Rubah Rebahanmu Menjadi Perubahanmu

Rubah Rebahanmu Menjadi Perubahanmu

Pandemi ini dan Rebahan itu

Mewabahnya virus korona selama beberapa bulan ini secara garis besar telah melumpuhkan banyak aktifitas masyarakat. Pelajar, pegawai, pejabat, pedagang, supir, dan berbagai profesi lainnya terpaksa ‘merumahkan’ kegiatan mereka dan bahkan ada yang tidak bisa bekerja alias menganggur. Kondisi seperti ini juga dialami oleh masyarakat sub culture (meminjam terminologi yang dipakai oleh Gus Dur) pondok pesantren. Tempat-tempat seperti Jerambah masjid, aula pondok, lorong asrama, dan ruang kelas terlihat sunyi dari gemuruh lalaran dan dawuh-dawuh guru ngaji. Tarian tinta tak lagi menggoresi baris-baris kurasan. Merebaklah pula gaya hidup rebahan.

Setelah saya pikir lebih dalam dan seksama. Dalam saat-saat seperti itu para kyai, ustadz, dan santri memiliki banyak waktu senggang atau waktu luang. Waktu senggang adalah waktu di mana seseorang tidak ada “kesibukan”, di waktu ini seseorang punya cukup banyak waktu kosong. Dalam nomenklatur generasi millenial waktu senggang adalah kondisi di mana banyak waktu untuk “rebahan”. Tapi tunggu dulu, ternyata waktu senggang memiliki banyak rahasia, dan jika dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, maka bisa menghasilkan banyak ide-ide brilian.

Waktu Senggang sebagai Modal Kemajuan Peradaban

Berbicara mengenai waktu senggang, saya jadi ingat catatan-catatan saya dari sebuah ceramah yang pernah saya simak di youtube beberapa tahun lalu, kalau tidak salah sekitar tahun 2016. Ceramah tersebut disampaikan oleh seorang intelektual papan atas Indonesia, Luthfie Asy-Syaukaniy.

Banyak pemikir yang berpendapat bahwa kemajuan peradaban itu lahir dari waktu senggang, kata Luthfie. Kemudian dia mengutip pernyataan filsuf besar Bertrand Russel yang mengatakan bahwa kesenggangan adalah waktu yang essensial untuk terciptanya suatu peradaban. Ada lagi pernyataan dari seorang ekonom sekaligus sosiolog asal Austria, Ludwig Von Mises, dia mengatakan peradaban adalah produk dari waktu senggang. Bahkan ada pendapat yang paling keren menurut saya sebagaimana disampaikan oleh Lutfie dalam ceramahnya, “Pemikir Jepang mengatakan, para pekerja keras menciptakan industri, tapi orang-orang malas menciptakan peradaban”.

Saya yakin sebagian dari pembaca pasti tersentak tidak percaya dan bahkan mungkin segera bangkit dari “rebahannya” karena tercengang membaca pernyataan ini. Pendapat-pendapat para ahli tersebut sekilas terdengar absurd. Mana mungkin peradaban tercipta dengan se-santuy itu. Namun setelah mendengarkan keterangan dan penjelasan atas teori-teori di atas secara komprehensif yang disertai argumentasi-argumentasi logis dan tinjauan sosio-historis, ternyata natijah (konklusi) para pemikir itu memang benar.

Sejarah Manusia dalam Perkembangan Peradaban

Asy-Syaukaniy dalam ceramahnya merangkai argumen tersebut dengan menceritakan sekilas sejarah manusia. Dia memaparkan bahwa sejarah manusia modern dimulai 200.000 tahun yang lalu. Namun akselerasi peradaban manusia baru berkembang sejak 10.000 tahun terakhir. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa hal ini terjadi? Kenapa terjadi stagnansi dalam kurun waktu yang sangat lama? Dan kenapa peradaban manusia baru mengalami akselerasi di kurun 10.000 tahun terakhir?

Jawaban atas pertanyaan di atas adalah karena adanya waktu senggang yang sebelumnya tidak didapat oleh manusia. Jadi waktu senggang betul-betul sangat berharga sekali. Dengan “menganggur” (baca: waktu senggang) manusia menjadi lebih banyak berpikir. Proses berpikir atau kontemplasi bisa berjalan efektif jika manusia punya cukup waktu untuk melakukannya. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana manusia bisa memiliki waktu senggang sehingga menjadi babak baru dalam kemajuan peradaban yang signifikan?

Kembali lagi pada sejarah. Peradaban manusia berjalan di tempat ketika manusia berada pada fase berburu dan nomaden. Pada fase ini mereka masih sibuk mengembara ke mana-mana, dari satu hutan ke hutan lainnya untuk bertahan hidup. Waktu dan energi mereka habis hanya untuk sibuk bekerja. Mereka tidak memiliki banyak waktu untuk mendayagunakan akal pikiran sehingga produktifitas akal hampir belum ada, dan yang ada di fase ini hanya produk kerja fisik. Dan itupun produk-produk yang sederhana dan bahkan primitif.

Namun setelah manusia memutuskan diri untuk hidup menetap di suatu tempat tertentu dan membangun sebuah rumah untuk tempat tinggal. Mereka mulai punya waktu untuk santai dan bermain-main. Mereka mulai berpikir untuk bercocok tanam, menggembala, menciptakan tari, seni dan lain-lain. Dari sinilah banyak waktu senggang yang mereka lakukan untuk berpikir dan berperadaban. Semua itu tercapai dikarenakan mereka memiliki waktu senggang. Jadi, tidak berlebih-lebihan jika dikatakan bahwa puncak peradaban berawal dari waktu senggang. Bahkan ada sejarawan mengatakan bahwa agama juga bermula karena ada waktu senggang.

Itulah alasan-alasan mengapa para pemikir dunia berkesimpulan dan berteori bahwa peradaban manusia lahir dari waktu senggang. Jadi, pendapat ini jika ditilik secara filosofis dan historis bukan suatu gurauan atau perkataan yang main-main. Artinya, suatu peradaban baru mengalami kemajuan saat memiliki banyak waktu untuk berpikir, dan kesempatan ini akan diperoleh dengan manusia memutuskan untuk menetap, tidak lagi hidup berpindah-pindah. Inilah makna essensial peradaban yang selama ini sering kita dengar namun jarang yang tahu bagaimana latar belakang asal-usulnya.

Peradaban dalam Kajian Lughah al-Arabiyyah

Mungkin bagi sebagian besar pembaca dari lingkungan pesantren yang akrab dengan bacaan-bacaan berbahasa Arab dan Islami. Akan menganggap pemaparan awal saya tadi kurang ber-nash. Masih ada rasa kurang puas jika belum dicantumkan bukti-bukti atau teks-teks yang berasal dari habitat asal mereka. Maka dari itu berikut saya cantumkan keterangan terkait peradaban yang bersumber dari kitab untuk memberikan kepuasan literatur (al-nushush al-muktafiah li al-adzhan wa al-afkar). Apakah nantinya teks-teks itu bertentangan atau mendukung pemaparan awal saya. Namun saya tidak akan memperpanjang diskursus ini, sebab garapan utama saya di sini adalah fokus pada pentingnya waktu senggang sebagai pembaruan peradaban.

Baiknya saya memulai pembahasan ini dari segi bahasa terlebih dulu. Dalam kamus Arab-Indonesia kata peradaban semakna dengan hadlarah. Di kamus ini Kata hadlarah (peradaban) juga memiliki arti suatu kehidupan menetap (tidak mengembara, peradaban). Dalam mujam al-ghani hadlarah berarti ya’isyu ahlu al-mudun fi hadlaratin : fi tamaddunin ‘aksa al-badawah (penduduk kota yang hidup menetap, bertempat tinggal: menetap, tidak mengembara atau tidak nomaden). Selanjutnya masih dalam mujam al-ghani ada ungkapan, “haqqaqat al-hadlarah al-arabiyyah al-islamiyyah taqadduman fi julli al-mayadini al-ilmiyyah”: madhahiru al-taqaddum wa al-ruqiyyi fi mayadini al-ilm wa al-din wa al-fann wa al-adab wa al-mi’mar ma’a mujmali khashaishiha al-mumayyizah laha (peradaban Arab Islam mencapai kemajuan di seluruh bidang pengetahuan: yakni manifestasi kemajuan bidang ilmu, agama, seni, adab, dan arsitektur beserta keseluruhan karakteristik keistimewaannya).

Jadi sangat ceto welo-welo (editor: jelas sekali) betapa peradaban secara bahasa adalah suatu bentuk kehidupan manusia yang menetap, maksudnya saat manusia punya tempat tinggal di suatu tempat tertentu atau tidak berpindah-pindah. Dan kemudian dalam kondisi seperti ini manusia memulai mengembangkan peradaban mereka. Jadi intinya peradaban (tamaddun atau hadlarah) merupakan vis à vis dari pada polahidup nomad, badawah, atau berpindah-pindah.

Kemudian saya kutipkan sebuah keterangan tentang makna peradaban dalam kitab al-hadlarah al-islamiyyah asasuha wa wasailuha wa shuwarun min tathbiqat al-muslimin laha wa lamhat min ta’tsiriha fi sairi al-umam karya Abdurrahman ibn Hasan al-Maidaniy al-dimasqiy (wafat: 1425 hijriyyah). Di bagian awal kitab ini dijelaskan tentang makna hadlarah, intinya persis dengan makna hadlarah yang telah saya paparkan di atas. Di kitab ini dijelaskan bahwa pada dasarnya hadlarah adalah suatu kehidupan masyarakat yang menetap di suatu perkotaan atau pedesaan. Kemudian kata ini oleh para sejarawan dan sosiolog diartikan sebagai berbagai macam bentuk kemajuan manusia. Sebab kemajuan manusia tidak mungkin tercapai dan berkembang tanpa pilihan untuk hidup menetap.

إذا كانت الحضارة تعني في أصل اللغة إقامة مجموعة من الناس في الحضر، أي في مواطن العمران، سواء كانت مدنًا أم حواضر أم قرى، فإن معناها قد توسع عند المؤرخين والباحثين الاجتماعيين حتى صار شاملًا لجميع أنواع التقدم والرقي الإنسانيين؛ لأنهما لا يزدهران إلا عند المستقرين في مواطن العمران

Demikian sekelumit penjelasan tentang makna peradaban mulai dari sejarah secara umum maupun dalam pandangan keilmuan Islam. Kembali ke pokok pembahasan awal, yakni masa senggangnya dunia pesantren yang sekarang sedang mereka nikmati. Kondisi ini menjadikan mereka lebih banyak merenung dan berpikir, bukan berarti sebelumnya tidak berpikir. Sekali lagi, dalam kesenggangan ini proses berpikir lebih banyak porsinya. (Saya tidak memasukkan kata “melamun” karena melamun adalah sesuatu yang un-faedah, dan ini tidak saya bahas di sini). Sehingga di masa-masa seperti ini, alih-alih tergelayuti suasana boring, gelisah, dan galau, malah melahirkan ide-ide ciamik dan menakjubkan. Muncullah terobosan-terobosan yang tidak terpikirkan sebelumnya. Langkah-langkah yang di waktu sebelumnya tidak begitu diprioritaskan bahkan cenderung terabaikan.

Geliat Dunia Digital di Pondok Pesantren

Sebagaimana kita ketahui, sebelum adanya wabah korona, kebanyakan para ustadz dan kyai tidak begitu tertarik untuk melebarkan bacaan kitab dan ceramahnya melalui kanal-kanal youtube atau media-media lain, seperti facebook, instagram, dan website. Hanya beberapa saja yang sudah memanfaatkan media-media tersebut. Berdasarkan beberapa wawancara yang pernah saya lakukan. Ternyata ada beberapa faktor yang mempengaruhi keengganan tersebut. Di antaranya seperti, merasa sudah cukup dengan yang sudah dilakukan selama ini, ada juga yang beralasan karena ketersediaan human resource yang kurang memadai dan kendala teknis lainnya, dan bahkan ada yang bersikap apatis dengan dalih “gak ono waktu gawe ngunu iku”, Hal ini juga yang menjadikan saya agak sedikit kecewa. Saya hanya bisa menyimpulkan ini semua hanya masalah waktu dan kesempatan, jika mau berpikir dalam dan menjalaninya pasti ada jalan terang. Dan ternyata prediksi saya benar, sekarang kita bisa lihat media-media penuh sesak dengan ngaji-ngaji ala pesantren.

Dengan adanya pembatasan sosial akibat pandemi ini, masyarakat pondok pesantren banyak memiliki waktu senggang sebagaimana telah saya katakan sebelumnya. Dalam kesenggangan ini mereka kemudian berpikir bagaimana caranya agar bisa terus menjalani aktifitas ngaji sementara tubuh terpisah oleh ruang dan jarak. Kebiasaan-kebiasaan konvensional sebelumnya tidak mungkin lagi dilakukan. Sehingga muncul ide untuk membikin kanal youtube. Bagi yang kesulitan live lewat youtube karena keterbatasan subscriber, mereka bergegas memanfaatkan akun facebook dan IG sebagai ladang live mereka, yang dulunya hanya sekedar dinding untuk memajang foto-foto. Walhasil, di awal bulan April terjadi akselerasi perkembangan digital atau internet dunia pesantren.

Sebagai contoh, di pesantren Tambakberas Jombang tempat saya belajar. Sebelum “waktu senggang”, setidaknya hanya al-Muhibbin, al-Fathimiyyah, al-Amanah, al-Mardliyyah dan pondok Induk yang sudah memiliki channel youtube dengan subscriber yang belum begitu banyak, dan itupun tidak setiap hari admin mengunggah pengajian khas kitab-kitab kuning. Namun sekarang geliat ini sangat terasa sekali. Banyak muncul kanal-kanal baru yang setiap hari mengadakan siaran langsung pengajian kitab, bahkan ada yang sampai tiga kali setiap harinya.

Saya ambil seperti misalnya Madrasah Muallimin Muallimat yang sudah berdiri sejak 1953 masehi, ternyata baru kali ini, di tahun 2020 akhir bulan Maret, tim madrasah membuat dan memiliki kanal youtube sebagai media informasi dan kajian-kajian yang berkualitas. Tentunya bukan berarti di tahun 1953 harus sudah ada youtubenya, sebab di tahun itu mana ada platform youtube, hahaha. Belum lagi madrasah-madrasah lain di seantero Tambakberas yang turut mengambil langkah serupa. Begitu juga pondok-pondok pesantren di Bahrul Ulum yang semuanya ber-fastabiqul khairat dalam mengembangkan media online.

Madrasah Muallimin Muallimat yang sudah berdiri sejak 1953 masehi rebahan

Itu baru di satu pesantren, belum lagi pesantren-pesantren lain selain pesantren Tambakberas seperti yang telah saya paparkan barusan, yang apabila kita lihat dan cari di youtube, facebook, dan IG pasti akan banyak kita temukan dengan mudah. Selain lembaga-lembaga pesantren dan madrasah, banyak juga perorangan yang meng-online-kan pengajian-pengajian mereka. Mulai dari kalangan ustadz, kyai, dan bahkan beberapa santri senior, baik melalui akun youtube, facebook, IG, dan media lain. Dan aplikasi yang sedang banyak digandrungi banyak kalangan dan viral saat ini adalah zoom meeting.

Selain online bi al-lisan, yakni meng-oral-kan kitab di depan kamera dengan style orasi khasnya masing-masing. Ada pula beberapa orang yang memilih jalur menuliskan intisari dari hasil telaah atas kitab-kitab tertentu dan kemudian mereka sebar di dinding-dinding facebook, thread twitter, atau di grup-grup whatsapp. Dan salah satunya website insantri.com merupakan salah satu wadah untuk menuangkan gagasan-gagasan atau tulisan-tulisan yang ber-nash dari golongan terakhir yang saya sebut barusan.

Demikian itu merupakan hasil-hasil kreatifitas progresif yang saya sebut sebagai produk waktu senggang. Waktu yang sangat berharga bagi orang yang mau berpikir. Dengan waktu senggang, peradaban baru di bidang digital dan ke-online-an dunia sarungan benar-benar meluas dan menjadi suatu hal yang mulai membudaya dan saya yakin ke depan model seperti ini terus mentradisi. Geliat digital, virtual, atau alinternetiyyah dunia pesantren telah menemukan jalan terangnya. Sesuatu yang dulunya tidak begitu diperhatikan atau malah dipandang sebelah mata. Dengan menggeliatnya semangat mengunggah tulisan-tulisan ilmiyyah dan video-video pengajian, maka ilmu-ilmu tersebut tidak hanya terbatas di waktu dan ruang tertentu, namun manfaatnya bisa dirasakan oleh masyarakat secara luas. Mereka bisa mengakses kapan saja dan di mana saja.

Tentu langkah progresif ini bukan merupakan puncak pencapaian, melainkan sebuah titik awal keberangkatan dari sebuah pendakian. Masih banyak lagi tahapan-tahapan yang lebih tinggi yang harus dipikirkan dan ditempuh untuk menuju puncak suatu peradaban kemanusiaan (baca: pesantren). Oleh karena itu, sudah semestinya kita manfaatkan semaksimal mungkin atas karunia Allah subhanahu wataala, yaitu berupa waktu senggang, mengingat juga atas sesuatu yang pernah disabdakan oleh Baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam tentang pentingnya memanfaatkan waktu senggang sebelum datangnya waktu sempit.

Jika Anda ingin merubah Rebahan menjadi Perubahan. Ini lah saatnya!

Oleh: Ubaidil Muhaimin

Guru Muallimin Mulallimat 6 Tahun Bahrul Ulum Tambakberas Jombang

Tinggalkan Komentar