Asal Usul Rajah Anti Rayap Kabikaj كبيكج
Tulisan ini adalah upaya untuk menelusuri asal usul rajah anti rayap Kabikaj. Sebuah rajah yang sangat sering ditemukan dalam manuskrip berbahasa Arab baik yang ada di pesantren, perpustakaan, dan lain-lain. Tulisan ini juga berupaya untuk mencari kebenaran dan mengupas arti sebenarnya dari “Kabikaj” serta alasan mengapa “Kabikaj” hadir di halaman depan sebuah kitab kuning/manuskrip pesantren.
Daftar Isi:
- Kabikaj di Dunia Pesantren
- Mitos yang Berkembang Mengenai Kabikaj
- Menelusuri Asal Usul Rajah Anti Rayap Kabikaj
- Kabikaj Sebuah Saran dari Penulis
Kabikaj di Dunia Pesantren
Sudah menjadi keumuman di dunia pesantren, penemuan tulisan “Kabikaj” / “كبيكج” di hampir setiap halaman awal atau halaman judul Kitab. Hal itu tidak lepas dari kepercayaan mereka – para santri – bahwa dengan menuliskan rajah itu maka kitab tersebut akan terhindar dari dimakan hama seperti serangga dan rayap sehingga kitab menjadi awet dan tahan lama.
Maka mereka akan menuliskan di halaman depan atau judul kitab mereka dengan rajah seperti Kabikaj “كبيكج”, atau Ya Kabikaj “يا كبيكج”, atau dengan derivasi atau bentuk yang sudah berubah seperti, Bakaikaj “بكيكج”, Ya kikah “يا كيكح”, Akinkaj “أكنكج”, kaninkaj “كننكج”, kih “كيح”, atau Bekiking “بكيكيغ”. Dan ada pula diberi imbuhan-imbuhan seperti Ya Hafidh “يا حفيظ” (Wahai Penjaga), Ihfadh hadzihi al-waroq “إحفظ هذه الورق” (Jagalah Kertas ini!), dan ihfadz hadzihi al-kitab “إحفظ هذه الكتاب” (Jagalah Kitab ini!).
Ada beberapa hal yang mungkin menjadi faktor alasan mengapa rajah ini masih eksis digunakan di dunia pesantren sampai sekarang. Faktor tersebut antara lain:
Pertama, santri junior mencontoh santri senior. Contoh ilustrasinya sebagai berikut, santri junior yang melihat kitab santri senior lengkap dengan Kabikaj-nya akan bertanya apakah kabikaj itu, setelah diberitahu oleh seniornya bahwa kitab yang ditulisi Kabikaj maka kitab tersebut akan terhindar dari dimakan oleh rayap atau serangga yang lain sehingga santri junior pun mengikutinya.
Kedua, sudah menjadi tradisi di sebuah pesantren, penulisan Kabikaj yang dilakukan terus-menerus pada halaman depan kitab lama-kelamaan akan menjadi sebuah tradisi di pesantren dan akan diikuti dan diwariskan secara turun temurun tanpa adanya penolakan.
Dan ketiga, terpesona dengan keindahan kaligrafi Kabikaj. Kabikaj yang ditulis dengan seni kaligrafi membuat tulisannya indah dipandang kemudian memungkinkan ditiru oleh orang yang melihatnya.
Ketika ditanya mengapa para santri melakukan itu, mereka akan menjawab dengan jawaban-jawaban seperti, “ini adalah wifiq”, “ini adalah rajah anti rayap”, “Kakang-kakang santri saya juga melakukannya”, “Agar kitab saya tidak dimakan serangga atau rayap”, dan “Sudah menjadi tradisi pondok pesantren saya”. Kebanyakan dari mereka tidak tahu alasan lebih jauh mengenai “Kabikaj” tersebut. Dengan kata kunci “anti rayap” membuat Kabikaj mudah diamini oleh para santri, apalagi dengan adanya polesan-polesan kekuatan mistis menjadi daya tarik tersendiri bagi Kabikaj.
Mitos yang Berkembang Mengenai Kabikaj
Berikut adalah mitos atau kepercayaan yang berkembang mengenai Kabikaj, antara lain:
- Kabikaj artinya raja coro
Kabikaj mempunyai arti yaitu raja kecoa atau coro. Sehingga dengan menuliskan nama raja kecoa maka serangga-serangga lain akan segan dan takut sehingga menjauhi kitab yang ditulisi dengan nama raja kecoa tersebut. Ada juga yang mengartikan Kabikaj sebagai raja rayap dan raja reptil.
- Kabikaj adalah malaikat
Kabikaj adalah nama malaikat yang mempunyai tugas yaitu mengatur semua serangga. Sehingga kitab atau manuskrip bertuliskan nama malaikat “kabikaj” akan dijaga dari dimakan oleh rayap maupun serangga lain. Selain itu Kabikaj juga diartikan sebagai nama jin.
Menelusuri Asal Usul Rajah Anti Rayap Kabikaj
Penulis telah melakukan penelusuran mengenai Kabikaj melalui buku-buku, artikel-artikel blog, bahkan forum-forum yang ada di media sosial.
Penulis awalnya menemukan postingan di grup facebook, tentang seorang yang bertanya mengenai “kabikaj” dengan pertanyaan “Mengapa tulisan ini hampir ada di setiap halaman awal setiap kitab di pesantren?”. Banyak jawaban di kolom komentar yang mengatakan bahwa itu adalah rajah anti rayap, ada juga yang menyarankannya, dan ada juga yang berusaha menerangkan artinya, baik bahasa Persia, bahasa India, dan awal mula ditemukannya tulisan tersebut di Indonesia. Penulis juga pernah melihat tulisan tersebut ada di kitab teman saat masih berada di pondok pesantren. Akhirnya, hal ini lah yang menggerakkan Penulis untuk melakukan penelusuran lebih lanjut.
Ternyata banyak artikel blog di Internet yang membahasnya, baik artikel berbahasa Indonesia, Arab, Inggris, bahkan bahasa Turki. Setelah melihat secara keseluruhan tenyata dapat ditarik kesimpulan bahwa kebanyakan artikel berbahasa Indonesia menganjurkan menulis Kabikaj dengan judul-judul seperti Jimat Santri, Jimat Anti Rayap, Mantra Ampuh dan Rahasia Santri Nusantara. Dan artikel-artikel tersebut banyak menggunakan kata-kata “konon”, “ada sebuah cerita”, “entah mengapa tulisan ini manjur”, dan “coba saja”.
Sedangkan artikel bahasa lain berbeda sudut pandangnya mengenai “kabikaj”. Ada tulisan yang murni membahas Kabikaj sebagai jenis tumbuhan seperti Ghofiqi Project atau Proyek al-Ghafiqi yang dilakukan oleh professor-professor di McGill University, ada yang membahasnya sebagai fenomena yang biasa terjadi dalam manuskrip arab karena termasuk sebagai magic square (wifiq) atau talisman (Thilsim/Mantra) dan ada juga yang secara tegas mengatakan bahwa Kabikaj telah disalahartikan, dan disalahgunakan.
Untuk buku yang membahas Kabikaj, Pembaca bisa mencari tahu di buku yang ditulis oleh A. Ginajar Sya’ban yang berjudul “Mahakarya Islam Nusantara; Kitab, Naskah, Manuskrip, dan Korespondensi Ulama Nusantara” di dalamnya juga diterangkan bagaimana Persia mempunyai hubungan dengan Indonesia dari segi penyebaran ilmu agama Islam. Pembaca juga bisa membaca buku yang ditulis oleh Adam Gacek yang berjudul “The Use of Kabikaj in Arabic Manuscripts” dan “Arabic Manuscript: A Vademecum for Readers” yang membahas penggunaan Kabikaj, bagaimana Kabikaj itu muncul dan arti Kabikaj itu sendiri. Atau pembaca bisa mencarinya pada buku-buku lain yang membahas “Manuskrip Arab”.
Kabikaj sebuah mantra
Kabikaj banyak ditemukan dalam manuskrip arab. Penggunaannya dipercaya dapat menangkal bermacam-macam serangga dan cacing.
Ihbas Ya Kabikaj al-aradlah Ya Hafiz Ya Allah Ya Allah Ya Allah
(Halangilah Wahai Kabikaj kepada Rayap! Wahai Pelindung Hai Allah, Allah, Allah!)
Ya Hafidz Ya Kabikaj kemudian dilanjutkan dengan Segel Sulaiman.
Pada kasus lain ada juga yang diimbuhi belakangnya dengan Qithmir “قطمير” (nama anjing penjaga Ashhab al-Kahfi).
Kabikaj sebuah tanaman
Kabikaj merupakan nama tumbuhan yang dikenal juga sebagai Batrakhion (nama Yunani), dan Ranunculus asiaticus (nama latin). Ranunculus dalam bahasa latin artinya ‘katak kecil’.
Sebagaimana yang diterangkan oleh Abu Ja`far al-Ghafiqi seorang ahli botani atau farmakologis terhebat pada periode Islam, dokter dan sarjana Andalusia abad ke-12. Bahwasanya Kabikaj merupakan nama tumbuhan (mirip dengan الكرفس البري) yang dikenal juga sebagai Syajarat al-dlofadi’ (tanaman katak) dan Kaff al-Sab’i (tapak singa). Beliau juga mengilustrasikan tanaman tersebut ke dalam kitabnya dan varietas/macamnya yang lain dengan gambar.
Di kitab yang lain, Pembaca juga bisa menemukan kata “Kabikaj”, seperti al-Qonun fi ath-Thibb karangan Ibn Sina, al-Hawi karangan Imam al-Razi, al-Mu’tamad karangan al-Malik Mudhaffar al-Ghassani, Mafatih al-Ulum karangan al-Khawarizmi, dll yang merujuk pada sebuah tanaman, kabikaj dikenal dengan nama-nama seperti di atas serta nama lain seperti Kaff al-Dlob’ (telapak hyena), dan Ward al-Hubb (bunga cinta). Karena beracun Kabikaj bisa mengusir serangga, dan walaupun beracun Kabikaj bisa digunakan sebagai penghilang nyeri sakit gigi dengan cara khusus (seperti yang diterangkan dalam al-Qanuun fi al-Thibb).
Kabikaj atau Ranunculus asiaticus sebagaimana dilansir dari Wikipedia adalah tanaman tahunan yang tumbuh hingga 45 cm, dengan batang sederhana atau bercabang. Daun basal memiliki tiga lobus, daun yang lebih tinggi pada batangnya terbagi lebih dalam. Mereka berbulu halus atau agak tebal seperti batang tanaman itu sendiri. Bunganya berdiameter 3-5 cm, bervariasi merah hingga merah muda, kuning, atau putih, dengan satu atau beberapa bunga di setiap batang. Ini adalah tanaman yang dilindungi di beberapa negara, termasuk Israel.
Kabikaj sebuah kesalahpahaman
Kabikaj menjadi kesalahpahaman yang diturunkan secara turun menurun.
Dalam artikel yang ditulis oleh Dr. Yusef Zidan, Direktur Perpustakaan Iskandariyah menyatakan sebagai berikut:
Dalam banyak manuskrip kuno, kami menemukan frasa “Ya Kabikaj ihfadz al-waroq” dan mereka yang para pegiat turats percaya bahwa frasa ini adalah permohonan/doa dari mitos-mitos/khurafat yang diyakini oleh para leluhur, seolah-olah di situ ada malaikat pelindung untuk naskah, atau sesuatu seperti takhayul itu.
Tetapi kebenarannya bertentangan dengan keyakinan pegiat turats bahwa kata (Kabikaj) adalah nama tanaman yang mirip dengan (seledri liar/ الكرفس البري) juga disebut: كف السبع ، شجر الضفادع ، عين الصفا dan itu termasuk dari tanaman beracun yang mematikan, tabib kuno kita menggunakannya untuk mengobati penyakit kulit .
Dan di masa lalu para pembuat halaman kertas menggunakan tanaman (Kabikaj) untuk menjaga naskah dari serangga, seperti rayap, ngengat dan lain-lain, dan itu adalah proses yang mirip dengan apa yang kita sebut hari ini sebagai penguapan. Untuk membedakan naskah yang sudah diuapkan (dengan kabikaj), tertulis di sampulnya kalimat يا كبيكج احفظ الورق, sebagai tanda bagi pembeli atau kolektor naskah, bahwasanya kertas tersebut sudah di-treatment/sudah diuapi dengan jenis tanaman ini.
Menurut penemuan Ibrohim al-Yahya salah satu karyawan Perpustakaan al-Malik Abdul Aziz yang bertugas dalam bidang pengindeksan manuskrip, pada sebuah thread forum ahl hadeeth ia mengatakan “bahwa tidak asing lagi kata ‘Ya Kabikaj’ di mata saya sebagai seorang pengindeks manuskrip (al-makhthuthot).” Kemudian ia melanjutkan dengan membeberkan hasil pelacakannya.
“Dan kebenarannya adalah saya melacak buku-buku di kabinet manuskrip di Perpustakaan Umum Raja Abdulaziz, jadi bagian terpenting adalah buku Hanafi yang datang dari India, Sindh dan Persia, beberapa Turki dan sangat sedikit dari Mesir dan Yaman, dan jarang dari negara-negara Maroko.”
Kemudian ia juga membagi penulisan Kabikaj ke dalam tiga generasi, antara lain:
- Generasi pertama: Tanaman Kabikaj sebenarnya digunakan untuk pengobatan dan perawatan buku. Kata Kabikaj dituliskan tanpa adanya permohonan dan doa, dan inilah yang disebut oleh Dr. Yusef Zidan.
- Generasi kedua: Generasi yang menggunakan Kabikaj hanya untuk menaikkan harga naskah dan mempromosikannya sebagai buku yang awet dan anti rayap.
- Generasi ketiga: Mereka adalah orang-orang yang menyalahgunakannya dalam bentuk permohonan dan doa, dan mungkin generasi ini berasal dari orang bebal, dari penjual manuskrip dan kamus (yang ingin menaikkan harga), dan lainnya yang mengizinkan meminta dengan selain Allah.
Jadi kesimpulannya kabikaj awalnya memang digunakan sebagai segel buku anti rayap karena memang bahan kertasnya sudah diuapi dengan kabikaj, namun lama-kelamaan banyak disalahgunakan untuk menaikkan harga manuskrip walaupun kertas belum diuapi kabikaj. Dan bagian yang lebih lucunya lagi adalah lama-kelamaan muncul kesalahpahaman bahwa tulisan tersebut adalah sebuah wifiq atau semacam mantra yang dengan mantra tersebut manuskrip akan menjadi anti rayap. Masuklah doa-doa dan mantra-mantra lain ke dalamnya. Lalu muncullah madzhab tiru-tiruiyah / ikut-ikutan, terlihat sekali dari redaksi yang gampang berubah-ubah dari kabikaj ke kanikaj, bakaikaj, ikij, ikih. Bagaimana kalau ini terus-terusan berlangsung? Apakah akan menjadi ikeh-ikeh? Kimochi? Astaghfirullah al-adhim.
Kabikaj Sebuah Saran dari Penulis
Kita sebagai santri harus kritis dan tidak asal meniru apa yang kita lihat. Perlu penyaringan, penalaran, dan pilah-memilah dalam hal-hal penting termasuk hal-hal yang berhubungan dengan keimanan seperti ini. Ketidaktahuan adalah faktor yang sangat mempengaruhi pada masyarakat kita khususnya santri, apalagi kalau sudah menyangkut tradisi, akan mudah sekali ditiru tanpa adanya penelusuran lebih lanjut.
Sebaliknya mari kita menciptakan budaya, budaya atau budi dan daya merupakan kebiasaan yang tercipta dari budi (akhlak) dan daya (pikiran) yang pastinya sudah tersaring dan memang ditujukan untuk kebaikan.
Alih-alih menulis Kabikaj, alangkah lebih baiknya jika yang ditulis di dalam halaman pertama kitab kita adalah basmalah, hamdalah, dan sholawat karena lebih jelas manfaatnya. Atau jika perlu slogan dan motto untuk menambah semangat dalam menuntut ilmu seperti man jadda wa jada, idz shohha al-haditsu fahuwa madzhabi, man yazro’ yahshud dll.
Banyak yang sibuk mengurus keroposnya kitab, namun sedikit yang memerhatikan keroposnya ilmu dan iman.
Wallahu a’lam
Penulis: Mudhofar
Alumni Ponpes Nurul Anam Kranji Kedungwuni Pekalongan dan Ponpes Bahrul Ulum Tambakberas Jombang
Assalamu ‘alaikum..
Ijin download kitab pdfnya ustadz…
Terimakasih
Wa alaikumussalam, silahkan didownload saja, Ustadz
semoga bermanfaat
Bukan memohon atau meminta pada tulisan itu. tetap saja kita mintanya sama Allah tapi lewat perantara / ikhtiar… Salah satunya ya lewat tulisan itu yang dijadikan sebagai do’a. Apa salahnya kita berdo’a.
Seorang mukmin bebas dalam berdoa, baik dengan doa ma’tsurah, doa’ dari ‘ulama ataupun doa pribadi, baik tulisan maupun lisan, baik berbahasa Arab maupun bahasa lainnya.
namun perlu dipahami dalam tulisan saya, yang menjadi fokus pembahasan adalah Kabikaj yang saya uraikan secara historis dalam penggunaannya mengalami pergeseran yang melenceng dari asalnya. Coba dibaca lagi dengan seksama. Terima Kasih.