna yang banyak digunakan dalam industri makanan. Namun, pertanyaan yang sering muncul di kalangan umat Islam adalah apakah pewarna alami karmin ini hukumnya halal atau haram dalam agama Islam. Artikel ini akan menjelaskan lebih lanjut tentang pewarna alami karmin dan pandangan berbeda dari beberapa lembaga keagamaan.

Apa itu Pewarna Alami Karmin?

Pewarna alami karmin adalah pewarna makanan yang berasal dari serangga yang disebut Dactylopius coccus. Serangga ini biasanya ditemukan di Amerika Tengah dan Amerika Selatan, dan pewarna ini diekstrak dari tubuh serangga betina yang menghasilkan warna merah cerah. Pewarna alami karmin telah digunakan dalam industri makanan selama berabad-abad untuk memberikan warna merah atau merah muda pada berbagai produk makanan dan minuman.

BACA JUGA: Benarkah Pewarna Alami Karmin Berasal dari Serangga?

Pendapat MUI

Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), pewarna alami karmin adalah berhukum halal. MUI berdasarkan pada qiyas, yaitu analogi hukum, dengan mengaitkannya dengan belalang (al-Jaraad) yang dihalalkan oleh Nabi Muhammad SAW. MUI melihat adanya kesamaan serangga cochineal dengan belalang sehingga keduanya dapat di-qiyas-kan. Dalam penelitiannya, MUI juga mengaku telah berkonsultasi dengan ahli biologi dan entomologi (ilmu serangga) untuk memeriksa lebih lanjut serangga karmin.

Keputusan ini termaktub dalam Fatwa MUI No. 33 Tahun 2011 tentang Hukum Pewarna Makanan dan Minuman dari Serangga Cochineal.

“Atas dasar itu, MUI menetapkan fatwa bahwa penggunaan Cochineal untuk kepentingan pewarna makanan hukumnya halal sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan,” kata Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Soleh dalam keterangannya.

MUI menganggap serangga cochineal hidup di atas kaktus dan memperoleh nutrisi dari tanaman, bukan dari bahan yang kotor. Hewan ini mempunyai banyak persamaan dengan belalang, termasuk darahnya yang tidak mengalir.

Asrorun lantas menghargai hasil keputusan Bahtsul Masail NU Jawa Timur yang mengharamkan penggunaan karmin untuk kepentingan pewarna makanan. Menurutnya, hal ini bagian dari proses ijtihad yang perlu dihormati.

“Hanya saja penetapan hukum berbeda akibat dari perbedaan tashawwur masalah. MUI menggunakan pendekatan tahqiqul manath dengan memeriksa detil jenis hewan yang digunakan sebagai pewarna tersebut, mengingat jenis serangga itu sangat beragam. Sementara LBM NU Jatim, kalau membaca hasilnya, menyebutkan hukum serangga secara umum,” kata Asrorun.

Pendapat LBM NU

Lajnah Bahtsul Masaail Nahdlatul Ulama (LBM NU) berpendapat berbeda. Menurut LBM NU, pewarna alami karmin berhukum haram dan najis karena berasal dari bangkai serangga. Dalam madzhab Syafii, al-Hasyarat dihukumi sebagai haram dan najis bangkainya. LBM NU menganggap bahwa serangga ini tidak dapat disamakan dengan belalang yang dihalalkan secara khusus dalam hadits Nabi Muhammad SAW.

Hasil Bahtsul Masail NU Jatim itu memutuskan bahwa bangkai serangga (hasyarat) tidak boleh dikonsumsi karena najis dan menjijikkan, kecuali menurut sebagian pendapat dalam madzhab Maliki.

Adapun penggunaan karmin dalam pangan dan kosmetik menurut Jumhur Syafi’iyah tidak diperbolehkan karena dihukumi najis. Sedangkan menurut Imam Qoffal, Imam Malik, dan Imam Abi Hanifah dihukumi suci sehingga diperbolehkan karena serangga tidak mempunyai darah yang menyebabkan bangkainya bisa membusuk.

Romadlon menyampaikan bahan pangan atau hal lain yang menggunakan pewarna karmin biasanya mencantumkan kode E-120. Untuk itu, ia menyarankan menghindari produk jika tertulis kode E-120.

Ia menyebutkan selama ini ulama seringkali menghindari sesuatu yang haram. Baginya, upaya ini untuk mencari keberkahan dalam hidup. Berkah tersebut dimaksudkan bahwa dalam kehidupan itu semakin hari semakin tenang dan damai.

“Kalau orang yang sering makan barang haram itu kan hatinya semakin keras dan sulit untuk dikendalikan. Sehingga apa yang diputuskan dari LBMNU Jatim hendaknya menjadi perhatian bersama,” ucapnya.

Kesimpulan

Kesimpulannya, terdapat perbedaan pendapat di antara lembaga keagamaan terkait dengan hukum pewarna alami karmin dalam Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa pewarna ini hukumnya halal berdasarkan analogi dengan belalang yang dihalalkan oleh Nabi Muhammad SAW. Namun, Lajnah Bahtsul Masaail Nahdlatul Ulama (LBM NU) berpendapat bahwa pewarna alami karmin berhukum haram dan najis karena berasal dari bangkai serangga. Oleh karena itu, umat Islam diharapkan untuk memahami pandangan yang berbeda ini dan membuat keputusan yang sesuai dengan keyakinan dan prinsip agama mereka sendiri saat memilih produk makanan atau kosmetik yang mengandung pewarna alami karmin.

Tinggalkan Komentar