Supaya Terhindar dari Sifat Tamak dan Sombong

Supaya Terhindar dari Sifat Tamak dan Sombong

Tulisan ini berjudul ‘Supaya Terhindar dari Sifat Tamak dan Sombong’ yang terinspirasi di saat penulis terjebak di lampu merah.

Di Lampu Merah

Meminta kepada sesama adalah suatu hal yang memalukan dan hina jika Anda kembali ke dalam ajaran dasar agama. Meminta harusnya hanyalah kepada Tuhan, bukan sesama manusia atau pun Doraemon. Bahkan ada sebuah hadits yang menerangkan bahwa orang yang meminta-minta itu kelak di hari kiamat hidungnya grumpung (tidak punya hidung).

Amalu man bi yadihi (bekerja atas hasil jerih payah sendiri) merupakan kemuliaan tinggi dan tholab al-halal lil ahli (mencari rezeki halal untuk keluarga) adalah kewajiban yang mutlak. Sungguh pun begitu, manusia adalah makhluk sosial yang pastinya membutuhkan satu sama lain dan tidak bisa hidup sendiri.

Tidak ada manusia di dunia ini yang mampu sekaligus masak-masak sendiri, makan-makan sendiri, cuci baju sendiri, tidur pun sendiri seperti lagu angka satu yang didendangkan Caca Handika. Lihat sekeliling Anda dan Anda akan melihat bahwa semua hal itu ternyata adalah hasil pekerjaan orang lain. Baju yang Anda kenakan, nasi dan lauk yang Anda makan, kendaraan yang Anda naiki, rumah yang Anda huni dan hal-hal lain semuanya kebanyakan adalah hasil dari pekerjaan orang lain.

Di Lampu Kuning

Meminta menjadi tindakan sosial yang lumrah dilakukan bukan hanya oleh pengemis. Namun juga dilakukan oleh organisasi, yayasan, pengusaha, influencer, mahasiswa, agamawan dan masih banyak lagi. Ia pun bermanifestasi dalam berbagai bentuk seperti proposal, donasi, saham, pinjaman, bantuan, pungli, tip, dan mil. Terlepas dari legal dan illegalnya, etis dan tidak etisnya, hal tersebut dilakukan demi memperjuangkan tujuan masing-masing dengan prinsip masing-masing pula.

Sudah menjadi stereotype bahwa orang yang tidak meminta dan tidak menerima bantuan orang lain atau mandiri bisa dicap orang yang hebat dan mulia. Terkesan tidak memberatkan orang lain dan menyusahkan teman sendiri.

Namun yang menjadi pertanyaan sebenarnya adalah atas dasar apa kemandirian tersebut? atas dasar apa orang tersebut mati-matian memperjuangkan hal tersebut sampai anti dan mengharamkan diri dari bantuan orang lain? Apakah karena tidak ingin menyusahkan orang lain atau karena ego dalam diri yang tak sudi dibantu orang lain?

Di Lampu Hijau

Pada suatu kesempatan Gus Baha pernah membahas panjang lebar mengenai sifat tamak dan sombong. Beliau mengatakan, “Hati-hati jika kamu meminta, jangan-jangan kamu punya sifat tamak (thoma’). Namun jika kamu anti untuk meminta, berhati-hatilah juga. Jangan-jangan kamu menjadi seperti itu karena didasari oleh kesombonganmu.

Supaya terhindar dari sifat tamak dan sombong
Gus baha

Lalu beliau menceritakan sebuah cerita mengenai dua orang alim yang sedang melewati halaman rumah seseorang. Katakanlah Si A dan Si B. Pada halaman tersebut tergeletak satu buah korma, lalu Si A meninggalkan dan membiarkannya. “Mengapa tidak kau ambil kurma tersebut?”, kata Si B keheranan. Padahal jika kurma tersebut diambil pun pemiliknya tidak akan tahu karena memang dalam keadaan ditinggalkan dan berjumlah hanya satu. Lalu Si A menjawab “Aku tidak mengambilnya karena khawatir si pemiliknya tidak ridla”. Tampak sebagai jawaban yang logis dan wira’i.

Kok bisa-bisanya seperti itu! Jika kamu berpikiran orang ini tidak ridlo berarti kamu sudah su’u dzon. Sedangkan su’u dzon  kepada sesama muslim itu juga berdosa. Orang muslim yang baik, pasti akan memberikan kurma kepadamu, apalagi hanya satu kurma ini. Dengan kamu berkata aku khawatir dia tidak ridlo, berarti kamu menganggap orang ini jelek karena pelit. Apakah kamu selalu menganggap semua orang Islam sedunia yang tidak kamu kenal itu jelek semua sehingga tidak memberikan satu kurmanya kepadamu?” tanggapan Si B atas jawaban Si A.

Berhati-hatilah, jangan-jangan kamu tidak mengambil kurma ini karena kamu takabbur. Thoma’ (berharap pemberian orang lain) memang dilarang. Sehingga tidak boleh orang meminta-minta. Tetapi jika dengan tidak meminta kamu menjadi takabbur maka tinggalkanlah.” Tambahnya lagi.

Dari cerita tersebut menunjukkan apa yang tampak benar tidak selalu benar. Jika dipikir-pikir mengambil satu kurma orang lain adalah sebuah perbuatan dosa, lalu dengan tidak mengambilnya kita bisa menjadi orang yang berburuk sangka sekaligus sombong maka cerita yang disampaikan oleh Gus Baha ini benar-benar mencengangkan atau membagongkan.

Bahkan Gus Baha sendiri mengamini jika ia harus memakai sandal santrinya sendiri tanpa seizin santrinya (meng-ghasab) maka akan ia lakukan, bagaimana mungkin seorang santrinya sendiri tidak akan ridlo jika sandalnya di-ghasab oleh gurunya sendiri. Begitulah pemikiran sederhana Gus Baha.

Supaya Terhindar dari Sifat Tamak dan Sombong

Ada sebuah prinsip yang umumnya dipegang teguh oleh kyai-kyai dan ulama’ NU yakni tidak mau meminta sumbangan namun tidak akan menolak pemberian selagi itu jelas kehalalannya. Ini adalah prinsip yang bagus sekali untuk dicontoh agar bisa menjadi sosok mandiri, independen serta merdeka secara pemikiran, namun tidak menutup pintu kemungkinan orang lain untuk tetap bisa bershadaqah.

Bagaimana pun juga yang namanya sifat tamak (thama’), sebagai mana yang dijelaskan oleh Gus Baha’, adalah sifat yang akan muncul dari seseorang yang mempunyai suatu kepentingan. Mengapa seseorang kemudian memiliki rasa tamak atau menginginkan sesuatu dari orang lain karena tidak lain orang tersebut memiliki kepentingan. Jika ia tidak memiliki kepentingan maka tidak mungkin muncul rasa tamak.

Sekali pun kita terjebak pada suatu kondisi yang menuntut kita untuk meminta, maka lakukanlah tanpa mengharuskan orang lain memberi dan kosongkan keinginan hati dari ingin menerima sesuatu, dan yang terpenting lakukanlah itu untuk membersihkan hati dari sifat sombong.

Bisa kita lihat masa keemasan keilmuwan Islam dan para ulama pada zaman dahulu. Mungkin kita berpikir pada zaman dahulu mengapa bisa ada ulama yang bisa menguasai berbagai ilmu dari seluruh disiplin keilmuan Islam sekaligus pandai dalam sastra dan sains.

Sebut saja nama-nama besar seperti ke empat imam madzhab fiqh, seperti Abu Hanifah, Malik ibn Anas, Muhammad ibn Idris Asy-Syafi’i, Ahmad ibn Hanbal yang tidak tertandingi keilmuannya hingga sekarang. Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Bathutah, Ibn Haytham, al-Ghazali dan masih banyak nama lagi yang bisa memunculkan pertanyaan di benak kita. Bagaimana bisa zaman itu bisa memunculkan ulama’-ulama’ hebat hingga peradaban Islam diakui oleh dunia barat dan timur?

Hal itu bisa dijawab dengan sederhana, yaitu karena zaman dahulu para ilmuwan muslim tidak tamak dan tidak sombong. Mereka mendanai kegiatan penelitian dan kegitan belajar mereka secara mandiri dan dibantu oleh komunitas pedagang Muslim yang dermawan.

Kemandirian ilmuwan muslim tersebut mengantarkan pada pemikiran yang mandiri dan independen, kebebasan berpendapat dan keberanian dalam mengkritik pemerintah karena tentu saja pemerintah tidak turut andil dalam mendanai penelitian mereka sehingga ilmuwan berani mengkritik.

Tidak tanggung-tanggung jika kritikan dari ilmuwan terlalu pedas dan dianggap berbahaya bagi penguasa maka penguasa akan mengecap kafir kepada ilmuwan tersebut melalui ulama’-ulama’ bayaran mereka. Dengan tes-tes yang dibuat-buat oleh ‘ulama duniawi banyak ilmuwan muslim dijebloskan ke penjara bahkan dihukum mati.

Tentu hal itu lebih sadis daripada tersingkirnya anggota KPK gegara tes TWK. Hingga dapat kita jumpai para ulama’ Islam pada zaman itu mengeluarkan fatwa haram jika seorang ulama’ datang kepada penguasa, dan haram menerima hadiah dari penguasa.

Para ilmuwan muslim berprinsip teguh pada keyakinan mereka dan dedikasi mereka terhadap ilmu pengetahuan dan kemaslahatan masyarakat. Bahkan, mereka tidak takut meskipun harus dihukum penjara. Prinsip teguh itulah yang membentuk zaman keemasan Islam, di dalamnya pula terdapat banyak penemuan yang berharga dan berpengaruh hingga saat ini.

Meskipun para ilmuwan muslim pada zaman dahulu terkenal mandiri, namun mereka tidak menolak bantuan dari komunitas pedagang muslim yang selalu secara sukarela membantu perjuangan mereka dan mau mendanai penelitian-penelitian dan majlis keilmuan.

Kesimpulan yang dapat dipetik adalah supaya terhindar dari sifat tamak dan sombong kita harus mengesampingkan kepentingan pribadi, fokus pada tujuan, berusaha mandiri, serta ikhlas beramal. Namun penting juga untuk tidak menolak bantuan yang diberikan oleh teman atau orang yang peduli terhadap perjuangan kita agar tidak mencederai perasaan pemberi bantuan, memberi kesempatan untuk berbuat baik dan kita terhindar dari rasa jumawa.

Sifat tamak dan sombong perlu dihindari karena bisa menyebabkan pada penurunan kreatifitas, hilangnya independensi, objektifitas dan keikhlasan, serta terbelenggunya kebebasan berpendapat.

Sekian

Penulis: Mudhofar - Seorang pegiat disiplin keilmuan pondok pesantren. Founder situs insantri.com
Follow Twitternya di @MudhofarX atau Instagramnya di @mudhsroom

Tinggalkan Komentar