Fi’il Muta’addi dan Fi’il Lazim ( الفعل المتعدّي واللّازم ) Jago Nahwu Shorof

( الفعل المتعدّي واللّازم )

Pembahasan nahwu mengenai Fi’il Muta’addi dan Fi’il Lazim. Dua jenis fi’il yang dibagi berdasarkan makna dan tingkat pengaruhnya terhadap maf’ul bih.

Fi’il jika dilihat dari maknanya maka dibagi menjadi dua:

  1. Fi’il Mutaaddi ( الفعل المتعدّي )
  2. Fi’il Lazim ( الفعل اللّازم )

Pembahasan selanjutnya mengenai kedua fi’il tersebut sebagai berikut:

Fi’il Mutaaddi

Fi’il Muta’addi adalah fi’il yang pengaruhnya melampaui fa’il-nya sehingga mencapai maf’ul bih.

:نحو

فَتَحَ بَكْرٌ الْبَابَ

Bakr telah membuka pintu

Fi’il muta’addi membutuhkan kepada fa’il yang menjadi pelaku fi’il tersebut dan maf’ul bih sebagai objek/sasaran fi’il. Sehingga fi’il ini juga dinamakan “fi’il waqi’ ( الفعل الواقع )” karena menyasar kepada maf’ul bih, dan juga “fi’il mujawiz ( الفعل المجاوز )” karena melampaui fa’il sampai maf’ul bih.

Ciri-ciri Fi’il Muta’addi

Ciri-ciri fi’il mutaaddi adalah menerima/bertemu ha’ dlomir yang kembali kepada maf’ul bih. Seperti contoh berikut:

:نحو

اجْتَهَدَ الطَّالِبُ فَأَكْرَمَهُ أُسْتَاذُهُ

Seorang murid telah rajin maka ustadznya memuliakannya

CATATAN: Adapun ha’ dlomir yang kembali kepada dhorof atau mashdar maka bukanlah pertanda atas ke-muta’addi-an fi’il tersebut.

Contoh pertama:

يَوْمَ الْجُمُعَةِ زُرْتُهُ

Pada hari jum’at, Kunjungilah (di dalam)nya

Contoh kedua:

تَجَمَّلْ بِالْفَضِيْلَةِ تَجَمُّلًا كَانَ يَتَجَمَّلُهُ سَلَفُكَ الصَّالِحُ

Berhiaslah dengan keutamaan dengan berhias sebagaimana berhias (dengan)nya pendahulumu yang shalih

Ha’ yang ada pada contoh pertama berada pada tempat nashab sebagai maf’ul fih/dhorof. Sedangkan ha’ pada contoh kedua menempati tempat nashab sebagai maf’ul muthlaq/mashdar.

Muta’adi binafsihi dan Muta’addi bighairihi

Fi’il muta’addi dibagi menjadi dua macam, yakni:

  1. Muta’addi binafsihi ( المتعدّي بنفسه )
  2. Muta’addi bighairihi ( المتعدّي بغيره )

Muta’addi binafsihi adalah fi’il yang bisa mencapai kepada maf’ul bih-nya secara langsung (tanpa perantara huruf jarr).

:نحو

رَأَيْتُ الْقَمَرَ

Aku melihat bulan

Maf’ul pada muta’addi binafisihi dinamakan sharih.

Sedangkan muta’addi bighairihi adalah fi’il yang mencapai maf’ul bih-nya dengan perantara huruf jarr.

:نحو

ذَهَبْتُ بِكَ

Artinya sama dengan أَذْهَبْتُكَ

Aku membawa pergi dirimu

Maf’ul pada muta’addi bighairihi dinamakan ghairu sharih.

Terkadang muta’addi mempunyai dua maf’ul yang berbeda, yang satu sharih dan yang satunya lagi ghairu sharih.

:نحو

أَدُّوْا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

Tepatilah amanah-amanah kepada ahlinya

الْأَمَانَاتِ adalah maf’ul bih sharih. Dan أهل adalah maf’ul bih ghairu sharih, secara lafadh ia dibaca jarr sebab adanya huruf jarr, dan berhukum nashab secara mahall dikarenakan ia menjadi maf’ul bih ghairu sharih.

Jumlah Maf’ul Fi’il Muta’addi

Dilihat dari jumlah maf’ul, fi’il muta’addi dibagi menjadi tiga:

  1. muta’addi kepada satu maf’ul,
  2. muta’addi kepada dua maf’ul,
  3. dan muta’addi kepada tiga maf’ul.

Adapun fi’il muta’addi kepada satu maf’ul sangat banyak sekali jumlahnya, contohnya seperti: كَتَبَ , أَخَذَ , عَفَرَ , أَكْرَمَ , نَصَرَ

Muta’addi kepada dua maf’ul

Muta’addi kepada dua maf’ul dibagi menjadi dua yakni Pertama, yang asal maf’ul-nya bukan mubtada’ khabar, dan Kedua, yang asal maf’ul-nya dari mubtada’ khabar.

Pertama (yang asal maf’ul-nya bukan mubtada’ khabar) contohnya adalah أَعْطَى ,سَأَلَ ,مَنَحَ ,مَنَعَ ,كَسَا ,أَلْبَسَ ,عَلَّمَ

نحو

أَعْطَيْتُكَ كِتَابًا

Aku memberimu kitab

مَنَحْتُ الْمُجْتَهِدَ جَائِزَةً

Aku memberi orang rajin hadiah

مَنَعْتُ الْكَسْلَانَ التَّنَزُّهَ

Aku mencegah pemalas bertamasya

كَسَوْتُ الْفَقِيْرَ ثَوْبًا

Aku memakaikan orang faqir baju

أَلْبَسْتُ الْمُجْتَهِدَةَ وِسَامًا

Aku memakaikan perempuan rajin medali

عَلَّمْتُ التِّلْمِيْذَ الْأَدَبَ

Aku mengajarkan murid (kepada) sastra

Kedua (yang asal maf’ul-nya dari mubtada’ khabar) dibagi lagi menjadi dua macam, yakni:

  1. Af’al al-Qulub ( أفعال القلوب )
  2. Af’al at-Tahwil ( أفعال التّحويل )

Kedua jenis fi’il tersebut dibahas pada pembahasan berikutnya.

Muta’addi kepada tiga maf’ul

Beberapa fi’il yang muta’addi kepada tiga maf’ul antara lain:

أَرَى , أَعْلَمَ , أَنْبَأَ , نَبَّأَ , أَخْبَرَ , خَبَّرَ , حَدَّثَ

Beserta fi’il mudlori’-nya seperti

يُرِي , يُعْلِمُ , يُنْبِئُ , يُنَبِّئُ , يُخْبِرُ, يُخَبِّرُ , يُحَدِّثُ

:نحو

أَرَيْتُ سَعِيْدًا الْأَمْرَ وَاضِحًا

Aku memberitahu Said bahwa perkara itu jelas

أَعْلَمْتُ سَعِيْدًا الْأَمْرَ صَحِيْحًا

Aku mengasih tahu Said bahwa perkara itu benar

أَنْبَأْتُ خَلِيْلًا الْخَبَرَ وَاقِعًا

Aku menceritakan Kholil bahwa berita itu terjadi

نَبَّأْتُ خَلِيْلًا الْخَبَرَ وَاقِعًا

Aku menceritakan Kholil bahwa berita itu terjadi

أَخْبَرْتُ خَلِيْلًا الْخَبَرَ وَاقِعًا

Aku memberitakan Kholil bahwa berita itu terjadi

خَبَّرْتُ خَلِيْلًا الْخَبَرَ وَاقِعًا

Aku memberitakan Kholil bahwa berita itu terjadi

حَدَّثْتُ خَلِيْلًا الْخَبَرَ حَقًّا

Aku menceritakan Kholil bahwa berita itu haq/benar

Secara umum fi’il “أَنْبَأَ” dan fi’il-fi’il setelahnya bisa hadir dalam bentuk bina’ majhul. Maka na’ib al-fail-nya adalah maf’ul-nya yang pertama.

:نحو

أُنْبِأْتُ سَلِيْمًا مُجْتَهِدًا

Aku diberi berita bahwa Salim adalah orang yang rajin

Fi’il Lazim

Fi’il Lazim adalah fi’il yang tidak memiliki pengaruh yang melampaui fa’il-nya sehingga ia tidak memiliki maf’ul bih.

نحو

حَزَنَ زَيْدٌ

ذَهَبَ خَالِدٌ

Fi’il Lazim hanya membutuhkan fa’il dan tidak memerlukan maf’ul bih. Fi’il ini juga diberi nama fi’il qashir “الفعل القاصر” karena ringkas (hanya perlu fa’il), fi’il ghairu waqi’ “الفعل غير الواقع” karena ia tidak jatuh pada maf’ul bih, dan fi’il ghairu mujawiz “الفعل غير المجاوز” karena tidak melewati fa’il-nya.

Kapan Fi’il menjadi Lazim?

Fi’il menjadi menjadi lazim ketika ia termasuk dari fi’il sajaya dan gharaiz (fi’il yang menunjukkan makna tabiat, karakter, watak dan pembawaan).

Fi’il sajaya dan gharaiz adalah fi’il yang menunjukkan makna sesuatu yang menetap dan yang menempel pada fail. Seperti شَجُعَ (berani), جَبُنَ (takut), حَسُنَ (bagus), dan قَبِحَ (jelek)

Atau menunjukkan pada keadaan seperti طَالَ (panjang) dan قَصِرَ (pendek) dan lain sebagainya

Atau menunjukkan pada bersih dan kotor seperti طَهَرَ (suci), نَظُفَ (bersih), وَسِخَ (kotor), دَنَسَ (kotor), dan قَذِرَ (kotor).

Atau menunjukkan sifat yang tidak menetap dan bukan menunjukkan gerakan seperti مَرِضَ (sakit), كَسِلَ (malas), نَشِطَ (rajin), فَرِحَ (gembira), حَزِنَ (sedih), شَبِعَ (kenyang), dan عَطِشَ (haus).

Atau menunjukkan warna seperti احْمَرَّ (merah), اخْضَرَّ (hijau), dan أَدِمَ (berwarna sawo matang).

Atau menunjukkan aib/cacat seperti عَمِشَ (lemah penglihatan disertai keluarnya air mata), dan عَوِرَ (menjadi buta sebelah matanya).

Atau menunjukkan hiasan (lawan dari aib) seperti نَجِلَ (lebar dan indah matanya), دَعِجَ (hitam sekali dan lebar matanya), dan كَحِلَ (berwarna hitam pinggir pelupuk matanya).

Atau menunjukkan makna muthowa’ah (hasil) dari fi’il muta’addi ber-maf’ul satu seperti

 مَدَدْتُ الْحَبْلَ فَامْتَدَّ

Aku memanjangkan tali kemudian tali tersebut menjadi panjang

Atau karena mengikuti wazanفَعُلَ” dibaca dlummah ‘ain fi’il-nya, seperti  حَسُنَ , شَرُفَ , جَمُلَ , كَرُمَ

Atau karena mengikuti wazanانْفَعَلَ”, seperti انْكَسَرَ , انْحَطَمَ , انْطَلَقَ

Atau karena mengikuti wazanافْعَلَّ”, seperti اغْبَرَّ , ازْوَرَّ

Atau karena mengikuti wazanافْعَالَّ”, seperti ادْهَامَّ , ازْوَارَّ

Atau karena mengikuti wazanافْعَلَلَّ”, seperti اطْمَأَنَّ , اقْشَعَرَّ

Atau karena mengikuti wazanافْعَنْلَلَ”, seperti احْرَنْجَمَ , اقْعَنْسَسَ

Kapan Fi’il Lazim menjadi Muta’addi?

Fi’il lazim berubah menjadi fi’il muta’addi dengan tiga sebab, yaitu:

  • Dengan diikutkan wazan “أَفْعَلَ” seperti أَكْرَمْتُ الْمُجْتَهِدَ
  • Dengan diikutkan wazan “فَعَّلَ” seperti عَظَّمْتُ الْعُلَمَاءَ
  • Atau dengan perantara huruf jarr, seperti:

أَعْرِضْ عَنِ الرَّذِيْلَةِ

Berpalinglah dari kejelekan

تَمَسَّكْ بِالْفَضِيْلَةِ

Berpeganglah dengan keutamaan

Gugur/Terhapusnya Huruf Jarr dari Fi’il Muta’addi bi Washithah (Berperantara)

Ketika huruf jarr gugur atau terhapus setelah adanya fi’il muta’addi, maka majrur (isim yang dibaca jarr) dibaca nashab. Sebagaimana contoh pada ayat al-Qur’an berikut:

155 : وَاخْتَارَ مُوْسَى قَوْمَهُ سَبْعِيْنَ رَجُلًا – الأعراف

Artinya: “dan Musa memilih (dari) kaumnya tujuh puluh pria”.

Pada contoh tersebut قَوْمَهُ asalnya adalah مِنْ قَوْمِهِ

Sedangkan pada fi’il lazim, gugur atau terhapusnya huruf jarr berhukum sama’i dan tidak di-qiyas, kecuali pada kasus “أَنْ” dan “أَنَّ”. Maka pada kasus tersebut (“أَنْ” dan “أَنَّ”) boleh di-qiyas-kan dengan syarat aman dari samarnya makna. Sebagaimana contoh:

– 63 :أَوَ عَجِبْتُمْ أَنْ جَاءَكُمْ ذِكْرٌ مِنْ رَّبِّكُمْ عَلَى رَجُلٍ مِّنْكُمْ – الأعراف

Maksudnya adalah مِنْ أَنْ جَاءَكُمْ

– 185 :شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ – البقرة

Maksudnya adalah بِأَنَّهُ

Dan apabila tidak aman dari samarnya makna maka tidak diperbolehkan menghapus huruf jarr sebelum “أَنْ” dan “أَنَّ”. Seperti

رَغِبْتُ أَنْ أَفْعَلَ

Pada contoh tersebut tidak diperbolehkan untuk tidak mencantumkan huruf jarr karena terjadi kesamaran makna, apakah yang dimaksud adalah رَغِبْتُ فِيْ أَنْ أَفْعَلَ (aku senang melakukan) atau رَغِبْتُ عَنْ أَنْ أَفْعَلَ (aku benci melakukan). Sebagaimana kita ketahui fi’il tersebut memiliki makna berbeda bila disandingkan dengan huruf jarr berbeda pula.

Bagaimana pemahaman kamu mengenai Fi’il Muta’addi dan Fi’il Lazim setelah membaca artikel ini? Jika ada yang kurang dipahami yuk kita diskusikan lewat kolom komentar.

BACA JUGA: MACAM-MACAM FI’IL

2 pemikiran pada “Fi’il Muta’addi dan Fi’il Lazim ( الفعل المتعدّي واللّازم ) Jago Nahwu Shorof”

  1. Mohon izin untuk ikut menimba ilmunya Ustadz…
    Pada setipa lafadz انعم ينعم mutta’adinya pake huruf jerr (على)
    Apa mutta’adinya bisa langsung tanpa pake huruf jerr?
    Mohon petunjuk dan bimbingannya Uatadz

    Balas
    • Pertanyaan Kang Umar ini sungguh bagus sekali
      أَنْعَمَ yang bertemu “على” ini ada pada alQuran salah satunya yakni adalah Surat al-Fatihah:
      صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
      “yakni jalan orang-orang yangg Engkau anugerahi pada mereka”

      posisi “على” di sini adalah li at-ta’diyah/للتعدية (untuk memuta’addikan) fiil “أنعم”.

      yang menjadi pertanyaan di sini adalah, apakah bisa “أنعم” mutaaddi tanpa “على” atau muta’addi dengan selain “على”? sebenarnya apakah “أنعم” itu lazim atau sudah muta’addi?

      Untuk mengetahui jawabannya, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa sebuah fiil pada bahasa Arab lebih sering memiliki makna yang banyak/bermacam-macam, dan juga makna satu fiil bisa ada yang lazim dan ada yang mutaaddi sekaligus. Bahkan, perbedaan huruf jarr li at-ta’diyah yang masuk juga mempengaruhi makna fiil.

      Agar Kang Umar lebih mudah memahaminya akan kita beri contohnya saja langsung, yakni:

      أَنْعَمَ زَيْدٌ
      artinya: Zaid bertambah bagus (berarti an’ama di sini lazim)

      أَنْعَمَتِ الرِّيْحُ
      artinya: Angin telah berhembus (ini juga lazim)

      أَنْعَمَتُكَ
      artinya: Aku menjadikanmu sejahtera/penuh nikmat (berarti an’ama bisa muta’addi tanpa huruf jarr namun artinya menjadi lain)

      أَنْعَمَتُ لَكَ
      artinya: Aku mengiyakanmu / aku menjawab “Ya” kepadamu (an’ama mutaaddi dengan lam)

      dan masih banyak lagi, Kang Umar. Kalau mau lebih lengkap bisa dilihat dalam kamus-kamus, ya.
      Semoga jawabannya bisa sedikit membantu. Intinya fiil itu maknanya bisa banyak tergantung siyaqul kalam-nya saja. Huruf jarr litta’diyah-nya juga harus diperhatikan.

      Balas

Tinggalkan Komentar