Hukum Aborsi dalam Fiqh Islam

Aborsi merupakan hal yang tabu untuk dibahas di Indonesia yang beraneka ragam suku, budaya dan agamanya. Pro kontra selalu menyelimuti tiap pembahasan mengenainya karena aborsi menyangkut kehidupan atau ‘calon kehidupan’ bakal manusia. Lantas bagaimanakah hukum aborsi dalam fiqh Islam?

Dalam literatur fikih, aborsi (pengguguran kandungan) itu dikenal sebagai ijhadh yang memiliki pengertian isti’malu ad-dawa’ bi qashdi al-isqath atau menggunakan obat dengan maksud menggugurkan kandungan. (Nihayat al-Muhtaj: VIII, 416)

Boleh tidaknya aborsi didasarkan pada pandangan sudah hidup atau belumkah janin itu dan seberapa tinggi penghargaan terhadap kehidupan itu sendiri.

Sebagaimana yang kita ketahui, janin dalam kandungan wanita mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dalam hadits Nabi disebutkan bahwa 40 hari pertama bakal manusia masih berupa nuthfah atau sperma, lalu 40 hari kemudian menjadi ‘alaqah atau gumpalan darah, lalu 40 hari kemudian ia menjadi mudlghah atau segumpal daging. Baru kemudian dalam masa tiga kali 40 hari Allah swt. meniupkan ruh pada janin tersebut hingga ia hidup dan bernyawa.

Hukum Aborsi Menurut Hanafiyah

Menurut ‘ulama Hanafiyah, hukum aborsi setelah tiga kali 40 hari (120 hari) atau masa yang bisa kita sebut janin sudah memiliki ruh adalah haram.

Di sini, mereka memandang bahwa manusia pada masa itu sudah memiliki ruh dan mengaborsinya sama saja dengan membunuhnya.

Adapun sebelum masa itu maka hukumnya boleh menurut ulama Hanafiyah bahkan tanpa seizin suami sekali pun. Akan tetapi ada satu ulama Hanafiyah yang berpendapat bahwa hal tersebut berhukum makruh karena sesuatu yang ada di dalam rahim itu memiliki hukum hidup seperti halnya telur hewan buruan tanah haram Makkah dan Madinah. (Fath al-Qadir: II, 495)

Hukum Aborsi Menurut Hanabilah

Hukum aborsi adalah boleh dilakukan sebelum usianya mencapai 40 harai. Sedangkan setelah lebih dari batass itu aborsi adalah dosa dan akan dikenakan kafarah atau pengganti. (Mukhtashar al-Mughni: II, 316)

Hukum Aborsi Menurut Syafi’iyah

Ulama-ulama Syafi’iyah menyatakan tidak dikenakan hukum apa pun dalam pengguguran janin yang belum mencapai 40 hari, meskipun ada juga sebagian ulama yang mengharamkan. Artinya tidak dibenarkan merusak atau mengeluarkan kandungan sesudah berada dalam rahim. (Nihayat al-Muhtaj: VIII, 416)

Dari dua madzhab tadi (Syafi’iyah dan Hanafiyah) dapat kita tangkap bahwa sperma itu setelah berada dalam rahim belum hidup dan baru dapat dilihat tanda-tanda kehidupannya setelah lebih dari 40 hari kemudian berubah menjadi alaqah dan mudghah. Oleh karena itu, aborsi hukumnya boleh dilakukan ketika kandungan masih berupa sperma (sebelum 40 hari) itu pun masih ada yang mengatakan makruh.

Hukum Aborsi menurut Malikiyah

Sedangkan menurut Malikiyah, tidak dibenarkan sama sekali (haram) mengeluarkan sperma yang sudah berada di dalam rahim meskipun belum 40 hari. (Hasyiyah ad-Dasuqi: II, 266)

Nampak dalam pendapat ini kehatian-hatian sehingga terbebas dari tindakan makruh sekalipun.

Kesimpulan

Dari semua pendapat keempat madzhab tadi dapat ditarik kesimpulan bahwa boleh menggugurkan kandungan selagi masih berupa sperma (kurang dari 40 hari). Boleh juga menggugurkannya sebelum mencapai 120 hari tetapi ini akan beresiko tinggi. Kemudian ada yang berpendapat hukum aborsi adalah tidak boleh sama sekali.

Dan yang terakhir semua madzhab setuju bahwa hukum aborsi janin yang memiliki ruh adalah haram.

Wallahu a’lam bissawab.

Tinggalkan Komentar