Penjelasan Man (مَنْ) dan Ma (مَا) Istifhamiyyah

Penjelasan Man (مَنْ) dan Ma (مَا) Istifhamiyyah

Pada postingan yang lalu telah kita bahas apa itu isim istifham beserta contohnya secara umum. Dalam artikel ini, kita akan mencoba mengupas pembahasan Man (مَنْ) dan Ma (مَا) Istifhamiyyah secara lebih mendalam.

مَنْ dan مَنْ ذَا

مَنْ dan مَنْ ذَا adalah isim istifham digunakan untuk menanyakan entitas yang berakal.

:نحو

مَنْ فَعَلَ هٰذَا؟

Siapa yang melakukan ini?

مَنْ ذَا مُسَافِرٌ؟

Siapa orang yang bepergian?

مَنْ ذَا الَّذِيْ يُقْرِضُ اللّٰهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ

Siapa yang menghutangi Allah hutang yang baik maka Allah akan menggantikannya berkali-kali lipat untuknya… (Al-Baqarah: 245)

Terkadang مَنْ dan مَنْ ذَا dipahami makna an-nafyi al-inkariy (retorika). Semisal Anda mengucapkan ucapan berikut:

مَنْ يَسْتَطِيْعُ أَنْ يَفْعَلَ هٰذَا؟

Siapa yang mampu melakukan ini?

Sedangkan yang Anda harapkan maksudnya adalah: لَا يَسْتَطِيْعُ أَنْ يَفْعَلَهُ أَحَدٌ. Yang artinya “tak ada seorang pun yang mampu melakukannya”.

Contoh lain مَنْ dengan makna an-nafyi al-inkariy adalah firman Allah:

وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا اللّٰهُ

Siapa yang bisa mengampuni dosa-dosa selain Allah? (Ali Imraan: 135)

Maksudnya adalah tidak ada yang bisa mengampuni dosa selain Allah.

Contoh firman Allah swt yang lain:

مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ

Siapa yang bisa memberi syafa’at di sisiNya dengan tanpa izinNya. (Al-Baqarah: 255)

Maksudnya adalah tidak ada seorang pun yang bisa memberi syafaat di sisiNya dengan tanpa izinNya.

مَا dan مَاذَا

مَا dan مَاذَا adalah isim istifham yang digunakan untuk menanyakan yang tidak berakal seperti hewan-hewan, tumbuhan-tumbuhan, benda-benda mati, pekerjaan-pekerjaan dan untuk menanyakan hakikat sesuatu atau shifatnya, baik sesuatu itu berakal maupun tidak.

:نحو

مَا رَكِبْتَ / مَاذَا رَكِبْتَ؟

Apa yang kamu naiki?

مَا اشْتَرَيْتَ / مَاذَا اشْتَرَيْتَ؟

Apa yang kamu beli?

Contoh bertanya tentang hakikat sesuatu seperti:

مَا الْأَسَدُ؟

Apa itu singa?

مَا الْإِنْسَانُ؟

Apa itu manusia?

مَا النَّخْلُ؟

Apa itu pohon kurma?

مَا الذَّهَبُ؟

Apa itu emas?

Contoh bertanya tentang sifat sesuatu:

Semisal seseorang mendengar pernyataan sebagai berikut:

زُهَيْرٌ مِنْ فُحُوْلِ شُعَرَاءِ الْجَاهِلِيَّةِ

Zuhair adalah termasuk penyair terkemuka zaman jahiliyyah

Kemudian ia bertanya:

مَا زُهَيْرٌ؟

Zuhair yang apa?

Pertanyaan tersebut digunakan untuk menanyakan sifat dan karakteristik pembedanya.

Terkadang ‘مَنْ ذَا’ dan ‘مَاذَا’ ada dalam susunan (tarkib) yang memperbolehkan keduanya menjadi istifham, sehingga ‘مَنْ’ dan ‘مَا’ keduanya sebagai istifham dan ‘ذَا’ yang jatuh setelahnya sebagai isim maushul (terkadang bisa juga menjadi isim isyarah). Keterangan mengenai  ‘ذَا’ sebagai isim maushul sudah dibahas dalam tulisan sebelumnya.

Jenis-jenis ‘مَنْ’ dan ‘مَا’ yang lain

Tidak hanya bisa menjadi isim maushul dan isim istifham, ‘مَنْ’ dan ‘مَا’ juga bisa menjadi isim syarat.

Contohnya firman Allah swt:

مَنْ يَعْمَلْ سُوْءًا يُجْزَ بِهِ

“Barangsiapa yang mengerjakan kejelekan (dosa) maka ia akan dibalas sebab kejelekan tersebut” (An-Nisa’: 123)

وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ

“Dan apa pun (harta) yang kamu infakkan, Maka akan dikembalikan kepada kalian (kalian diberi pahala)” (Al-Baqarah: 272)

Terkadang pula keduanya (‘مَنْ’ dan ‘مَا’) menjadi isim nakirah yang disifati (نكرتين موصوفتين). Hal ini terjadi ketika keduanya bertemu dengan isim mufrod (yang mana isim mufrod tersebut mensifatinya) atau keduanya didahului oleh rubba al-jaarrah ‘رُبَّ الْجَارَّة’ karena rubba al-jaarrah hanya bertemu dengan isim nakirah.

Contoh ‘مَنْ’ dan ‘مَا’ yang disifati dengan isim mufrad adalah:

رَأَيْتُ مَنْ مُحِبًّا لَكَ وَمَا سَارًّا لَكَ

اي شَخْصًا مُحِبًّا لَكَ وَشَيْئًا سَارًّا لَكَ

Aku melihat seseorang yang cinta padamu dan sesuatu yang menyenangkanmu

جِئْتُكَ بِمَنْ مُحِبٍّ لَكَ وَبِمَا سَارٍّ لَكَ

اي بِشَخْصٍ مُحِبٍّ لَكَ وَبِشَيْءٍ سَارٍّ لَكَ

Aku mendatangimu dengan seseorang yang cinta padamu dan dengan sesuatu yang menyenangkanmu

Contoh lainnya yaitu syair Hassan ibn Tsabit dalam bait ber-bahr kamil:

فَكَفَى بِنَا فَضْلًا عَلٰى مَنْ غَيْرِنَا     حُبُّ النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ إِيَّانَا

اي على قوم غيرنا

Maka cukuplah bagi kami keutamaan atas kaum selain kami, cinta Nabi Muhammad kepada kami

Contoh lain syair ber-bahr thawil:

لِمَا نَافِعٍ يَسْعَى اللَّبِيْبُ, فَلَا تَكُنْ     لِشَيْءٍ بَعِيْدٍ نَفْعُهُ, الدَّهْرَ سَاعِيًا

Orang yang berakal mengusahakan pada sesuatu yang  bermanfaat, maka janganlah kamu selamanya (terus-terusan) mengusahakan pada sesuatu yang jauh manfaatnya.

Pada contoh-contoh di atas, ‘مَنْ’ dan ‘مَا’ tidak boleh dijadikan sebagai isim maushul, karena isim maushul butuh kepada jumlah yang berhubungan dengannya (shilah maushul), sedangkan dalam contoh-contoh nakirah maushuf di atas, ‘مَنْ’ dan ‘مَا’ terhubunga dengan isim mufrad.

Meskipun begitu, boleh hukumnya apabila isim mufrad yang jatuh setelah ‘مَنْ’ dan ‘مَا’ dibaca rafa’ sebagai khabar dari mubtada’ yang dihapus yang mana taqdir-nya adalah ‘هُوَ’.

:نحو

جَاءَنِيْ مَنْ مُحِبٌّ لَكَ وَ مَا سَارٌّ لَكَ

Dengan taqdirnya yaitu:

جَاءَنِيْ مَنْ هُوَ مُحِبٌّ لَكَ وَمَا هُوَ سَارٌّ لَكَ

‘مَنْ’ dan ‘مَا’ di atas statusnya menjadi isim maushul dan shilahnya yaitu jumlah mubtada’ khabar. Di saat yang sama status ‘مَنْ’ dan ‘مَا’ boleh dijadikan sebagai isim nakirah yang disifati dengan ‘مُحِبٌّ’ dan ‘سَارٌّ’ dan juga boleh disifati dengan jumlah mubtada’ khabar.

Adapun contoh ‘مَنْ’ dan ‘مَا’ sebagai isim nakirah yang didahului dengan rubba al-jaarrah (رُبَّ) adalah sebagai berikut:

رُبَّ مَنْ أَنْضَجْتُ غَيْظًا قَلْبَهُ     قَدْ تَمَنَّى لِيَ مَوْتًا لَمْ يُطَعْ

اي رُبَّ رَجُلٍ

Kebanyakan orang yang aku matangkan yakni rasa amarah pada hatinya itu ia benar-benar menginginkan padaku kematian dan ia tidak dituruti (bait ber-bahr ramal)

dan

رُبَّ مَا تَكْرَهُ النُّفُوْسُ مِنَ الْأَمْ…..رِ لَهُ فَرْجَةٌ كَحَلِّ الْعِقَالِ

اي رُبَّ شَيْءٍ مِنَ الْأَمْرِ

Kebanyakan sesuatu yang dibenci oleh jiwa-jiwa yakni perkara, itu bagi sesuatu tersebut ada celah (lepas dari kesusahan) seperti terurainya tali (yang mengekang unta untuk berdiri). (bait ber-bahr khafif)

‘مَنْ’ dan ‘مَا’ di atas tidak boleh dijadikan isim maushul, sebab isim maushul itu berhukum ma’rifat sedangkan rubba ‘رُبَّ’ tidak bisa bertemu isim ma’rifat melainkan hanya bertemu isim-isim nakirah.

Adapun contoh seperti:

اعْتَصِمْ بِمَنْ يَهْدِيْكَ سَبِيْلَ الرَّشَادِ وَتَمَسَّكْ بِمَا تَبْلُغُ بِهِ السَّدَادَ

(Artinya: Berpedomanlah dengan orang yang menunjukkanmu jalan yang benar dan berpeganglah dengan apa yang dengannya kau mencapai kebenaran)

‘مَنْ’ dan ‘مَا’ pada contoh di atas boleh menjadi isim maushul atau isim nakirah maushufah. Ketika keduanya dijadikan isim maushul maka jumlah yang jatuh setelahnya menjadi shilah bagi keduanya dan makna ‘مَنْ’ dan ‘مَا’ menjadi ma’hud (diketahui), sedangkan ketika keduanya dijadikan sebagai isim nakirah maushufah maka jumlah yang jatuh setelahnya menjadi shifat bagi keduanya dan makna ‘مَنْ’ dan ‘مَا’ menjadi umum.

Adapun contoh firman Allah swt yaitu:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُوْلُ أٰمَنَّا

Dan sebagian dari manusia ada orang yang berkata: kami beriman… (Al-Baqarah: 8)

maka sebagian kelompok ulama’ ada yang meyakini bahwa ‘مَنْ’ adalah nakirah maushufah dan kelompok lain meyakini bahwa ‘مَنْ’ di atas adalah maushul. Adapun pendapat pertama adalah pendapat yang aqrab (paling dekat dengan kebenaran). Imam az-Zamakhsyariy berpendapat: “jika engkau mentaqdirkan al (الْ) pada an-nas (الناس) sebagai lil-‘ahdi (ال للعهد) maka ‘مَنْ’ menjadi maushulah sedangkan bila al itu lil-jins (ال للجنس) maka ‘مَنْ’ menjadi maushufah”.

(yang dimaksud oleh Imam az-Zamakhsyari adalah bahwa isim yang dima’rifatkan dengan al al-‘ahdiyyah (ال العهدية) itu ma’rifatnya ma’nawiy sebagaimana ia ma’rifat sebagai lafdhiy sehingga ia disesuaikan dengan dijadikannya ‘مَنْ’ sebagai isim maushul karena isim maushul itu ma’rifat dengan ma’rifatnya isim sebelumnya yang didahului oleh al al-‘ahdiyyah. Adapun yang dima’rifatkan dengan al al-jinsiyyah maka ma’rifatnya secara lafdhiy dan secara makna ia nakirah sehingga ia disesuaikan dengan dijadikannya ‘مَنْ’ sebagai nakirah maushufah)

Tinggalkan Komentar