Hukum Mempelajari Ilmu Tajwid

Hukum Mempelajari Ilmu Tajwid

ngaji online insantri

Hukum mempelajari ilmu tajwid adalah fardlu kifayah. Adapun hukum mempraktekkan tajwid dalam membaca al-Quran adalah fardlu ‘ain bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan.

Jadi, tidak semua muslim wajib tahu bahwa ‘ketika nun sukun bertemu huruf ba’ dinamakan Iqlab’ namun merubah nun sukun yang bertemu ba’ menjadi mim dengan berdengung adalah wajib bagi semua pembaca al-Quran.

Apabila disuatu tempat, wilayah, atau negeri telah ada umat muslim yang ahli dalam ilmu tajwid, dimana orang dapat bertanya kepadanya, maka kewajiban itu telah terpenuhi.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa teori ilmu tajwid berhukum fardlu kifayah sedangkan prakteknya berhukum fardlu ‘ain.

Dasar Hukum Mempelajari Ilmu Tajwid

Dasar Hukum dari al-Quran

Adapun dasar-dasar hukum mempelajari ilmu tajwid dari al-Quran adalah sebagai berikut:

  1. Al-Muzammil 74:4

وَرَتِّلِ الْقُرْءَانَ تَرْتِيْلًا

“… dan bacalah al-Quran dengan tartil.”

Pada suatu hari, Ali karramallahu wajhahu  ditanya tentang arti tartil. Lalu beliau menjawab:

التَّرْتِيْلُ هُوَ تَجْوِيْدُ الْحُرُوْفِ وَمَعْرِفَةُ الْوُقُوْفِ

“Tartil adalah membaguskan huruf-hurufnya dan mengetahui tempat-tempat berhentinya.”

  1. Al-Baqarah 2:121

ٱلَّذِينَ ءَاتَيْنَٰهُمُ ٱلْكِتَٰبَ يَتْلُونَهُۥ حَقَّ تِلَاوَتِهِۦٓ أُو۟لَٰٓئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِۦ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِهِۦ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْخَٰسِرُونَ

“Orang-orang yang telah Kami berikan al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya, dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.”

  1. Al-Furqan 25:32

وَرَتَّلْنَٰهُ تَرْتِيلًا

“… dan Kami membacanya dengan tartil.”

Dasar Hukum dari Hadits Nabi SAW

Adapun dasar-dasar hukum mempelajari ilmu tajwid dari hadits Nabi SAW adalah sebagai berikut:

إِقْرَأُوْا الْقُرْءَانَ بِلُحُوْنِ الْعَرَبِ وَأَصْوَاتِهَا وَإِيَّاكُمْ وَلُحُوْنَ أَهْلِ الْفِسْقِ وَالْكَبَائِرِ فَإِنَّهُ سَيَجِيْءُ أَقْوَامٌ مِنْ بَعْدِيْ يَرْجِعُوْنَ الْقُرْءَانَ تَرْجِيْعَ الْغِنَاءِ وَالرُّهْبَانِيَّةِ وَالنَّوْحِ لَايُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ مَفْتُوْنَةٌ قُلُوْبُهُمْ وَقُلُوْبُ مَنْ يُعْجِبُهُمْ شَأْنُهُمْ. (رواه الطبراني)

Artinya: “Bacalah al-Quran dengan cara dan suara orang-orang Arab dan jauhilah olehmu cara membaca orang-orang fasiq dan berdosa besar. Sesungguhnya akan datang beberapa kaum setelahku, melagukan al-Quran seperti nyanyian,  rahbaniyah (pendeta), dan ratapan tangis (membaca tanpa tadabbur dan pengamalan), suara mereka tidak dapat melewati tenggorokan dan hati mereka menyimpang bersama hati orang yang kagum oleh keadaan mereka.” (HR. Ath-Thabrani)

سُئِلَ أنَسٌ: كيفَ كَانَتْ قِرَاءَةُ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم؟ فَقالَ: كَانَتْ مَدًّا، ثُمَّ قَرَأَ: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ؛ يَمُدُّ بـبِسْمِ اللَّهِ، ويَمُدُّ بـالرَّحْمَنِ، ويَمُدُّ بـالرَّحِيمِ. (رواه البخاري)

Artinya: “Anas ibn Malik ketika ditanya bagaiamana bacaan Nabi SAW. maka ia menjawab bahwa bacaan beliau itu dengan panjang-panjang kemudian dia membaca ‘bismillahirrahmanirrahim’ memanjangkan bismillāh serta memanjangkan ar-rahmān dan memanjangkan ar-Rahīm.” (HR. Bukhari)

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِسْتَقْرِأُوْا الْقُرْآنَ مِنْ أَرْبَعَةٍ مِنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ فَبَدَأَ بِهِ وَ سَالِمٍ مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ وَأُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ. (رواه البخاري ومسلم)

Artinya: “Dari Abdullah ibn Amr berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, belajarlah al-Quran dari empat orang; Abdullah ibn Mas’ud, beliau memulai dengan menyebut Ibnu Mas’ud, Salim maula-nya Abi Hudzaifah, Ubay ibn Ka’b, dan Mu’adz ibn Jabal.” (HR. Bukhari Muslim)

Ke-empat sahabat ini adalah sahabat yang dipandang paling fasih dan menguasai dalam bidangnya.

Imam an-Nawawi berkata dalam tafsir hadits berikut:

Alasannya adalah bahwa ke-empat sahabat ini lebih tepat dalam lafadh-lafadhnya, dan lebih sempurna dalam membacanya, walaupun ada sahabat lain lebih memahami maknanya daripada mereka, atau karena keempatnya memiliki waktu luang karena mengambil al-Quran dari Nabi secara langsung, sedangkan sahabat lain terbatasi untuk mengambil sebagian dari mereka, atau karena ini dibebaskan sehingga diambil dari mereka, atau Dia (Nabi) ingin memberi tahu tentang apa yang akan terjadi setelah kematiannya tentang kemajuan keempat orang ini dan pemberdayaan mereka, dan bahwa mereka lebih tangguh daripada yang lain dalam hal itu, jadi biarkan itu diambil dari mereka.

Kesimpulan

Kendati hukum mempelajari ilmu tajwid adalah fardlu kifayah namun mempelajari ilmu tajwid tetaplah penting bagi semua muslim. Bagaimana mungkin seseorang bisa membaca al-Quran dengan benar (dengan kaidah tajwid) tanpa mempelajari tajwid itu sendiri?

Setidaknya dengan mempelajari ilmu tajwid kita bisa tahu bagaimana cara membaca al-Quran dengan benar. Walaupun pada akhirnya kita lupa dengan istilah-istilah seperti Iqlab, Idgham, Mad Lazim Muttashil dsb, asalkan masih ingat dengan cara membacanya. Karena intinya kewajiban sebagai muslim adalah praktek atau penerapan dari ilmu tajwid itu sendiri.

Demikian hukum mempelajari ilmu tajwid.

Tinggalkan Komentar