Teknologi buatan manusia semakin berkembang pesat seiring berjalannya waktu. Formulasi society 5.0 menjadi salah satu bukti konkrit progresifitas dunia teknologi. Gagasan ini dibuat oleh Jepang sebagai revolusi atas Industri 4.0. Pada era ini manusia diharapkan mampu menghadapi segala tantangan global dan problematika sosialsosial dengan memanfaatkan inovasi yang lahir di era revolusi 4.0. Hal tersebut dikarenakan society 5.0 berpusat pada manusia dengan berbasis technology.
Lewat society 5.0 kecerdasan artifisial digunakan sebagai sarana untuk mentransfer dan mentranformasi mahadata pada segala sendi kehidupan. Internet on thing sebagai salah satu aspek penting sangat diharapkan dapat membentuk kearifan, yakni nilai-nilai positif dan peluang yang bersifat humanistik. Melalui transformasi ini diharapkan dapat mengembalikan citra dan peradaban yang luhur seiring mengakarnya revolusi industri 4.0.
Kaum Santri merupakan bagian dari tonggak peradaban. Menanggapi era society 5.0 “kaum sarungan” harus berada di garda terdepan. Karena stigma “santri kolot” dan “tidak melek teknologi” sudah saatnya dipatahkan. Hal ini tentu merupakan sesuatu yang sangat wajar pada masa di mana revolusi Industri terus mengalami kemajuan ke arah yang lebih transformatif. Untuk itu, dunia pendidikan memiliki peranan penting dalam meningkatkan kualitas SDM.
Seluruh institusi pendidikan, tak terkecuali Pesantren atau instansi di bawah naungannya, harus mampu memberikan kualitas pendidikan yang sesuai dengan kemajuan zaman. ‘Education system’ di dalamnya, upayakan bisa mencakup semua aspek karena seluruh educational institution pada masa sekarang sudah seharusnya memiliki poros keseimbangan dalam membimbing anak didiknya menjadi generasi tangguh, dan siap menghadapi segala tantangan di masa kini dan mendatang.
Berbagai disiplin ilmu yang dapat menunjang perkembangan santri tidak boleh termarjinalkan. Apalagi di era society 5.0 seperti sekarang. Yang mana konsep tersebut menuntut manusia untuk tidak menjadi passive component. Sehingga secara eksplisit hal itu menjadi tantangan besar bagi generasi muda khususnya kaum Santri sebagai bagian dari aset bangsa. Oleh karenanya, pesantren sebagai tempat generation of student bertumbuh harus mengambil peran strategis dalam membangun peradaban.
Santri -baik putra maupun putri- harus ditempa dengan berbagai disiplin ilmu, baik itu agama, sains, teknologi dsb. karena di era society 5.0 para santri atau peserta didik diharapkan dapat memiliki kecakapan hidup abad 21, yang dikenal dengan istilah 4C: Creativity, Critical Thinking, Communication dan Collaboration.
Antara Santri Zaman Kemerdekaan dan Santri Era Society 5.0
Santri menempatkan posisi strategis dalam catatan sejarah bangsa Indonesia. Perannya sebagai pejuang kemerdekaan cukup fundamental. Akan tetapi dari eksistensinya yang sudah malang melintang adalah di antara kita yang mengetahui apa itu makna santri.
Menurut Clifford Geertz dalam bukunya “Abangan, Santri, Priyayi, Dalam Masyarakat Jawa (1981)”, istilah santri memiliki dua makna. Definisi pertama, santri adalah murid-murid yang belajar di lembaga pesantren. Pengertian kedua, santri memiliki arti yang lebih luas, mencakup orang-orang islam yang taat, baik dari kalangan tradisional maupun modernis.
Santri yang terkenal dengan predikat kaum sarungan tak menjadikan terasing dari pergumulan sejarah. Historis kemerdekaan Indonesia menjadi saksi atas kontribusi kaum santri dalam berjihad melawan penjajah. Peranannya sebagai pejuang kemerdekaan menjadi salah satu bukti bahwa kaum sarungan memiliki potensi besar untuk membangun peradaban. Oleh karenanya, bagi generasi santri hari ini, mengetahui dan merefleksi pada sejarah santri zaman kemerdekaan.
Gerakan santri zaman dulu melekat dengan penumpasan penjajahan. Kehidupannya berjibaku untuk menegakkan keadilan. Untuk lebih memperjelas pemahaman terkait gerakan kaum sarungan, kita perlu sedikit bergeser pada sejarah santri zaman kemerdekaan.
Kedatangan kolonial belanda mengundang kekhawatiran tersendiri bagi kyai dan kaum santri. Khususnya pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Kembalinya Belanda cukup menuai kontra di kalangan umat islam. Sehingga untuk merespon kondisi tersebut dideklarasikanlah resolusi jihad oleh K. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945.
Perang pun terjadi pada tanggal 30 Oktober 1945. Dalam perang tersebut berhasil menewaskan Jenderal Mallaby. Hingga membuat pihak Inggris terbakar amarah dan mengeluarkan ultimatum. Namun, karena ultimatum tersebut tak direspon oleh pihak Indonesia, perang besar pun terjadi pada 10 November 1945.
Perang ini merupakan salah satu implikasi formulasi jihad yang dideklarasikan oleh K. Hasyim Asy’ari. Yang mana saat itu perlawanan dari pejuang Indonesia khususnya kaum santri pecah di medan pertempuran. Para Santri dari berbagai daerah berduyun-duyun ke Surabaya untuk berjihad di jalan Allah. Tak ada kata gentar.
Meskipun militer Indonesia belum terbentuk dengan solid, tapi keberadaan kaum Santri dan seluruh pejuang tanah air dapat mengisi kekosongan tersebut. Sehingga perlawanan dengan senjata seadanya dapat terakomodir dengan baik. Meskipun harus ada banyak nyawa yang menjadi korban, namun peristiwa tersebut menjadi pelajaran berharga bagi seluruh bangsa Indonesia.
Bahkan, Tragedi tersebut akhirnya diperingati sebagai hari pahlawan. Keadaan tersebut tentu sudah sangat berbanding terbalik dengan kondisi saat ini. Jika santri zaman dahulu berhadapan dengan penjajah, santri zaman sekarang menghadapi era modernisasi yang ditandai dengan adanya teknologi. Yang mana pembaharuan atas nama revolusi terus digalakkan sebagai bentuk transformasi dunia teknologi. Sehingga secara krusial hal ini menjadi tantangan besar bagi kaum santri masa kini.
Di era yang sudah memasuki society 5.0 tentu sangat memerlukan sikap responsif. Para santri tidak bisa bersikap pasif. Karena tantangan yang semakin kompleks harus direspon secara aktif dan produktif. Oleh sebab itu, penguasaan teknologi terhadap kaum Santri sangatlah penting karena melalui teknologi santri dapat membangun jaringan digital yang bisa dimanfaatkan untuk menjangkau akses yang lebih luas.
Itulah sebabnya pengetahuan terkait teknologi harus diterapkan secara masif di lingkungan pesantren ataupun instansi di bawah naungannya. Agar generation of student dengan predikat agent of change dan social control bisa mengepakkan eksistensi dan kontribusinya dengan efektif.
Peran Santri Era Society 5.0
Penguatan karakter dalam mendorong santri berperan adalah suatu hal yang sangat urgent. Terlebih, berdasar riset Prof Revany Bustami phD, lektor Kepala University Sains Malaysia (USM). Di era society 5.0 nanti, agama akan kembali berperan dalam memimpin sains. Re-spiritualisasi masyarakat menjadi salah satu tugas besar santri untuk mengarahkan perkembangan masyarakat modern.
Secara tidak langsung peradaban manusia sebenarnya turut bergantung kepada peran santri dalam merespon dan mengendalikan isu-isu global yang krusial. Kini waktu pun telah sampai. Era society 5.0 sudah mulai merasuki jiwa manusia. Dengan banyaknya alat komunikasi yang semakin meningkat, tak hanya menjadi barometer kenikmatan yang instan, akan tetapi juga menjadi tantangan besar khususnya kaum santri sebagai bagian dari agent perubahan.
Bagaimana Santri merespon fenomena society 5.0 itu sangat berpengaruh besar terhadap perubahan dimasa mendatang. Menyitir Ahmad Baso (2006) generasi santri 5.0 harus menjadi subyek (fa’il) bukan obyek (maf’ul). Kaum sarungan era society 5.0 seyogyanya menjadi produsen aktif bukan penikmat dan pembaca yang pasif. Berbagai fitur atau platform digital yang semakin komplit sudah seharusnya dimanfaatkan dengan baik oleh generasi santri hari ini.
Selain memanfaatkan karya orang lain, generasi santri bisa belajar menciptakan fitur atau aplikasi berbasis IT yang dapat men-support akan terciptanya iklim toleran dan moderat. Ada sebuah prinsip santri yang dapat mendasari hal hal tersebut. Bunyinya adalah sebagai berikut “Al-muhafadhatu ala al-qadimi as-shalihi wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah” yang bermakna memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.
Berpegang pada prinsip ini tentu sangatlah tepat jika santri memanfaatkan kecanggihan teknologi dan digitalisasi sebagai media dakwah. Dengan digandrungi nya media sosial oleh mayoritas orang, menjadi kesempatan baik bagi kaum santri memarketkan konten-konten positif sebagai bentuk dakwah dan jihad di jalan Allah.
Kaum santri harus bisa menguasai beragam media sosial dengan intensif dan efektif. Baik itu Facebook, Instagram, WhatsApp, Twitter dsb. Santri sebagai agent perubahan dan social control harus bisa menciptakan konten-konten positif yang bermanfaat.
Pesan-pesan baik atau ilmu yang telah ditransfer oleh para guru di pesantren diupayakan dapat tersampaikan melalui media sosial yang notabenenya menjadi dunia kedua mayoritas orang. Apalagi di tengah maraknya ujaran kebencian di mana kesadaran dan pemahaman orang masih terlalu minim terkait toleransi dalam multikulturalisme. Pentingnya merawat kebhinnekaan belum 100% terpatri dalam hati dan pikiran bangsa ini. Sehingga dengan tampilnya Santri sebagai role model sangat memungkinkan dapat meng-influence orang-orang terkait signifikansi toleransi, ukhuwah, kebhinnekaan, moderasi beragama dsb.
Dengan pengetahuan santri yang terus diasah, dan attitude sebagai bingkai interaksi tentunya menjadi modal besar yang dapat menunjang performanya dalam menanggapi isu-isu global yang krusial. Bahkan, dengan kemampuan yang semakin mumpuni akan semakin mudah untuk santri tampil sebagai pelopor peradaban.
Beberapa sosok panutan yang juga menyandang predikat santri telah menunjukkan performanya. Sebut saja D. Zawawi Imron sang sastrawan handal dengan julukan si Celurit Emas. Habiburrahman El-Shirazy seorang penulis hebat sekaligus penyair, sutradara, pimpinan pesantren dan penceramah. Ahmad Fuadi seorang penulis dengan karya debutnya “Negeri Lima Menara”. Mahfud MD, yang sekarang menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Indonesia. Muhammad Nasir politisi handal dengan jabatan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi pada kabinet kerja (2014-2019). Selain dari nama-nama ini tentu masih banyak para Santri dengan performa hebat di bidangnya masing-masing.
Hari ini adalah giliran para generasinya. Bagaimana generasi santri era society 5.0 mampu melanjutkan estafet perjuangan dan kepemimpinan dari figure panutan yang menyandang predikat santri. Hal ini bukan bentuk intimidasi, akan tetapi sebagai bentuk reminder akan identitas diri. Yang mana peran generasi santri akan selalu kompleks dan komplit.
Selain berjihad dalam meningkatkan kualitas diri, generation of student juga harus berjihad dalam memberikan kontribusi terbaik untuk masyarakat, bangsa ataupun negara sehingga sangatlah tepat jika kaum sarungan dituntut responsif dalam menanggapi era society 5.0.
“Masa depan bangsa ada di tangan pemudanya”. Statement ini rasanya tidak berlebihan karena nyatanya masa muda merupakan usia produktif. Sehingga generasi santri hari ini harus bisa mengambil peran strategis untuk menanggapi tantangan society 5.0. Kaum santri harus belajar kritis dalam menghadapi fenomena revolusi industri, yang mana tidak stagnan dalam satu rotasi, melainkan terus bertransformasi.
Mulai dari istilah 1.0 sampai kini memasuki era society 5.0, respont aktif, produktif, dan kritis harus terus dicanangkan kaum santri karena kini sudah saatnya gerakan heroik “kaum sarungan” kembali mengudara ke permukaan.
“Pemuda hari ini harus turun tangan, berkarya nyata menjawab semesta Indonesia”
Najwa Shihab
Kaum santri sebagai bagian dari kawula muda harus memiliki semangat untuk menjawab segala tantangan zaman dengan kerja dan karya nyata agar kedepannya, ketimpangan dan kesenjangan santri, baik dari segi pendidikan, peran dan pemikiran tak lagi menjadi persoalan krusial.
Penulis: Mauzun – Alumni Zainussalim, sekarang menjadi anggota Forum Ketiga Network, dan pegiat literasi. Instagram: @Iam.Mauzun27. Facebook: Mauzun
qaidahnya niku al-muhafadzoh min qodim as-solih ak-akhdzu min jadidin aslah
Terima kasih atas masukannya