I’rab Niat Puasa Ramadlan yang Benar (dalam Tinjauan Ilmu Nahwu)

Niat merupakan salah satu rukun puasa Ramadlan sehingga orang yang hendak berpuasa Ramadlan wajib berniat agar puasanya menjadi sah. Dalam artikel ini, kami akan membahas “I’rab niat puasa ramadlan yang benar (dalam tinjauan ilmu Nahwu)”.

Perlu diketahui bahwa niat puasa Ramadlan tidak diwajibkan untuk dilafalkan (sehingga niat puasa Ramadlan sah dilakukan dalam hati bahkan di tengah-tengah seseorang melakukan shalat) karena pada dasarnya jika seseorang dalam hatinya menyengaja untuk berpuasa Ramadlan keesokan harinya serta menentukan Ramadlan yang dimaksud tahun apa (tahun ini atau tahun kemarin) maka sudah cukup niat tersebut baginya untuk berpuasa Ramadlan.

I’rab Niat Puasa Ramadlan yang Benar (dalam Tinjauan Ilmu Nahwu)

Namun, kerap kita jumpai niat puasa Ramadlan diajarkan dalam bentuk bahasa Arab. Dan sering kita jumpai para ustadz mengajarkan niat puasa Ramadlan kepada para jamaahnya dengan i’rab yang salah, semisal membaca niat puasa ramadlan dengan kata “Ramadlana” dan “hadzihi as-sanati” dalam satu kalam yang secara jelas salah secara i’rab-nya.

Inilah alasan yang mendorong kami untuk membuat artikel ini agar pembaca bisa tahu bagaimana niat puasa Ramadlan dalam bahasa Arab dengan i’rab yang benar.

Namun, jangan mensalahartikan artikel ini sebagai bentuk gerakan “Nahwu Nazi” (seperti Grammar Nazi atau orang yang gemar menyalahkan i’rab nahwu orang lain) karena kami juga menyadari kesalahan i’rab dalam mengucapkan niat puasa Ramadlan tidak mengganggu keabsahan puasa.

Akan tetapi, alangkah baiknya jika seorang pemuka agama Islam, ustadz, kyai dan para ajengan menjadi presentator pemilik ilmu agama yang baik (termasuk ilmu Nahwu sebagai ilmu alat untuk memahami al-Quran) sehingga ketika mengajarkan niat puasa Ramadlan dalam bahasa Arab kepada para pengikutnya dengan kalimah dan i’rab yang tepat pula.

Singkatnya, logikanya seperti ini. Jika ada yang benar, mengapa harus mengajarkan yang salah?

Bagaimana I’rab Niat Puasa Ramadlan yang Benar?

Niat puasa Ramadlan bahasa Arab juga diterangkan dalam literatur fiqh klasik, contohnya seperti Kitab al-Bajuriy (Syarh Fath al-Qarib) Juz 1 halaman 289 yang menyebutkan bacaan i’rab niat puasa Ramadlan dalam bahasa Arab yang ketika diucapkan membuat puasa Ramadlan “lebih sempurna”.

I’rab niat puasa Ramadlan yang benar tersebut adalah:

Dengan membaca “رَمَضَانِ” (Ramadlani) dengan kasrah sehingga niat puasa Ramadlan menjadi:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هٰذِهِ السَّنَةِ لِلّٰهِ تَعَالٰى

“رَمَضَانِ” (Ramadlani) adalah isim ghairu munsharif (yang notabene tidak bisa menerima tanwin dan harakat kasrah) yang dibaca jarr karena menjadi mudlaf ilaih namun dalam contoh di atas ia di-idlafah-kan lagi pada isim selanjutnya yakni “هٰذِهِ السَّنَةِ” (hadzihi as-sanati) sehingga “رَمَضَانِ” (Ramadlani) bisa dibaca kasrah.

Dalam ilmu nahwu, isim ghairu munsharif bisa dibaca kasrah saat jarr apabila: 1. Di-idlafah-kan kepada isim yang lain/menjadi mudlaf, 2. dan Kemasukan al ‘ال’.

Dengan i’rab di atas maka niat di atas jika diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi: “Saya berniat puasa esok hari untuk memenuhi kewajiban bulan Ramadhan-nya tahun ini karena Allah ta’ala”.

Meng-idlafah-kan “Ramadhani” pada “hadzihi as-sanati” menegaskan bahwa puasa Ramadlan yang diniatkan adalah ‘puasa Ramadhan-nya tahun ini’ bukan tahun kemarin atau pun tahun depan sehingga niat puasa menjadi benar karena sudah di-ta’yin/ditentukan.

Contoh niat puasa Ramadlan yang salah

1. “… Ramadhana hadzihi as-sanata …”

Contoh niat puasa Ramadlan yang fasid/rusak secara makna adalah dengan membaca “رَمَضَانَ” (Ramadlana) dengan fathah lalu “هٰذِهِ السَّنَةَ” (hadzihi as-sanata) juga dibaca fathah sehingga niat puasa Ramadlan menjadi:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هٰذِهِ السَّنَةَ لِلّٰهِ تَعَالٰى

“رَمَضَانَ” (Ramadlana) adalah isim ghairu munsharif karena dibaca jarr karena menjadi mudlaf ilaih dan ia adalah susunan terakhir dalam susunan idlafah tersebut maka ia harus dibaca fathah. Sedangkan “هٰذِهِ السَّنَةَ” (hadzihi as-sanata) adalah sebagai susunan yang baru dalam contoh di atas, ia dibaca fathah karena menjadi dharaf zaman.

Dengan i’rab di atas maka niat di atas jika diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi: “Saya berniat puasa esok hari untuk memenuhi kewajiban bulan Ramadhan di dalam tahun ini karena Allah ta’ala”.

Mengapa niat tersebut dianggap fasid/rusak? Memang secara i’rab tidak ada yang salah, namun secara makna menjadi rusak karena jika “هٰذِهِ السَّنَةَ” (hadzihi as-sanata) dijadikan dharaf, maka dharaf itu tergantung pada fiil/kata kerjanya yaitu ‘نَوَيْتُ’ (nawaytu), sedangkan waktu pengerjaan niat adalah di dalam waktu yang sebentar dari malam hari di mana seseorang berniat, bukan niat di dalam tahun ini.

Selain itu ta’yin/penentuan bulan Ramadlan yang ia niatkan tidak ter-cover (tidak hasil) dalam niat di atas sehingga makna Ramadlan-nya masih luas dan umum.

2. “… Ramadhana hadzihi as-sanati …”

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هٰذِهِ السَّنَةِ لِلّٰهِ تَعَالٰى

Bacaan niat seperti “nawaytu shauma ghadin ‘an adaai fardli syahri Ramadlana hadzihi as-sanati lillahi ta’ala” adalah salah dan keliru secara i’rab karena tidak mungkin ‘ramadlana’ dibaca fathah  sedangkan ‘as-sanati’ dibaca kasrah karena ‘as-sanati’ tidak bisa dibaca jarr tanpa adanya ‘amil jarr yang masuk (dengan melihat Ramadlana sebagai mudlaf ilaih terakhir).

Kesimpulan

Meskipun salah secara i’rab, namun kami tekankan lagi bagi seseorang yang ‘terlanjur’ membaca niat Ramadlan yang salah itu puasanya tetap sah dan  tidak membahayakan puasanya karena niat puasa yang dinilai adalah hati bukan ucapan lisan.

Yang kami garis bawahi di sini adalah ketepatan dari segi i’rab yang sudah seharusnya diketahui oleh kalangan akademisi Islam dan para santri karena untuk menghindari anggapan bahwa santri itu tidak tahu yang namanya i’rab. Jika tidak tahu i’rab lalu bagaimana dia bisa memahami alQuran yang berbahasa Arab, apakah dari terjemah?

Mungkin terlihat sepele, namun pemahaman bahasa Arab dasar (seperti ilmu Nahwu Shorof) – meskipun bukan ilmu agama – adalah langkah awal seseorang yang ingin ber-tafaqquh fi ad-din (mendalami ilmu agama), khususnya al-Quran al-Karim.

Termasuk niat puasa Ramadlan yang telah kami sampaikan di atas. Jika ada yang benar, mengapa harus mengajarkan yang salah?

Itu dia I’rab Niat Puasa Ramadlan yang Benar (dalam Tinjauan Ilmu Nahwu). Semoga bermanfaat.

Tinggalkan Komentar