Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Makassar dari Maudu’ Lompoa sampai Baayun Mulud
Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW bermacam-macam bentuknya dan tradisinya di Indonesia. Termasuk perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Makassar.
Pada suku Makassar (yang mendiami Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Takalar dan Jeneponto) biasa menyebut ‘Maulud’ sebagai ‘Maudu’’. Sedangkan, bagi suku Bugis (yang mendiami Kota Pare-Pare, Kabupaten Sidrap, Wajo, Soppeng dan Bone) menyebutnya ‘Maulu’. Dan bagi suku Mandar (yang mendiami Kabupaten Polmas, Majene dan Mamuju) menyebutnya sebagai ‘Munu’.
Maudu’ Lompoa (Maulid Besar) adalah prosesi peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad yang diisi dengan berbagai kegiatan ritual. Tradisi ini ditujukan untuk menanamkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya.
Secara turun-temurun, tradisi ini dipelihara oleh kerukunan keluarga al-‘Aidid. Perayaan ini, setiap tahunnya diperingati dan dihadiri ribuan orang dari berbagai kalangan.
Kehadiran tradisi Maudu’ Lompoa di Cikoang, diawali dari kedatangan Sayyid Jalaluddin bin Muhammad Wahid al-‘Aidid. Dia adalah seorang ‘ulama besar asal Aceh, cucu Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam, keturunan Hadramaut, Arab Selatan dan masih keturunan Nabi Muhammad SAW yang ke-27. Sayyid Jalaluddin al-‘Aidid tiba di Kerajaan Goa Makassar pada abad 17 pada masa pemeerintahan Sultan Alauddin. Dia kemudian diangkat menjadi mufti kerajaan. Putra Mahkota Kerajaan Goa oleh Sayyid Jalaluddin diberi nama Muhammad al-Baqir Imal Lombassi Karaeng Bontomangape Sultan Hassanuddin.
Dalam mengajarkan Islam di tanah Sulawesi Selatan, Sayyid Jalaluddin al-‘Aidid mengajarkan tiga hal penting, yang kemudian menjadi faktor utama terwujudnya upacara Maudu’ Lompoa, yaitu: prinsip al-ma’rifah, al-iman dan al-mahabbah.
Maudu’ Lompoa
Persiapan-persiapan upacara Maudu’ Lompoa di Cikoang diawali dengan menyediakan ayam, beras, minyak kelapa, telur, julung-julung (perahu), kandawari, bembengan, panggung upacara dan lapangan upacara.
Sebulan sebelum 12 Rabiul Awal, sekitar tanggal 10 Shafar, ayam-ayam itu telah dipersiapkan di dalam kurungan yang dimaksudkan agar ayam-ayam itu tidak lagi memakan barang najis. Setiap orang, sekurang-kurangnya satu ekor ayam sehat. Setelah tiba masa peringatan, ayam-ayam itu disembelih oleh anrongguru (tokoh dari keluarga Sayyid) yang memimpin prosesi upacara tersebut.
Beras yang digunakan harus diproses sendiri, yaitu ditumbuk pada lesung yang sudah dibersihkan. Lesung itu harus dipagari dan tidak boleh rapat ke tanah. Orang yang menumbuk itupu tidak boleh menaikkan kakinya di atas lesung. Sedang, padi yang ditumbuk harus dijaga baik-baik, tidak boleh sebiji pun jatuh ke tanah.
Ampasnya harus dikumpul baik-baik pada tempat yang tidak mudah kena kotoran sampai selesainya dibaca Surat Rate’ (Kitab Maudu’), kitab yang menceritakan kelahiran Nabi Muhammad sampai riwayat datangnya Islam yang dibawa oleh Sayyid Jalaluddin.
Di samping itu, anggota masyarakat setempat menjadikan tradisi itu sebagai tujuan dari aktifitas hidupnya. Para petani misalnya, selalu berharap agar hasil pertaniannya melimpah agar sebagian hasilnya dapat digunakan untuk upacara Maudu’. Demikian pula para pedagang, mereka menginginkan hasil keuntungan yang besar.
Baayun Mulud
Salah satu tradisi masyarakat Banjar yang ramai dilakukan pada saat bulan Maulid Nabi Muhammad SAW adalah tradisi upacara Baayun Mulud.
Baayun berasal dari ‘ayun’, yang maksudnya adalah melakukan proses ayunan atau buaian. Seorang ibu biasanya menidurkan bayinya dengan cara diayun, ayunan ini memberikan kesan melayang-layang bagi si bayi, sehingga ia bisa tertidur lelap. Sedangkan kata Mulud adalah sebutan masyarakat pada peristiwa Maulid Nabi.
Upacara Baayun Mulud dilakukan di dalam masjid. Masyarakat membuat ayunan di ruangan tengah masjid yang membentang di setiap tiang-tiangnya. Ayunan yang dibuat ada tiga lapis, lapisan atas menggunakan kain sarigading (sasirangan), lapisan tengah menggunakan kain kuning (kain belacu yang diberi warna kuning dari sari kunyit), dan lapisan bawah memakai kain bahalai (kain panjang tanpa sambungan jahitan).
Setiap orang tua yang mengikutsertakan anaknya pada upacara ini harus menyerahkan piduduk, yaitu sebuah sasanggan yang berisi beras kurang lebih tiga setengah liter, sebiji gula merah, sebiji kelapa, sebiji telur ayam, benang, jarum, sebongkah garam, dan uang perak. Piduduk ini akan dibagikan untuk dimakan nantinya oleh para hadirin upacara.
Peserta Baayun Mulud ini tidak terbatas pada bayi yang ada di kampung yang menyelenggarakannya saja, tetapi peserta lain dari luar kampung juga boleh berpartisipasi. Bahkan terkadang ada juga orang dewasa yang ikut Baayun, karena mereka merasa waktu kecil dulu tidak sempat mengikuti upacara Baayun Mulud.
Dalam upacara ini, dibacakan berbagai syair, seperti syair Barzanji, Syaraful Anam, dan Diba’i. Anak-anak yang ingin diayun akan dibawa saat dimulai pembacaan asyraqal (mahallul qiyam), lalu si anak langsung dimasukkan ke dalam ayunanyang telah disediakan.
Saat pembacaan asyraqal dikumandangkan, anak dalam ayunan diayun secara perlahan dengan cara menarik selendang yang diikat pada ayunan. Maksud dan tujuan dari ayunan pada Baayun Mulud ini adalah untuk mengambil berkah (tabarruk) dengan kemuliaan Nabi Muhammad SAW.
Upacara ini dimeriahkan dengan penyambutan berupa puji-pujian yang diucapkan dengan syair-syair merdu.