Perayaan Sekaten Merupakan Peninggalan Walisongo
Perayaan Sekaten
Perayaan Sekaten di Keraton Kasultanan Yogyakarta dilangsungkan setiap tahun pada tanggal 5 hingga 11 bulan Maulud tahun Jawa atau Bulan Rabi’ul Awwal dalam kalender Islam.
Rangkaian perayaan Sekaten dimulai dengan tradisi Miyos Gongso, yaitu prosesi dikeluarkannya sepasang Gamelan Pusaka Sekaten dari bangsal penyimpanannya di dalam Keraton, menuju Masjid Gedhe di sebelah barat alun-alun. Upaara ini diselenggarakan selepas shalat Isya’, pada malam hari menjelang tanggal 6 Maulud.
Kedua perangkat gamelan ini sudah mulai diperdengarkan menjelang dimulainya tradisi Miyos Gongso. Pada jaman dahulu saat berlangsungnya tradisi ini, seperangkat gamelan ditempatkan di Bangsal Trajumas dan seperangkat lainnya di tempatkan di Bangsal Sri Manganti. Namun, pada jaman sekarang, keduanya ditempatkan di Bangsal Ponconiti di halaman Kemandhungan Lor atau biasa disebut halaman Keben. Dari sinilah, rangkaian tradisi Miyos Gongso dilangsungkan, sebagai penanda resmi dimulainya Perayaan Sekaten.
Prosesi Miyos Gongso dimulai sekitar pukul 8 malam, diawali dengan tradisi nyebar udhik-udhik. Ini adalah sebuah tradisi dimana Sultan memerintahkan Pangeran atau rayi dalem yang menjadi utusannya untuk membagi-bagikan sedekah kepada masyarakat yang hadir di Bangsal Ponconiti, serta para abdi dalem Wiyogo yang bertugas menabuh kedua Gamelan Pusaka.
Sedekah udhik-udhik yang terdiri dari uang logam, beras kuning dan bebungaan ini, selalu mendapatkan sambutan antusias dari masyarakat setempat.
Sekaten Peninggalan Walisongo
Sejarah Sekaten sudah ada sejak sebelum Kasultanan Demak berdiri pada abad ke-15. Pada masa Kerajaan Majapahit masih berkuasa, Kadipaten Demak yang dipimpin oleh Raden Patah, setiap tahun menjadi tempat musyawarah para pemuka agama Islam di Pulau Jawa, yang dikenal sebagai Walisanga. Pertemuan para wali berlangsung selama sepekan pada bulan Rabiul Awwal, yang diakhiri pada tanggal 12, bersamaan dengan perayaan untuk menghormati kelahiran Nabi Muhammad. Untuk memperkuat syiar agama Islam, pada tahun 1399 Saka, Raden Patah bersama para wali membangun Masjid Agung di Kadipaten Demak. Di masjid inilah, para wali bermusyawarah secara rutin setahun sekali, sekaligus menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Muhammad yang diisi dengan kegiatan syiar Agama Islam.
Para wali menyadari jika rakyat yang masih memegang erat kepercayaan lama, sangat sulit dipengaruhi dan diajak memeluk Agama Islam. Singkat cerita, dalam musyawarah para wali pun menyepakati bahwa untuk melakukan dakwah Islam perlu adanya strategi budaya. Berbagai tradisi lama akan terus dilestarikan, namun diberi warna dan sentuhan spiritual sesuai dengan ajaran Agama Islam.
Kebetulan, rakyat Majapahit juga mewarisi tradisi keramaian tahunan. Pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya V, tradisi tahunan ini selalu diramaikan dengan diperdengarkannya Gamelan Pusaka bernama Kanjeng Kyai Sekar Delima, yang dipandang keramat dan memberkati. Setiap keramaian yang disertai irama gamelan seperti ini, akan sangat menarik perhatian rakyat untuk hadir.
Oleh karenanya, untuk menarik perhatian rakyat agar mau hadir dan masuk ke Masjid Agung, Sunan Kalijaga mengusulkan agar diperdengarkan bebunyian gamelan di halaman masjid. Sementara pada saat yang sama, para wali melakukan dakwah langsung kepada rakyat.
Meski secara hukum, memperdengarkan gamelan di lingkungan masjid dianggap makruh, namun demi kelanaran syiar agama Islam, para wali menyetujui gagasan ini. Sunan Kalijaga yang sangat memahami budaya Jawa, kemudian menciptakan seperangkat gamelan yang diberi nama Kyai Sekati. Sementara gendhing-gendhing yang akan diperdengarkan, diciptakan bersama antara Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Giri dan Sunan Kudus.
Gamelan Kyai Sekaati ditabuh sedemikian rupa, menggema dengan irama yang indah dan membahagiakan hati, sehingga berhasil menarik perhatian rakyat di seputar Demak. Mereka datang berduyun-duyun dari berbagai penjuru, memadati alun-alun di muka Masjid Agung. Sementara itu, para wali silih berganti tampil pada mimbar di muka gapura masjid, menyampaikan wejangan dan ajaran-ajaran Islam dengan gaya bahasa yang memikat.
Pendekatan budaya ini ternyata membuahkan hasil. Rakyat begitu terhibur di tengah alunan gamelan, sekaligus tertarik dengan petuah-petuah Islami yang disampaikan para wali. Pada saat yang sama, mereka yang tertarik memeluk Agama Islam, diperkenankan masuk serambi masjid setelah mengucapkan dua kalimah kesaksian yang disebut syahadatain, kemudian bersuci sesuai tatacara Islam.
Selama sepekan berlangsungnya keramaian ini, banyak rakyat secara sukarela masuk agama Islam dengan mengucapkan dua kalimah syahadat. Kepada mereka yang telah masuk Islam, kemudian dilakukan upara khitanan.
Demikianlah, keramaian ini pun kemudian menjadi upcara tahunan kerajaan, dan diberi nama Sekaten. Asal kata nama Sekaten, bisa jadi berasal dari nama Gamelan Sekati, atau berasal dari kata “Syahadatain”.
Sekaten adalah kejeniusan Walisongo
Maulid Nabi bukan hanya sekedar perayaan memperingati kelahiran Nabi Agung Muhammad SAW di pandangan para Walisongo. Moment dan kesempatan tersebut dimanfaatkan secara maksimal untuk melakukan dakwah Islam kepada masyarakat Jawa. Dengan memanfaatkan budaya, para Walisongo memikat masyarakat sehingga mereka secara sukarela memeluk agama Islam. Dan dengan legitimasi pemerintah atau penguasa saat itu, acara tersebut pun dijadikan acara rutin Kasultanan yang akan diselenggarakan secara terus-menerus setiap tahunnya.
Hingga kini acara Sekaten masih eksis diselenggarakan oleh Kasultanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta dimana keduanya adalah pecahan dari Kasultanan Mataram Islam. Selain berbagai rangkaian ritual yang diselenggarakan Keraton, dapat ditemukan pula keramaian-keramaian seperti pasar malam dan wahana-wahana yang diselenggarakan oleh masyarakat sendiri. Selain menarik perhatian masyarakat, perayaan Sekaten juga menarik perhatian turis asing maupun domestik. Sehingga ini bisa menjadi berkah luar biasa secara ekonomi bagi masyarakat sekitar Kraton.