Macam-macam Al (الْ) dalam Ilmu Nahwu

Sebelumnya, kita sudah membahas mengenai isim yang bersamaan dengan al (al-muqtarin bi al) yang termasuk isim ma’rifat. Dalam artikel ini, kami akan membahas apa saja macam-macam al (الْ) tersebut.

Al (الْ) dibagi menjadi dua macam, yakni: al al-‘ahdiyyah (أل العهدية) dan al al-jinsiyyah (أل الجنسية).

1. Al al-‘Ahdiyyah (أل العهدية)

Al al-‘Ahdiyyah adalah al (الْ) yang mema’rifatkan bagian tertentu dari isim. Lalu al al-‘ahdiyyah dibagi lagi menjadi 3, yaitu:

a. al lil ‘ahdi adz-dzikriy (للعهد الذكري)

Ia adalah al (الْ) yang isim yang bersamanya didahului oleh penyebutan di dalam kalam.

:نحو

جَاءَنِيْ ضَيْفٌ, فَأَكْرَمْتُ الضَّيْفَ

اي الضيف المذكور

Aku kedatangan tamu, kemudian aku memuliakan tamu tersebut

كَمَاۤ اَرۡسَلۡنَاۤ اِلٰى فِرۡعَوۡنَ رَسُوۡلًا ؕ‏ ۝١٥ فَعَصٰى فِرۡعَوۡنُ الرَّسُوۡلَ

sebagaimana Kami telah mengutus seorang Rasul kepada Fir’aun. Namun Fir’aun mendurhakai Rasul tersebut, (Al-Muzammil: 15: 16)

b. al lil ‘ahdi al-hudluriy (للعهد الحضوري)

Ia adalah al (الْ) yang isim bersamanya hadir.

:نحو

جِئْتُ الْيَوْمَ

Aku datang pada hari ini

Yakni hari yang hadir dimana kita di dalamnya.

c. al lil ‘ahdi adz-dzihniy (للعهد الذهني)

Ia adalah al (الْ) yang isim bersamanya disepakati dalam benak/pikiran sehingga pikiran tertuju kepadanya hanya dengan mengucapkannya.

:نحو

جَاءَ الْأَمِيْرُ

 Sang Raja telah datang

حَضَرَ الرَّجُلُ

Lelaki itu telah datang

Seakan-akan antara pembicara dan pendengar memiliki ‘ahd (perjanjian/kesepakatan) dalam benak masing-masing mengenai lelaki tertentu.

2. Al al-Jinsiyyah (أل الجنسية)

Al al-jinsiyyah adalah al (الْ) yang mema’rifatkan jenis. Kemudian ia dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu:

a. al lil istighraq (للإستغراق)

Al (الْ) ini adalah al untuk menghabiskan/mencakup/menenggelamkan seluruh makna.

Ada kalanya untuk meng-istighraq-kan seluruh satuan jenis.

:نحو

وَخُلِقَ الْإِنْسٰنُ ضَعِيْفًا

اي كل فرد منه

Dan manusia diciptakan lemah (An-Nisa’: 28)

Maksudnya yaitu setiap individu manusia.

Ada kalanya untuk meng-istighraq-kan seluruh kekhususannya.

:نحو

أَنْتَ الرَّجُلُ

Engkaulah sang lelaki

Maksudnya yaitu dalam dirimu berkumpul seluruh sifat-sifat kelaki-lakian.

Ciri-ciri  atau alamat-alamat al al-istighraqiyyah adalah pantas jika tempat al diganti dengan lafadh ‘كُلٌّ’.

b. al li bayan al-haqiqah (لبيان الحقيقة)

Al ini adalah untuk menjelaskan hakikat, esensi dan tabiat jenis tanpa melihat pada sesuatu yang sesuai dengan satuan-satuannya (tidak melihat kenyataan pada setiap individu).

Oleh karena itu, tidak pantas jika tempat al li bayanil haqiqah digantikan dengan ‘كُلٌّ’. Al ini juga dinamakan lam al-haqiqah, al-mahiyyah, dan ath-thabi’iyyah.

:نحو

الْإِنْسَانُ حَيَوَانٌ نَاطِقٌ

Manusia adalah hewan yang berpikir/berdialektika

Maksudnya adalah:

حَقِيْقَتُهُ أَنَّهُ عَاقِلٌ مُدْرِكٌ, وَلَيْسَ كُلُّ إِنْسَانٍ كَذٰلِكَ

Hakikat manusia adalah sesungguhnya ia berakal dan berdaya pikir, dan tidak setiap manusia seperti itu.

الرَّجُلُ أَصْبَرُ مِنَ الْمَرْأَةِ

Laki-laki itu lebih sabar daripada perempuan

Namun kenyataannya setiap laki-laki tidak seperti itu, terkadang ada perempuan mengungguli ketabahan dan kesabarannya atas kebanyakan laki-laki. Oleh karena itu, al di sini adalah al yang me-ma’rifat-kan hakikat tanpa melihat hakikat tersebut pada seluruh satuan (individu) jenis, akan tetapi melihat pada esensinya dari manakah ia.

Al Al-Jinsiyyah dan Al Al-‘Ahdiyyah dari segi hukum

Setiap isim yang bersama al al-jinsiyyah secara hukum adalah nakirah dari segi maknanya, walaupun ada al yang mendahuluinya. Hal tersebut dikarenakan al al-jinsiyyah mema’rifatkan isim secara lafdhiy bukan ma’nawiy. Oleh karena itu, isim bersama al al-jinsiyyah secara hukum sama dengan alam al-jins, seperti yang sudah kita bahas pada artikel sebelumnya.

Adapun isim yang dima’rifatkan dengan al al-‘ahdiyyah maka ia dima’rifatkan secara lafadh dan makna, karena dari segi lafadh ia bersama al dan dari segi makna ia menunjukkan sesuatu yang tertentu.

Perbedaan antara isim yang dima’rifatkan dengan al al-jinsiyyah, isim al-jins dan isim nakirah adalah dari dua segi yakni lafadh dan ma’na.

  1. dari segi makna

Berbeda dari segi makna karena isim yang dima’rifatkan dengan al dalam hukum al-muqayyad (terbatasi), sedangkan isim al-jins dan isim nakirah yang tidak bersama al dalam hukum al-muthlaq (umum).

Semisal jika orang berkata: “احْتَرِمِ الْمَرْأَةَ” (muliakanlah wanita), maka tidak lain yang ia maksud adalah wanita yang tidak ditentukan, yang mana dalam benak orang tersebut terdapat gambaran maknawiy mengenai wanita yang orang tersebut anjurkan untuk dimuliakan. Orang tersebut tidak bermaksud wanita secara mutlak/umum, maksudnya yaitu wanita mana saja yang dalam dirinya terdapat sifat dan akhlak wanita.

Adapun jika seseorang berkata: “إِذَا رَأَيْتَ امْرَأَةً مَظْلُوْمَةً فَانْصُرْهَا” (jika kamu melihat wanita yang terdhalimi maka tolonglah dia), maka tidak lain yang ia maksud adalah wanita secara umum/muthlaq, maksudnya wanita mana saja, bukan wanita yang memiliki kriteria atau sifat khusus dalam pikiran orang tersebut.

  1. dari segi lafadh

Berbeda dalam segi lafadh, karena isim al-jins adalah nakirah secara lafadh sebagaimana ia nakirah secara makna.

Sedangkan isim yang dima’rifatkan dengan al al-jinsiyyah adalah nakirah secara makna dan ma’rifat secara lafadh karena ia bersama al. Hukum-hukum yang berlaku pada isim ma’rifat itu berlaku pula bagi isim yang dima’rifatkan dengan al al-jinsiyyah, seperti:

  1. sahnya menjadi mubtada’.

:نحو

الْحَدِيْدُ أَنْفَعُ مِنَ الذَّهَبِ

Besi itu lebih bermanfaat daripada emas

  1. boleh memiliki hal

:نحو

أَكْرِمِ الرَّجُلَ عَالِمًا عَامِلًا

Muliakanlah laki-laki  alim dan amil

Status Jumlah yang Jatuh setelah Isim yang dima’rifatkan dengan Al Al-Jinsiyyah

Ketika isim yang bersama al al-jinsiyyah disambungkan dengan jumlah yang madlmun-nya adalah washf (sifat), maka jumlah tersebut boleh dijadikan na’at bagi isim bersama al dengan mempertimbangkan bahwa ia adalah nakirah secara makna, dan boleh menjadikan jumlah tersebut sebagai hal dengan mempertimbangkan bahwa ia adalah isim ma’rifat dengan al secara lafadh.

Sebagai contoh adalah bait ber-bahr kamil berikut:

وَلَقَدْ أَمُرُّ عَلَى اللَّئِيْمِ يَسُبُّنِيْ

فَمَضَيْتُ, ثُمَّتَ قُلْتُ: لَا يَعْنِيْنِيْ

Aku melewati orang kikir yang mengumpatku lalu aku pergi, kemudian aku berkata: dia tidak bermaksud kepadaku

Dan juga qaulnya Abi Shakhr al-Hudzalliy (bait ber-bahr thawil):

وَإِنِّيْ لَتَعْرُوْنِيْ لِذِكْرَاكِ هُزَّةٌ

كَمَا انْتَفَضَ الْعُصْفُوْرُبَلَّلَهُ الْقَطْرُ

Sesungguhnya aku sungguh ditimpa olehmu dengan gemetar karena mengingatmu, sebagaimana terguncangnya burung pipit yang ditimpa oleh hujan

Seperti halnya al-mu’arraf bi al al-jinsiyyah, begitu juga dengan isim yang di-idlafah-kan padanya. Seperti qaul Labid ibn Rabiah (bait ber-bahr kamil):

وَتُضِيْءُ فِيْ وَجْهِ الظَّلَامِ مُنِيْرَةً

كَجُمَانَةِ الْبَحْرِيِّ سُلَّ نِظَامُهَا

Dan sapi liar bersinar dalam awal kegelapan memancarkan cahaya sebagaimana mutiara laut yang dicabut benangnya

Pada bait pertama, jumlah ‘يَسُبُّنِيْ’ boleh dijadikan menjadi na’at bagi ‘اللَّئِيْمِ’. Begitu pun dengan jumlah ‘بَلَّلَهُ الْقَطْرُ’ pada bait kedua boleh dijadikan menjadi na’at bagi ‘الْعُصْفُوْرُ’. Begitu pula dengan jumlah ‘سُلَّ نِظَامُهَا’ pada bait terakhir boleh dijadikan menjadi na’at bagi ‘جُمَانَةِ الْبَحْرِيِّ’. Jumlah-jumlah tadi boleh menjadi naat dengan melihat dari segi nakirahnya isim bersama al al-jinsiyyah secara makna sehingga jika ditaqdirkan menjadi:

عَلٰى لَئِيْمٍ سَابٍّ إِيَّايَ

كَمَا انْتَفَضَ عُصْفُوْرٌ بَالٌّ الْقَطْرُ إِيَّاهُ

كَجُمَانَةِ بَحْرِيٍّ مَسْلُوْلٍ نِظَامُهَا

Jumlah-jumlah pada bait sebelumnya boleh menjadi hal bagi isim yang bersama al al-jinsiyyah (atau pada kasus bait ketiga bagi isim yang diidlafahkan kepada isim yang bersama al) dengan melihat dari segi kemakrifatan isim-isim tersebut secara lafdhiy karena adanya al al-jinsiyyah, sehingga taqdirnya adalah

عَلٰى اللَئِيْمِ سَابًّا إِيَّايَ

كَمَا انْتَفَضَ الْعُصْفُوْرُ بَالًّا الْقَطْرُ إِيَّاهُ

كَجُمَانَةِ الْبَحْرِيِّ مَسْلُوْلًا نِظَامُهَا

Macam-macam al lainnya (yang tidak termasuk al li at-ta’rif)

Selain dua macam al yakni al al-‘ahdiyyah dan al al-jinsiyyah, terdapat macam al lain yang tidak mema’rifatkan, yaitu:

1. Al Az-Zaidah (الْ الزَّائِدَةُ)

Al ini hanyalah tambahan, keberadaanya tidak menunjukkan faidah ta’rif (tidak mema’rifatkan). Contohnya seperti al yang tetap pada ‘alam:

الْعُزَّى

Al-Uzza (nama berhala)

Al az-zaidah pada isim maushul:

الَّذِيْ

الَّتِيْ

dsb

Contoh-contoh lain dan pembahasan lebih lanjut akan kami jabarkan dalam artikel yang membahas al az-zaidah secara khusus.

2. Al Al-Maushuliyyah (الْ الْمَوْصُوْلِيَّةُ)

Al ini termasuk isim maushul yang musytarak (memiliki satu bentuk lafadh yang digunakan untuk mufrad, mutsanna, jama’, mudzakkar dan muannats). Al ini masuk pada isim fail dan isim maf’ul dengan syarat tidak ditujukan sebagai ahdiyyah atau jinsiyyah.

نحو

أَكْرِمِ الْمُكْرِمَ ضَيْفَهُ

Muliakan orang yang memuliakan tamunya

Taqdirnya yaitu:

اَكْرِمِ الَّذِيْ يُكْرِمُ ضَيْفَهُ

Itu dia macam-macam al yang terdiri dari al al-ta’rif yang dibagi menjadi dua, yakni al al-‘ahdiyyah dan al al-jinsiyyah. Kemudian ada al lain yang tidak memiliki faidah ta’rif yakni al az-zaidah dan al al-maushuliyyah.

Tinggalkan Komentar