Resep Mencari Teman Sejati Menurut Imam Al-Ghazali

Seiring berjalannya waktu banyak perubahan yang telah terjadi di sekitar lingkungan kita baik itu dalam hal materialis maupun sosialis. Perubahan ini dikarenakan naluri manusia memang selalu membutuhkan perkembangan agar ia tetap hidup bahagia sesuai harapan.

Bayangkan saja bila kita sendirian tanpa ada teman sosial apa yang terjadi? Bahkan kemungkinan besar kesendirian (antisocial personality) seperti itulah justru menyalahi kepribadian manusia secara normal.

mencari teman sejati - pencil drawing

Maka bila kita tidak ingin terjebak dalam keadaan demikian seharusnya kita menjalin hubungan dengan baik terhadap teman maupun lingkungan agar perkembangan kita selalu sesuai fitrah manusia, karena perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial.

Kendatipun demikian tak sedikit di antara kita terjebak dengan masalah sosial tersebut sehingga tidak lagi membantu dalam perkembangan kita melainkan bisa menghilangkan eksistensi bahkan martabat.

Salah satu problem yang acap kali menghampiri adalah masalah menentukan teman atau karakteristik orang yang dapat dijadikan sebagai teman. Karena tidak semua orang dapat dijadikan teman atau sahabat.  Dalam hal ini, Rasulullah saw. bersabda,

“اَلْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ اَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ”

“Seseorang itu sesuai dengan agama sahabatnya. Maka hendaklah seorang dari kalian memperhatikan teman orang tersebut”(HR Abu Daud, Tirmidzi, Dan Hakim)

Al-Ghazali dalam kitabnya yang berjudul “Mukhtasor Ihya’ ‘Ulumiddin” telah menjelaskan karakteristik orang yang dapat dijadikan sebagai teman.

Beliau membeberkan adanya beberapa sifat yang harus diperhatikan di dalam diri seseorang , yaitu bahwa orang tersebut berakal, berakhlak baik, tidak fasik, tidak membuat bid’ah, dan tidak tamak kepada dunia. Dan di sini akal menjadi modal utama. Ali r.a. berkata,

Janganlah berteman dengan saudara kebodohan baik kamu maupun dia

Betapa banyak orang bodoh menjatuhkan orang berakal ketika mendatanginya

Seseorang diukur dengan orang lain, jika dia berjalan bersamanya

Sesuatu pada sesuatu yang lain memiliki ukuran-ukuran dan keserupaan-keserupaan

Dan hati ke hati yang lain memiliki petunjuk jika bertemu dengannya

Bagaimana bisa orang bodoh yang membahayakan adalah bermanfaat terhadapmu?

Karena itu seorang penyair berkata,

Sungguh, Aku merasa aman dari musuh yang berakal. Dan takut kepada sahabat yang ditimpa kegilaan

Karena akal itu memiliki satu cabang dan jalannya ku ketahui hingga ku awasi, dan kegilaan itu bercabang-cabang.

Maka dari itu, memutuskan hubungan dengan orang bodoh adalah ibadah kepada Allah swt. begitu pula orang fasik. Tidak ada manfaat bergaul dengannya karena orang yang takut kepada Allah swt tidak akan terus menerus melakukan dosa besar, sementara orang yang tidak takut kepada-Nya tidak memiliki jaminan keamanan dari kejahatan-kejahatannya.

Allah swt. berfirman, “… dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingat kami, serta menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melewati batas”(al-Kahfi 18:28).

Selain itu, bisa jadi tabiat seseorang meniru tabiat orang lain tanpa dia sadari. Begitu pula pembuat bid’ah.

Adapun akhlak yang baik, Alqomah r.a. mengumpulkannya di dalam wasiat untuk anaknya menjelang kematiannya. Dia berkata, “Wahai anakku, apabila kebutuhan menuntutmu untuk bergaul dengan orang-orang, maka pergaulilah orang yang apabila kamu melayaninya maka dia melindungimu, apabila kamu menemaninya maka dia menghiasimu, dan apabila kesulitan menimpamu maka dia menyantunimu. Pergaulilah orang yang apabila kamu mengulurkan tangan kepadanya dengan kebaikan, dia juga akan mengulurkan, apabila dia melihat kebaikan di dalam dirimu maka dia akan menghitungnya, dan apabila dia melihat keburukan di dalam dirimu maka dia akan memperbaikinya. Pergaulilah orang yang apabila kamu meminta kepadanya maka dia memberimu, apabila kamu diam maka dia memulai pembicaraan denganmu, dan apabila kamu ditimpa bencana maka dia menolongmu. Pergaulilah orang yang apabila kamu berbicara dia maka dia memercayaimu, apabila kamu mencoba sesuatu maka dia mendukungmu, dan apabila kalian berdua berselisih maka dia mengutamakanmu.”

Ali bin abi thalib berkata,

Saudara sejatimu adalah orang yang bersamamu, orang yang membahayakan dirinya untuk kepentinganmu,

Dan orang yang apabila perubahan masa menghancurkanmu, maka dia mencerai-beraikan dirinya untuk menyatukanmu

Sebaiknya dia adalah seseorang yang berilmu, selain memiliki sifat wara’ agar kamu juga dapat memanfaatkan ilmunya.

Luqman al-Hakim berkata, “Wahai anakku, duduklah bersama mereka dan berdesakanlah dengan kedua lututmu. Sungguh, hati itu hidup dengan hikmah, sebagaimana tanah hidup dengan tetesan air hujan.”

Sehingga dengan melalui ikhtiar ini kita mampu saling mencintai di jalan Allah swt. dan bersaudara di dalam agama-Nya, karena ini merupakan ibadah yang paling mulia dan buah dari akhlak yang baik. Keduanya pun merupakan hal yang terpuji. Dan kehidupan yang damai, aman, tentram, dan sejahtera itu tidak lain adalah hasil dari pergaulan yang baik lagi diridhoi. Tabik.

Muhammad Havizan – Seorang mahasantri di Ma’had Aly Situbondo Takhassus Fiqih dan Ushul Fikih dan santri di Ponpes Salafiyah Syafi’iyah. Follow Instagramnya di @havizan_az

Tinggalkan Komentar